Pemerintah mendeklarasikan wabah demam babi afrika di daerah tertentu di Sumatera Utara. Belum ada kompensasi kepada peternak. Namun, pemerintah menjanjikan akan memberi bibit babi.
Kementerian Pertanian akhirnya mendeklarasikan Indonesia terjangkit demam babi afrika (african swine fever/ASF) di 16 kabupaten/kota di Sumatera Utara. Pemerintah belum memiliki mekanisme pemberian kompensasi kepada peternak. Akan tetapi, pemerintah akan membantu pengadaan bibit babi jika sudah tak ada wabah penyakit.
Dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 820 Tahun 2019 tertanggal 12 Desember itu, 16 kabupaten/kota yang ditetapkan sebagai daerah wabah ASF adalah Kabupaten Dairi, Kabupaten Humbang Hasudutan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Karo, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Langkat, Kota Tebing Tinggi, Kota Pematang Siantar, dan Kota Medan. ”Penyakit ini tidak menjangkiti Indonesia secara menyeluruh,” kata Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di Jakarta, Rabu (18/12/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan) Fadjar Sumping Tjatur Rasa menyerahkan keputusan untuk mematikan babi kepada peternak. Peternak boleh menyimpan 1-2 ekor babi asalkan dapat menjaga biosekuritas kandang.
Pemerintah tidak bisa melakukan culling (pemusnahan) karena perlu tenaga dan biaya. Namun, penyakit diupayakan tidak menyebar dan lintas perdagangan dibuat tertutup di daerah yang terinfeksi. Menurut Fadjar, per 15 Desember 2019, 28.000-30.000 ekor babi mati di 16 kabupaten/kota di Sumut. Jika harga babi Rp 2 juta-Rp 3 juta per ekor, kerugian peternak ditaksir Rp 56 miliar-Rp 90 miliar.
Hingga saat ini, lanjutnya, pemerintah belum punya mekanisme pemberian kompensasi kepada peternak yang terdampak ASF karena masalah anggaran dan pertanggungjawaban penelusuran resmi data ternak beserta peternakan. Akan tetapi, pemerintah akan membantu bibit babi kalau sudah tidak ada wabah penyakit.
Kementan mencatat, kasus pertama kematian babi terjadi di Kabupaten Dairi pada 4 September 2019. Namun, saat itu belum diketahui pasti penyebabnya. ”Ada beberapa gejala yang mesti dicek, diinvestigasi, dan diuji laboratorium untuk memastikan penyebabnya. Perlu waktu sebelum dinyatakan wabah,” tutur Fadjar.
Ada sejumlah faktor yang dinilai menyebabkan cepatnya penularan virus ASF di Sumut. Ini antara lain jual-beli ternak antarkandang; ada virus terbawa dari sisa makanan di kapal, pesawat untuk pakan babi; dan sewa pejantan untuk reproduksi. Kasus kematian umumnya terjadi di kandang peternak rakyat dengan biosekuritas lemah.
Sesuai perundangan, terhadap daerah wabah akan dilakukan pengendalian dan penanggulangan. Adapun kabupaten/kota yang berstatus bebas penyakit ASF, provinsi yang berbatasan langsung dan/atau memiliki lalu lintas darat dengan Sumut melakukan pengamatan dan identifikasi, pencegahan, pengamanan penyakit, serta pengobatan hewan.
Menurut Fadjar, sejak kasus di China pada Agustus-September 2018, Kementan berkirim surat kepada pemerintah kota/kabupaten dan provinsi agar waspada. Pemerintah juga memperketat karantina di pintu-pintu masuk lintas negara, menyebarkan imbauan waspada, menurunkan tim dokter, memberikan penyuluhan, dan memperketat biosekuritas. Pengendalian virus tidak gampang. ASF juga menular ke negara-negara maju.
Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia Muhammad Munawaroh mengatakan, deklarasi wabah ASF oleh Menteri Pertanian sebenarnya sangat terlambat. Menurut Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), deklarasi seharusnya dilakukan paling lama 24 jam setelah ditemukan. ”Penyakit ini sudah tiga bulan ada di Sumut dan menyebar di 16 kabupaten/kota, tetapi baru dideklarasikan pemerintah,” katanya.
Menurut Munawaroh, pemerintah harus segera melakukan penutupan wilayah, peningkatan biosekuritas di daerah wabah ataupun yang masih bebas wabah. Jika perlu, dilakukan depopulasi dengan membayar kompensasi kepada peternak.
KOMPAS/NIKSON SINAGA–Peternak menunjukkan ternak babinya yang diduga terjangkit demam babi Afrika (ASF) di Desa Helvetia, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Senin (9/12/2019). Sebanyak 23.000 ternak babi mati di 16 kabupaten di Sumut dalam beberapa bulan ini. Namun, peternak belum mendapat penjelasan apa pun tentang penyakit tersebut.
Tunggu petunjuk teknis
Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut Mulkan Harahap di Medan, Rabu, menyatakan siap menindaklanjuti pernyataan wabah ASF sesuai tahapan dan koridor yang ditetapkan Kementan. Pihaknya menunggu petunjuk teknis pengendalian dan penanggulangan dari Kementan.
Sejak dideteksi September, telah dilakukan pembatasan lalu lintas babi dan pembagian desinfektan kepada peternak. Menurut Kepala Balai Veteriner Medan Agustia, pihaknya terus menyosialisasikan bahwa daging babi aman dikonsumsi karena virus ASF tidak menular kepada manusia. Konsumsi penting sebagai upaya depopulasi babi secara alami tanpa merugikan peternak.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karo Matehsa Purba mengatakan, pengendalian dan penanggulangan penyakit ASF mereka lakukan sangat terbatas karena kesulitan anggaran. Pihaknya tidak punya dana darurat dan sulit mengalihkan anggaran dari pos lain karena sudah di pengujung tahun.
Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas II Tanjung Pinang Donni Muksydayan menuturkan, ternak dan segala olahan daging babi dari Sumut telah dilarang masuk Kepulauan Riau sejak dua bulan lalu. Hal ini dilakukan bekerja sama dengan balai karantina di Belawan dan Tanjung Balai Asahan.
Oleh NIKSON SINAGA/MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI/ MUKHAMAD KURNIAWAN/COKORDA YUDISTIRA/PANDU WIYOGA
Sumber: Kompas, 19 Desember 2019