Alergi kacang merupakan paling banyak dialami anak-anak di berbagai negara. Meski tampak sepele, alergi makanan itu bisa mengancam keselamatan jiwa dan menimbulkan beban ekonomi tinggi.
Alergi kacang merupakan termasuk makanan yang paling banyak ditemukan pada anak-anak di berbagai negara. Repotnya, alergi ini umumnya tetap bertahan meski anak-anak bertumbuh jadi remaja. Selain itu, meski terlihat sepele, alergi kacang juga bisa mengancam nyawa dan membebani ekonomi sangat besar.
Alergi kacang banyak ditemukan di negara-negara Barat, baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Ananya Mandal dalam Peanut Allergy Prevalence di news-medical.net, 27 Februari 2019 yang mengutip sebuah studi memperkirakan 1 dari 200 orang menderita alergi kacang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jumlah penderita alergi kacang ini terus meningkat. Selama dua dekade terakhir, penderita alergi ini di Amerika Serikat (AS) naik tiga kali lipat. Kini sekitar 1,2 persen penduduk dan 2,5 persen anak-anak di AS alergi terhadap kacang. Sementara di Inggris, sebanyak 0,4-0,6 persen penduduk alergi kacang.
Di Indonesia, belum ada data spesifik tentang alergi kacang. Survei daring Meida Tanukusumah dkk pada 2011-2013 yang dipublikasikan di jurnal Sari Pediatri, Februari 2015 menemukan 10,5 persen anak Jakarta berumur kurang dari 3 tahun mengalami alergi makanan. Sementara anak yang diduga alergi makanan, 30 persennya terbukti melalui diagnosis. Alergi yang umum terhadap susu sapi.
Situasi serupa terjadi di China. Alergi kacang kurang banyak ditemukan dibanding di negara Barat. Di Beijing, berkisar 3,4-5 persen penduduk diperkirakan alergi makanan dan sebagian besar dipicu makanan laut, seperti ikan, udang, atau kepiting, bukan alergi kacang. Namun komunitas China di AS memiliki prevalensi alergi kacang sama dengan kelompok populasi lain di AS.
Semua jenis kacang
Alergi terhadap kacang itu umumnya mengacu kepada kacang tanah. Namun, mereka yang alergi kacang tanah itu bisa juga memiliki alergi terhadap berbagai jenis kacang pohon, seperti kenari, mete, almond atau badam, pecan, atau pistasio. Karena itu, mereka yang alergi satu jenis kacang disarankan untuk menghindari semua kacang-kacangan.
Alergi kacang umumnya ditemukan pada anak-anak. Sekitar 28 persen alergi makanan yang ditemukan pada anak-anak adalah alergi kacang. Gejala alergi ini umumnya muncul sebelum anak berumur satu tahun. Gejala alergi kacang yang baru muncul saat anak sudah berumur lebih dari 15 tahun sangat jarang terjadi.
Gejala umum dari alergi kacang seperti dikutip dari mayoclinic.org, antara lain hidung beringus, kulit gatal, memerah atau bengkak, serta gatal atau kesemutan di sekitar mulut dan tenggorokan. Selain itu, alergi kacang bisa memicu masalah pencernaan, seperti diare, kram perut, mual dan muntah. Tanda lainnya adalah tenggorokan atau saluran napas menyempit serta napas pendek-pendek.
Berbagai gejala itu biasanya muncul setelah seseorang mengonsumsi kacang atau makanan olahan yang mengandung kacang. Pada sebagian orang, reaksi alergi yang muncul bisa memicu anafilaksis atau syok anafilaktik, yaitu reaksi alergi yang tergolong berat dan berbahaya.
Anafilaksis berkembang sangat cepat dalam hitungan detik sampai menit hingga bisa menimbulkan kematian. Reaksi alergi yang berat itu terjadi lantaran sistem imun tubuh merespon alergen atau zat yang memicu alergi secara berlebihan. Situasi itu membutuhkan penanganan medis secara cepat.
Semua gejala alergi kacang itu disebabkan oleh respon sistem kekebalan tubuh terhadap protein kacang. Namun, antibodi yang dihasilkan sistem imun tubuh sebagai reaksi terhadap senyawa alergen itu bisa jadi berbeda.
