Perusahaan media produsen konten terus berusaha menggempur kedigdayaan Google dan Facebook. Berbagai inovasi dibuat para produsen konten untuk mengembalikan pendapatan iklan mereka.
AFP/ LIONEL BONAVENTURE AND NICOLAS ASFOURI–Logo google, twitter dan facebook sebagai sarana media sosial yang banyak digunakan warga dunia termasuk Indonesia.
Tak mau menyerah, berbagai perusahaan media produsen konten terus berusaha menggempur kedigdayaan Google dan Facebook sebagai peraup terbesar belanja iklan di dunia digital. Berbagai inovasi dibuat para produsen konten untuk mengembalikan pendapatan iklan mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Adagium pemenang menyapu bersih semuanya (winner takes all) dapat dikenakan pada keperkasaan Google dan Facebook dalam meraup keuntungan iklan di dunia digital. Mayoritas pangsa iklan yang selama ini dibagi-bagi di antara perusahaan media di berbagai dunia kini dikuasai dua perusahaan itu. Maka, kekuasaan mereka disebut duopoli.
Penelitian yang diterbitkan eMarketer pada Februari 2019 menunjukkan bahwa total belanja iklan di media digital di Amerika Serikat pada 2018 sudah hampir menyamai total belanja iklan di media tradisional. Bahkan, diramalkan pada tahun 2019, total belanja iklan di media digital melampaui total belanja iklan di media tradisional.
Melihat perkembangan pendapatan iklan digital yang dikuasai Google dan Facebook, media digital, sebagai produsen konten utama, melakukan berbagai cara untuk mengembalikan pendapatan mereka.
Terdapat minimal tiga upaya berbagai media, mulai dari memaksa Google dan Facebook agar tunduk pada aturan di suatu negara, mencoba mencari pendapatan di luar iklan, hingga menyaingi Google dan Facebook dengan mesin iklan yang lebih baik.
Perusahaan teknologi
Upaya berbagai media untuk mengguncang keperkasaan Google dan Facebook dimulai dengan persoalan definisi, apakah keduanya merupakan perusahaan media atau bukan. Target yang ingin dicapai adalah membuat ”kompetisi” dengan perusahaan media lainnya berjalan lebih adil. Seperti diketahui, Google dan Facebook selama ini diuntungkan dengan berbagai konten yang diproduksi perusahaan media lain, dengan menampilkannya di situs mereka.
Maka, keduanya ditekan agar menegaskan diri apakah menjadi perusahaan media atau tidak. Jika perusahaan media, mereka harus membuka diri dalam distribusi konten, membayar pemilik konten, terbuka dari sisi pajak, mengedit berita, dan menyortir konten yang tak sesuai dengan standar jurnalistik. Lebih-lebih, jika sebagai perusahaan media, Google dan Facebook perlu memproduksi konten serta mengedit konten agar sesuai dengan kaidah jurnalisme.
Akan tetapi, alih-alih mengaku sebagai perusahaan media, Google dan Facebook justru ”mengelak” dan menegaskan diri sebagai perusahaan teknologi. Dengan demikian, mereka tak harus mengikuti standar kerja jurnalistik dalam memperlakukan konten yang mereka sajikan, termasuk dalam hal iklan.
Sebagai langkah ”memperhalus” konflik dengan audiens media, keduanya belakangan ikut memerangi hoaks. Facebook dan Google mendesain program aplikasi untuk mendorong prinsip jurnalisme yang baik bagi para jurnalis. Facebook menawarkan program Facebook Journalism Project, sedangkan Google mendorong konten yang sehat dengan Google News Initiative.
Bahkan, Google dan Facebook ”merangkul lawan” dengan berbagai kerja sama. Melalui proyek jurnalismenya, Facebook bekerja sama dengan berbagai penerbit melalui kegiatan pelatihan, program, dan kemitraan untuk memperkuat komunitas dengan jurnalisme yang bermakna. Adapun melalui Google News Lab, Google berkolaborasi dengan jurnalis dan pengusaha untuk mendorong inovasi dalam pemberitaan.
Tak melulu iklan
Upaya lain yang dilakukan perusahaan media adalah mencari pendapatan di luar iklan. Perusahaan media melakukan hal itu dengan menerapkan model bisnis langganan berbayar bagi penggunanya. Prinsip ini melibatkan metode yang disebut secara umum sebagai paywall.
Paywall dapat dibedakan berdasarkan modelnya, entah itu hard paywall, soft/metered model, freemium model, kontribusi, tawaran tanpa iklan, ataupun membayar kemudian (LaterPay). Semua model memiliki kesamaan, yakni menghimpun dana dari pembaca yang mau membayar atas konten yang mereka konsumsi.
