Pemerintah Indonesia terus memperbarui teknologi pemantauan cuaca dan iklim guna meningkatkan kemampuan dalam memitigasi perubahan iklim. Pembaruan teknologi juga penting untuk menentukan strategi adaptasi yang diperlukan.
“Secara statistik periode ulang terjadinya El Nino-La Nina pada periode 1981-2019 mempunyai semakin cepat dibandingkan periode 1950-1980,” kata Kepala Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, saat menjadi pembicara di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim (COP-UNFCCC) ke-25 di Madrid, Spanyol, dalam keterangan tertulis Rabu (4/12/2019).
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menghadapi situasi tersebut, menurut Dwikorita, Indonesia terus memperbaiki teknologi pemantauan iklim dan cuaca. Sistem observasi yang ada di lapangan diperkuat dengan dukungan sistem informasi. Ini bisa memberikan hasil pemantauan iklim dan cuaca sesuai kebutuhan masyarakat.
Berkat pembaruan teknologi pemantauan itu, prediksi yang awalnya hanya bisa dalam jangka waktu tiga sampai empat dasarian, kini bisa dilakukan hingga tiga bulan ke depan. Indonesia kini juga bisa membangun sistem peringatan dini cuaca dan iklim mulai dari prediksi terjadinya banjir, kekeringan, hingga kemungkinan mewabahnya penyakit demam berdarah akibat perubahan iklim.
Dwikorita menyatakan penggunaan teknologi pemantauan terbaru penting agar masyarakat yang terdampak perubahan iklim juga bisa melakukan adaptasi. Menurut dia, petani dan nelayan adalah pihak yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Petani Indonesia dulu berpegangan pada pengetahuan lokal yang disebut pranoto mongso. Pengetahuan ini memberi panduan petani terkait waktu tanam, jenis tanaman dan berbagai hal tentang budidaya pertanian lainnya. “Namun perubahan iklim telah membuat disrupsi pranoto mongso. Ketika masuk waktu tanam, malah tidak bisa karena tidak turun hujan,” katanya.
Merespon situasi tersebut, BMKG mengembangkan Sekolah Lapang Iklim (SLI) untuk meningkatkan adaptasi petani dan nelayan terhadap perubahan iklim.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA–Petani yang mengikuti Sekolah Lapang Iklim Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Klas I Semarang mengecek alat penakar hujan observasi di Desa Tegalsari, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Senin (8/7/2019). SLI diselenggarakan antara lain untuk meningkatkan pemahaman petani akan pengaruh iklim pada hasil produksi pertanian.
Manajemen risiko
Kepala Badan Informasi dan Geospasial Hassanuddin Z Abidin menyatakan, informasi geospasial sangat bermanfaat untuk manajemen pengurangan risiko kebencanaan, khususnya bencana hidrometerologi seperti banjir longsor serta kekeringan dan kebakaran lahan.
Dalam kurun 2003-2018, bencana hidrometerologi ini mendominasi di Indonesia. Padahal, sekitar 40 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah rawan bencana. “Informasi spasial seperti peta dasar dan tematik mendukung pengurangan risiko bencana,” katanya.
Informasi tentang kebencanaan ini disampaikan melalui Portal Geospasial (http://tanahair.indonesia.go.id/portal-web). Sumber data informasi tersebut berasal dari masing-masing kementerian, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Portal ini, menurut Hassanuddin, merupakan upaya pemerintah untuk membangun transparansi data dan informasi melalui kebijakan One Map Policy yang antara lain menghasilkan Satu Data rujukan nasional
Hassanudin menambahkan, pihaknya juga bisa menyediakan informasi terkait cadangan karbon di lapangan untuk mendukung diperolehnya kebijakan pengelolaan lahan yang tepat.
Oleh AHMAD ARIF
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 5 Desember 2019