Pemerintah menetapkan angka acuan pengukuran sampah di laut sebesar 0,27 juta – 0,59 juta ton. Itu menjadi data patokan dalam upaya mencapai penurunan jumlah sampah di laut sebesar 70 persen pada tahun 2025. Angka ini dihitung tim peneliti lapangan di sejumlah 18 titik seluruh Indonesia, termasuk Jakarta.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Sampah memenuhi permukaan air Kali Dadap di Kelurahan Dadap, Kosambi, Tangerang, Banten, Senin (9/12/2019). Keberadaan sampah tersebut selain menyebabkan sumber penyakit juga menjadi penghambat aliran air ke laut.KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Penghitungan angka patokan (baseline) sampah laut dimulai sejak Februari 2018 dengan melibatkan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), National Plastic Action Partnership (NPAP), dan Bank Dunia. Angka tersebut pun “mengoreksi” hasil riset Jenna Jambeck (University of Georgia) pada tahun 2015 yang menempatkan Indonesia sebagai penyumbang sampah laut terbesar kedua dunia sebesar 0,48 juta – 1,29 juta ton setiap tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Merespons isu yang sempat mempermalukan Indonesia tersebut, Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden No 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah di Laut. Isinya memerintahkan sejumlah 16 kementerian/lembaga untuk menjalankan sejumlah perintah untuk mencapai 70 persen penurunan sampah di laut pada 2025.
“Jadi nanti acuan kalau mau mengukur keberhasilan pengurangan sampah di laut pakai angka itu (0,27 juta – 0,59 juta ton),” kata Laksana Tri Handoko, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kamis (12/12/2019), di Jakarta. Ia ditemui seusai mengikuti rapat koordinasi penanganan sampah laut yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko, Kamis (12/12/2019) di Jakarta.
Ia mengatakan tonase sampah itu terdiri dari berbagai jenis sampah plastik, kayu, logam, tekstil, dan sebagainya. Seperti halnya riset terbaru yang dilakukan penelitinya di Teluk Jakarta, sampah-sampah yang terbuang itu berupa sampah plastik yang tak memiliki nilai seperti styrofoam dan lembaran plastik.
Estimasi baseline data sampah laut merupakan salah satu aktivitas utama dari Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut yang berada di bawah dan bertanggjawab langsung kepada Presiden. Tim yang diketuai Menko Maritim (dan Investasi) ini menjalankan Perpres 83.
Sekretaris Tim Koordinasi Nasional yang juga Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati mengatakan dalam rapat koordinasi itu, Menteri LHK Siti Nurbaya memunculkan ide penggunaan plastik sekali pakai di semua kantor pemerintah pusat dan daerah. Diusulkan, pelarangan ini berlaku mulai Februari 2018 dengan masa peralihan 6 bulan untuk kantor pemerintah pusat dan setahun untuk kantor pemerintah daerah.
“Ini nanti direktif dari Menko Maritim dan Investasi,” kata dia. Lalu bagaimana tindakan bila terdapat instansi/kantor yang tak menjalankannya? Ia mengatakan hingga kini belum ada namun untuk pemerintah pusat memiliki mekanisme insentif/disinsentif dan penghargaan Adipura agar diikuti kepala daerah.
Pengelolaan di daratan
Ia pun menjelaskan strategi pengurangan sampah di laut dilakukan dengan meningkatkan pengelolaan sampah di daratan. Ini didasarkan pada riset yang menunjukkan sekitar 80 persen sampah di laut berasal dari kegiatan di darat yang sampahnya mengalir ke sungai, muara, dan berakhir di laut.
Karena itu, lanjut Rosa, pengelolaan sampah dilakukan dengan menggunakan tiga strategi. Pertama, pendekatan pengurangan sampah atau less waste. Ia menunjukkan sejumlah praktik baik pemerintah daerah yang membatasi penggunaan plastik sekali pakai. Selain itu, pengurangan maupun pengubahan desain kemasan plastik sejumlah produk pun membantu menurunkan volume sampah.
Kedua, pendekatan sirkular ekonomi melalui pemanfaatan bank sampah dan pemilahan melalui TPS3R. Ketiga, pengelolaan sampah dengan mengedepankan teknologi.
–Rosa Vivien Ratnawati, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kamis (12/12/2019) di Jakarta.
Teknologi yang dimaksud Rosa Vivien, diantaranya adalah insinerator. “Seperti Styrofoam itu tidak bisa didaur ulang, maka satu-satunya dimusnahkan dengan dibakar dengan teknologi standar yang emisinya tak merusak lingkungan dan kesehatan. Karena itu jangan pakai styrofoam,” kata dia.
Terkait insinerator ini, Kepala LIPI Laksana menambahkan terdapat teknologi plasma untuk memecah senyawa dioksin yang muncul dari pembakaran plastik. Ini bisa mencegah atau mengurangi risiko penyakit akibat paparan senyawa tersebut pada lingkungan dna makhluk hidup.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 13 Desember 2019