Dari sisi model langganan, terdapat tiga model paywall yang digunakan beberapa koran di AS pada 2015. Dari 98 koran yang diteliti American Press Institute, 62 koran menerapkan model metered/soft paywall, 12 koran menerapkan model freemium, 3 koran menerapkan model hardpaywall, sedangkan 21 sisanya tidak memerlukan langganan untuk mengakses konten digital mereka.
Arus besar langganan digital ini didukung pula oleh data dari American Press Institute yang menunjukkan bahwa dari tahun 2009 hingga 2014, terdapat tren peningkatan dan pembalikan langganan media digital di AS.
Dari lima koran pada 2009, mereka yang menerapkan langganan digital di AS berkembang pesat hingga 77 koran pada 2014. Sebaliknya, dari 93 koran tanpa langganan digital, jumlah itu turun menjadi hanya 21 koran pada tahun 2014.
Tergiur iklan
Selain mengupayakan pendapatan dari sisi langganan berbayar, perusahaan media juga tetap melirik potensi pendapatan dari iklan. Mengikuti langkah Google dan Facebook, mereka mencoba melayani pengiklan semaksimal mungkin dengan berbagai cara. Kabar terbaru muncul dari harian The Washington Post (Post) yang mengumumkan peluncuran mesin pengatur iklan pada 17 September 2019 yang bernama Zeus Prime.
Zeus Prime merupakan hasil kolaborasi Post dengan perusahaan teknologi Polar. Sebelumnya, Polar berkolaborasi dengan perusahaan media, antara lain NBC, USA Today, dan The Straits Times.
Zeus Prime merupakan alternatif untuk beriklan di dunia digital yang selama ini didominasi Google ataupun Facebook dengan layanannya yang realtime dan berbasis data spesifik.
Zeus Prime menawarkan kemudahan, yakni masukan (input) materi iklan yang sangat minimal dari pengiklan. Pengiklan tak perlu menambahkan desain baru, melakukan koding tertentu, bahkan mereka tidak perlu menambah biaya untuk persetujuan iklan.
Pengiklan dapat dengan mudah menempatkan sendiri iklan mereka di situs Post juga secara real-time. Cara ini memotong alur iklan yang selama ini diperantarai pihak ketiga yang ikut menikmati pendapatan dari harga sebuah iklan. Tanpa keterlibatan pihak ketiga, pendapatan penerbit konten dari iklan akan lebih besar karena tidak dipotong pihak ketiga.
Ambisi Post bersama Zeus Prime adalah menawarkan kerja sama iklan dengan merek- merek ternama. Langkah Post tersebut didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan Integral Ad Science (IAS) pada Mei 2019 yang berjudul Hallo Effect.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa 74 persen iklan yang dilihat di situs berkualitas baik lebih disukai dibandingkan iklan yang sama di situs berkualitas rendah. Selain itu, iklan di situs berkualitas baik juga unggul 20 persen dalam mendorong keterlibatan serta 30 persen lebih mudah diingat.
Gajah bertemu gajah
Hingga saat ini, perusahaan media digital bisa dibilang hanya mendapatkan ”remah-remah iklan yang jatuh dari meja perjamuan” Google dan Facebook. Langkah Washington Post dengan Zeus Prime dapat dilihat sebagai ancaman baru bagi kekuasaan duopoli. Pemilik Post, Amazon, sudah membuktikan bahwa pendapatan iklan duopoli dapat digerus sehingga memunculkan Amazon di posisi ketiga.
Selain itu, Zeus Prime juga merupakan salah satu upaya ”menyalakan lilin di tengah kegelapan” inovasi perusahaan media digital. Ketika pendapatan di luar iklan belum mampu mengembalikan pendapatan iklan perusahaan media di masa kejayaannya, kehadiran Zeus Prime layak dijadikan alternatif pendapatan oleh perusahaan media lain.
Cara yang ditempuh Post dengan Zeus Prime memang berpotensi memunculkan persaingan baru antara para pembuat robot pemasangan iklan. Hal ini terjadi karena ada proyek senada dari produsen konten lain, seperti grup New York Media, Vox Media, Hearst, OpenX, ataupun Financial Times.
Akan tetapi, persaingan dengan sesama perusahaan media akan lebih dapat ditanggung daripada persaingan dengan duopoli Google dan Facebook. (LITBANG KOMPAS)
Oleh MAHATMA CHRYSNA
Sumber: Kompas, 29 November 2019