Lembaga keuangan bisa meninjau ulang perusahaan-perusahaan yang didanai terkait kebakaran hutan secara langsung maupun melalui perusahaan pemasok bahan bakunya, Hal itu bisa turut mencegah kebakaran hutan dan lahan.
Otoritas Jasa Keuangan dan lembaga keuangan memiliki peran strategis untuk mencegah kejadian kebakaran hutan dan lahan. Melalui mekanisme keuangan yang ketat dan verifikasi kuat, lembaga keuangan bisa meninjau ulang perusahaan-perusahaan yang didanai terkait kebakaran hutan dan langsung, baik yang melibatkan perusahaan tersebut maupun jaringan penyuplai bahan bakunya.
Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Edi Sutrisno, Rabu (11/12/2019) di Jakarta, mengatakan lembaga keuangan memiliki aturan main yang telah diberikan Otoritas Jasa Keuangan melalui Roadmap Keuangan Berkelanjutan 2014-2019. Namun roadmap atau peta jalan tersebut belum tampak dampak positifnya di lapangan bagi perbaikan tata kelola kehutanan dan sawit dari sisi pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Rainforest Action Network (RAN), TuKINDONESIA, Jikalahari, WALHI dan Profundo, Rabu (12/11/2019) di Jakarta, meluncurkan laporan “Tinjauan Atas reformasi Keuangan Berkelanjutan di Indonesia: Bagaimana Sektor Jasa Keuangan dapat Mengatasi Masalah Legalitas dan Masalah Keberlanjutan pada Industri Kehutanan dan Perkebunan”. Laporan tersebut menggarisbawahi peran penting sektor keuangan dalam melanggengkan krisis kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia.
Salah satu penyebabnya, kata dia, OJK tak memiliki mekanisme kontrol terkait pemantauan, pengaduan, serta sanksi bila praktik keuangan berkelanjutan tersebut tak dijalankan lembaga perankan. Bila roadmap tersebut dijalankan dengan baik maka sektor keuangan bisa berkontribusi dalam mengubah perilaku perusahaan untuk mencegah maupun menghentikan praktik pembakaran hutan dan lahan, baik langsung maupun tak langsung melalui jejaring penyuplainya.
“Regulator keuangan yaitu OJK harus melakukan pengawasan ketat dan mewajibkan bank melakukan peninjauan ulang pembiayaan,” kata dia.
Pada perusahaan dengan kinerja lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) yang buruk dan tidak dapat diperbaiki, lembaga keuangan perlu memberikan evaluasi maupun penalti. Sementara perusahaan dengan dampak LST positif, ia mendukung agar pembiayaan harus ditingkatkan.
Rekomendasi penguatan pengawasan pada OJK ini dorongan TuK Indonesia bersama Rainforest Action Network (RAN), Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Profundo dalam laporan Tinjauan Atas reformasi Keuangan Berkelanjutan di Indonesia: Bagaimana Sektor Jasa Keuangan dapat Mengatasi Masalah Legalitas dan Masalah Keberlanjutan pada Industri Kehutanan dan Perkebunan yang diluncurkan Rabu kemarin.
Laporan tersebut pun mendorong agar OJK menyusun kembali peta jalan keuangan berkelanjutan lagi periode 2020-2029. Peta jalan tersebut pun menjadi penuntun untuk menghindarkan sektor keuangan dari pembiayaan berisiko akibat berbagai dampak pelangaran terhadap LST.
Memperkaya pertimbangan
Menanggapi masukan ini, secara terpisah, Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot menyatakan sangat menghargai masukan dari seluruh pihak dan dapat memperkaya pertimbangan dalam perumusan kebijakan Keuangan Berkelanjutan ke depan. “OJK akan terus memfasilitasi agar program Keuangan Berkelanjutan menjadi katalis untuk mencapai pembangunan yang peduli terhadap dampak lingkungan dan sosial masyarakat,” kata dia.
Ia pun mengatakan pada Oktober lalu, OJK dan International Finance Corporation (IFC) berkomitmen untuk melanjutkan kerja sama pengembangan program Keuangan Berkelanjutan. IFC menyatakan Indonesia dinilai telah mencapai tahap kematangan (maturing stage) di bidang keuangan berkelanjutan. Karena itu, lanjutnya, tahapan berikutnya akan difokuskan pada implementasi prinsip SF melalui Roadmap Sustainable Finance phase II guna memperkuat implementasi manajemen risiko dari LST oleh institusi jasa keuangan.
