Indonesia kembali membuka peluang beroperasinya industri tambang yang membuang tailing atau limbah pengolahan mineralnya ke laut. Hal itu mengancam kehidupan ekosistem laut dan penyebarannya bisa sampai kolom laut. Karena itu, pemerintah diminta menghentikan praktik pembuangan tailing ke laut.
KOMPAS/INGKI RINALDI–Sejumlah penyelam, Selasa (13/8/2019) terlihat di perairan Teluk Benete, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Kawasan itu menjadi bagian operasi pertambangan yang dijalankan PT Amman Mineral Nusa Tenggara. Perusahaan yang sebelumnya dikelola PT Newmont Nusa Tenggara tersebut mendapatkan izin membuang tailing atau limbah sisa tambang ke dalam laut di Teluk Senunu.
Salah satu lokasi yang disasar menjadi tempat pembuangan tailing atau sisa tambang tersebut yaitu di perairan sekitar Pulau Obi di Maluku Utara dan perairan Morowali di Sulawesi Tengah. Dua perairan itu akan “dikorbankan” demi memenuhi investasi pertambangan biji nikel yang merupakan bahan pembuatan baterai mobil listrik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak memberikan rekomendasi dan tak mendukung rencana pembuangan tailing ini ke laut dalam,” kata Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Kamis (9/1/2020), di Jakarta.
Hingga kini, studi ilmiah kondisi laut dalam di Indonesia sangat minim. Hal ini amat riskan karena mitigasi dampak dari pembuangan tailing maupun risiko kecelakaan dalam pembuangan minim.
Merah mencontohkan kasus kebocoran pembuangan tailing laut pada pertambangan Ramu Nickel di Papua Niugini, Agustus 2019. Sebanyak 200.000 liter lumpur tailing keluar mengotori pesisir sehingga perairan Teluk Basamuk berwarna merah. Dampaknya masih diteliti otorita setempat. (ABC.net.au, 24 September 2019).
Di Indonesia, pembuangan tailing mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 12 tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Dumping (Pembuangan) Limbah Ke Laut. Izin pembuangan tailing masih diberikan kepada PT Newmont Nusa Tenggara di Batu Hijau (kini diakusisi AMMAN).
Pada aturan itu, KLHK memberikan beberapa syarat yaitu limbah wajib dinetralisasi dan ada serangkaian uji. Sementara lokasi pembuangan agar memiliki lapisan termoklin permanen. Lapisan termoklin diyakini jadi semacam tembok di kolom laut agar lumpur limbah tailing tak naik ke permukaan laut.
Alternatif syarat
Jika tak ada lapisan termoklin permanen, pemerintah memberi alternatif syarat lokasi pembuangan tailing berupa terletak di dasar laut dengan kedalaman lebih dari 100 meter, secara topografi dan batimetri menunjukkan ada ngarai dan saluran di dasar laut mengarahkan tailing ke kedalaman lebih dari 200 meter, tidak ada proses pengadukan di daerah up-welling (kenaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan permukaan perairan laut), dan tak memicu dampak pada area sensitif menurut kajian pemodelan sebaran dampak.
Syarat selanjutnya, lokasi pembuangan tidak berada di lokasi tertentu atau di daerah sensitif yaitu area konservasi, daerah rekreasi, serta kawasan mangrove; lamun; dan terumbu karang. Lokasi juga tak boleh berada pada kawasan cagar budaya/ilmu pengetahuan, area rawan bencana alam, dan daerah pemijahan dan pembesaran ikan serta budidaya perikanan.
Terkait hal itu, Pelaksana tugas Direktur Jenderal Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Aryo Hanggono menyebutkan ada dua perusahaan yang mengajukan rencana pembuangan tailing ke laut. Keduanya yaitu PT Hua Pioneer Indonesia di Morowali dan PT Trimegah Bangun Persada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Ia menyatakan tidak ada masalah dengan lokasi pembuangan tailing.
DITJEN PERENCANAAN RUANG LAUT KKP–Rencana lokasi pembuangan limbah tambang PT Trimegah Bangun Persada di Pulau Obi, Maluku Utara. Sumber: Ditjen Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan
“Yang penting pipa tailing harus sampai kedalaman minimal 200 meter karena di kedalaman 100-200 meter adalah swimming layer-nya yellow fin tuna di daerah itu,” kata dia. Uji toksiksitas sudah dilakukan perusahaan dan tidak berpengaruh terhadap biota laut.
Terkait perusahaan di Morowali, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Ruang Laut, kegiatannya termasuk Proyek Strategis Nasional (PSN) yakni kawasan industri morowali dan pembangunan smelter morowali. Karena berstatus PSN dan belum masuk rencana zonasi, berdasarkan PP itu, izin pemanfaatan ruang perairan dapat diberikan.
DITJEN PERENCANAAN RUANG LAUT KKP–Rencana lokasi pembuangan limbah PT Hua Pioneer Indonesia di Morowali, Sulawesi Tengah. Sumber: Ditjen Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan
Sementara di Pulau Obi, kegiatannya tak masuk PSN. Menurut catatan Direktorat Jenderal Perencanaan Ruang Laut KKP, izin lokasi perairan telah diterbitkan atas nama Gubernur oleh Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan terpadu Satu Pintu Maluku Utara pada 2 Juli 2019.
Ia menekankan agar kegiatan-kegiatan itu wajib mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 10 Januari 2020