Jenis alergi kacang yang paling umum, termasuk yang memicu anafilaksis, terjadi akibat aktivasi imunoglobulin E atau IgE dalam tubuh. Berbagai komponen sistem kekebalan tubuh lain yang menentukan reaksi alergi lain cenderung berkembang lebih lambat.
Sosial-ekonomi
Berbagai gejala alergi kacang yang muncul itu menurunkan kualitas hidup anak-anak, termasuk menganggu proses belajar maupun tumbuh kembang mereka. Tak hanya sang anak, dampak alergi itu juga memengaruhi hidup orangtua mereka.
H Eric Cannon dalam The Economic Impact of Peanut Allergies di The American Journal of Managed Care, 19 Oktober 2018 menyebut sejumlah anak penderita alergi kacang mengalami perundungan dari teman-teman mereka. Mereka juga terpaksa harus melewatkan berbagai kegiatan sosial dan keluarga, seperti makan di restoran, menonton pertandingan olahraga, hingga menghindari pesta ulang tahun teman.
Orangtua harus menyiapkan makanan khusus untuk mereka agar makanan mereka benar-benar tidak mengandung senyawa kacang. Untuk menghindarkan anak dari dampak parah alergi kacang, sekitar 10 persen anak penderita alergi kacang juga terpaksa memilih bersekolah di rumah atau homeschooling. Situasi itu membuat anak makin merasa terisolasi.
Bukan hanya anak yang terbeban dengan alergi kacang yang dideritanya. Orangtua pun, khususnya ibu, juga menghadapi beban yang tak mudah. Produktivitas orangtua banyak terganggu karena harus merawat anak mereka. Bahkan, tekanan memiliki anak dengan alergi kacang itu juga bisa memengaruhi hubungan perkawinan ayah dan ibu.
“Beban ekonomi akibat alergi makanan pada anak-anak di AS mencapai 24,8 miliar dollar per tahun (sekitar Rp 347 triliun dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS) atau 4.184 dollar per anak (sekitar Rp 58,5 juta),” tulis Cannon.
Dari jumlah itu, sekitar sepertiganya untuk biaya pemeriksaan medis, baik pemeriksaan langsung, rawat jalan, rawat inap, hingga kunjungan ke instalasi gawat darurat. Meski sebagian besar anak penderita alergi itu memiliki asuransi kesehatan, biaya lainnya tidak ditanggung asuransi dan menjadi beban orang tua masih sangat besar.
Sementara di Indonesia, Astrid Sulistomo dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 2015 pernah mengungkapkan beban ekonomi akibat alergi makanan selama enam tahun mencapai 34,6 juta dollar AS (Rp 484 miliar dengan kurs Rp 14.000 per dolar). Jumlah itu hanyalah untuk biaya pengobatan dan perawatan di fasilitas layanan kesehatan, belum menghitung beban akibat dampak tidak langsung.
Meski beban ekonomi akibat alergi makanan sangat besar dan karena alergi kacang adalah yang utama di negara Barat, maka beban biaya baik langsung maupun tak langsung akibat alergi kacang cukup besar. Namun selama ini, belum ada obat untuk mengatasi alergi kacang. Menghindari makanan yang mengandung kacang adalah terapi utama.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) pada 31 Januari 2020 untuk pertama kali menyetujui penggunaan AR101 atau Palforzia sebagai obat alergi kacang. Palforzia atau Peanut (Arachis hypogaea) Allergen Powder-dnfp adalah obat imunoterapi oral berbentuk bubuk yang ditaburkan pada makanan.
Obat ini, seperti dikutip dari BBC, Sabtu (1/2/2020), ditujukan untuk mengatasi gejala alergi yang muncul pada anak umur 4-17 tahun, termasuk gejala anafilaksis. Namun, FDA di situsnya menyebut penggunaan obat ini tetap dapat dilanjutkan setelah anak berusia 18 tahun.
Meski demikian, obat itu untuk perawatan alergi kacang, bukan untuk penyembuhan. Karena itu, terapi dengan menghindari konsumsi kacang tetap harus dihindari. Penggunaan obat ini dalam dosis harian ditujukan untuk meningkatkan toleransi terhadap paparan kacang yang terkonsumsi penderita alergi kacang secara tidak sengaja.
Oleh MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 8 Februari 2020