Pada laporan tersebut, organisasi masyarakat sipil ini menemukan 17 kelompok perusahaan yang diidentifikasi pemerintah terlibat dalam kebakaran pada 2019 menerima 19 miliar dollar AS dalam bentuk pinjaman korporasi dan fasilitas penjaminan sejak tahun 2015. Lembaga perbankan tersebut merupakan sejumlah bank nasional Indonesia serta bank asing dari China, Malaysia, Taiwan, Singapura, dan Jepang. Analisis tambahan dari RAN mengungkapkan pembiayaan perusahaan yang bertanggungjawab atas krisis asap ini menjadi masalah lintas batas karena sebagian besar pendanaan keuangan berasal dari bank-bank di ASEAN dan lembaga keuangan di Asia Timur.
Menurut TuK Indonesia, bank telah menyediakan utang dan penjaminan senilai 7,5 miliar dollar AS dan bank asing dari China, Malaysia, Jepang, dan Singapura memberikan tambahan dana 24,6 miliar dollar AS pada periode 2015-Agustus 2019 kepada perusahaan kehutanan dan sawit di Indonesia. Sebagian perusahaan yang didanai tersebut ditemukan memiliki keterkaitan dengan kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan pada 83 korporasi kebun dan kehutanan yang disegel aparat penegak hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun ini.
Penelusuran yang dilakukan pada 5 dari 11 korporasi di Riau yang disegel KLHK, menunjukkan lokasi kebakaran pada sebagian tempat merupakan daerah konflik pada izin kehutanan. Daerah konflik tersebut dibakar dan ditanami dengan tanaman sawit.
Koordinator Jikalahari, Made Ali mengatakan kebakaran pada daerah konflik tersebut terkesan pembiaran. “Sawit itu selalu ada di areal nonproduktifnya perusahaan (kehutanan). Kalau masuk areal produktif (tanaman pokok) selalu diusir oleh perusahaan,” kata dia.
Menurutnya, dalih perusahaan bahwa daerah terbakar merupakan areal konflik tak bisa menjadi pembenaran. Ia mengatakan areal yang berkonflik tersebut diagunkan dan menjadi bagian areal konsesi yang dimohonkan pembiayaannya pada perbankan. Di satu sisi, ia mempertanyakan perbankan yang tak menyentuh atau mengevaluasi hal-hal ini.
Temuan lain, pada areal perusahaan sawit asal Singapura, Jikalahari menemukan kebun tanaman sawit berusia 10-12 tahun mengalami kebakaran. Ia menduga hal tersebut bagian dari pembersihan kebun karena tanaman-tanaman sawit tersebut tak produktif. “Menurut laporan areal itu memang agak lama dipadamkan, hampir 2 minggu dibiarkan perusahaan,” kata dia.
Edi Sutrisno mengatakan sebagai badan regulator atau pengatur lembaga keuangan OJK harus memperkuat pengawasan. Ia pun mendorong agar OJK memastikan terdapat peraturan dan pedoman keuangan berkelanjutan yang memadai terkait standar manajemen risiko. Selain itu, ia pun berpendapat OJK agar dilibatkan aktif dalam Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) yang diinisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ia pun mendorong agar bank dan investor wajib mengembangkan dan menerbitkan kebijakan pinjaman sektor kehutanan/perkebunan yang baru, termasuk sistem manajemen risiko LST serta mengembangkan standar dan proses kebijakan sektor minimum.
Pada 5 studi kasus pembiayaan sejumlah lembaga keuangan nasional dan asing kepada perusahaan sawit dan kehutanan, Edy Sutrisno menjumpai sejumlah kasus seperti kebakaran hutan dan lahan, deforestasi pembukaan gambut, dan konflik dengan masyarakat pada perusahaan-perusahaan yang didanai.
“Adopsi dan terapkan sistem due diligence (uji tuntas/uji kelayakan) dan peraturan tegas,” kata dia. Lembaga keuangan/permodalan pun diminta mengembangkan dan menerbitkan kebijakan LST yang tegas pada pembiayaan-pembiayaan yang diberikan.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 12 Desember 2019