Hasil penelitian menunjukkan, terapi fotodinamik untuk periodontitis atau penyakit gusi dengan doksisiklin sebagai agen penyerap cahaya berhasil dengan baik.
Terapi sinar atau terapi fotodinamik untuk pengobatan telah banyak dilakukan, termasuk untuk mengobati penyakit infeksi pada gigi dan gusi. Hasil penelitian menunjukkan, terapi fotodinamik untuk periodontitis atau penyakit gusi dengan doksisiklin sebagai agen penyerap cahaya berhasil dengan baik.
ASTHESIA DHEA UNTUK KOMPAS–Peneliti Departemen Fisika Universitas Airlangga Dr Suryani Dyah Astuti, MSi melakukan pengenceran doksisiklin di Laboratorium Biofisika dan Fisika Medis Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Kampus C, Surabaya, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Prosiding hasil penelitian ini telah dimuat dalam jurnal SPlE 10 Maret 2019 dengan judul “Efektivitas Nano-doksisiklin yang Diaktifkan oleh Paparan Dioda Laser untuk Mengurangi Biofilm S. aureus: Studi in Vitro”. Penelitian dilakukan penulis bersama peneliti lain seperti Zeni Arifiana Ma’rifah, Nurul Fitriyah, Andi Hamim Zaidan, dari Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga; serta Ernie Maduratna Setiawatie dari Departemen Periodontik, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Airlangga, Surabaya.
Terapi fotodinamik merupakan suatu metode yang digunakan untuk menghilangkan suatu sel yang berbahaya atau tidak dikehendaki seperti kanker dan bakteri penyebab penyakit infeksi. Kombinasi cahaya dan fotosensitiser atau agen penyerap cahaya tertentu pada terapi fotodinamik akan menyebabkan fotoinaktivasi pada bakteri, yaitu penghambatan aktivitas metabolisme sel karena kerusakan membran sitoplasmik akibat peroksidasi oleh oksigen reaktif.
Mekanisme fotoinaktivasi melibatkan proses fotosensitisasi, yaitu proses penyerapan cahaya oleh molekul yang bersifat fotosensitiser pada bakteri yang selanjutnya mengaktivasi terjadinya reaksi kimia menghasilkan berbagai spesies oksigen reaktif.
Fotosensitiser adalah zat pengabsorpsi cahaya dalam terapi fotodinamik. Umumnya fotosensitiser yang digunakan adalah bahan kimia metilena biru (methylene blue). Berbagai literatur menunjukkan fotosensitiser itu beracun. Karena sifat racun dari metilena biru ini, kami mencoba memanfaatkan antibiotik doksisiklin dosis rendah sebagai fotosensitizer.
ASTHESIA DHEA UNTUK KOMPAS–Peralatan untuk pengenceran doksisiklin di Laboratorium Biofisika dan Fisika Medis Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Kampus C, Surabaya, beberapa waktu lalu.
Doksisiklin merupakan obat golongan antibiotik tetrasiklin yang digunakan untuk mengobati sejumlah infeksi bakteri. Doksisiklin dalam dosis biasa atau harian banyak dipergunakan karena memiliki spektrum yang luas pada efek kemanjuran antibiotik. Dibandingkan dengan jenis antibiotik tetrasiklin lainnya, doksisiklin memiliki rentang lebih luas pada jenis mikroba golongan Gram-negatif dan Gram-positif.
Pemberian doksisiklin dosis rendah untuk inaktivasi bakteri dapat meminimalisiasi efek samping sebagai antibiotik dan tidak menyebabkan bakteri menjadi resisten. Spektrum absorpsi cahaya dari doksisiklin terletak pada spektrum panjang gelombang cahaya tampak 380-780 nanometer (nm), sehingga dapat dimanfaatkan sebagai agen fotosensitiser.
Penelitian doksisiklin melalui tahap di laboratorium (in vitro), dicoba pada hewan percobaan (in vivo) dan uji klinis pada manusia. Pada tahap in vitro, doksisiklin diujicobakan pada bakteri penyakit gigi yaitu bakteri planktonik dan biofilm. Hasil penelitian menunjukkan pada bakteri planktonik, doksisiklin 0,1 persen menunjukkan aktivitas sensitif, sedangkan pada biofilm menunjukkan resistensi. Hal ini disebabkan karena doksisiklin tidak mampu menembus pori-pori biofilm, sehingga pada dosis rendah tidak sensitif.
Pada uji di hewan coba model periodontitis menggunakan doksisiklin dan dentolaser menunjukkan adanya perbaikan jaringan secara signifikan berdasarkan hasil uji histopatologi anatomi.
Berdasarkan keberhasilan hasil uji in vitro dan in vivo maka dilanjutkan dengan uji klinis pada kasus periodontitis yang dilakukan oleh Ernie Maduratna Setiawatie. Hasil uji klinis dengan doksisiklin dan dentolaser menunjukkan hasil yang sangat baik.
Pada penelitian tersebut, doksisiklin yang digunakan meliputi dua ukuran partikel yakni, dalam ukuran mikro dan nano. Pada skala mikro, doksisiklin diencerkan dengan aquades. Pada skala nano, doksisiklin dibuat dalam skala nano secara mekanis dan penyaringan kemudian diencerkan dengan aquades.
Justifikasi ukuran nano menggunakan penganalisis ukuran partikel dan spektroskopi infra merah untuk mengetahui gugus fungsi masing-masing molekul. Pengujian spektrum serap dengan spektroskopi UV Visible menunjukkan adanya pergeseran panjang gelombang dari ukuran mikro ke nano, pada ukuran nano mampu menyerap energi cahaya 67 persen sedangkan pada ukuran nano 84 persen. Kemampuan serapan energi cahaya ini sebanding dengan efektivitasnya untuk inaktivasi bakteri.
Doksisiklin 0,1 persen berdasarkan hasil uji pendahuluan menunjukkan resistensi bakteri dan doksisiklin berperan sebagai fotosensitiser. Pada penelitian berikutnya, serbuk doksisiklin dilarutkan dalam aquades sesuai konsentrasi, diinkubasi pada kultur bakteri dan dilakukan pemaparan dentolaser.
Penggunaan doksisiklin 0,1 persen sebagai fotosensitiser dengan aktivator dentolaser 405 nm menunjukkan efektivitas fotoinaktivasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan doksisiklin saja. Hasil dari penelitian in vitro doksisiklin menunjukkan adanya perbedaan efikasi pada masing-masing perlakuan. Penggunaan laser saja mampu mereduksi biofilm sekitar 31 persen. Penggunaan mikro-doksisiklin dengan laser itu sekitar 60 persen, sedangkan nano-doksisiklin dengan laser itu 80 persen.
Berdasarkan keberhasilan hasil uji in vitro dan in vivo maka dilanjutkan dengan uji klinis pada kasus periodontitis yang dilakukan oleh Ernie Maduratna Setiawatie. Hasil uji klinis dengan doksisiklin dan dentolaser menunjukkan hasil yang sangat baik.
Dengan adanya penelitian tersebut, kami berharap semakin banyak produk inovasi yang dihasilkan. Inovasi tidak harus dimulai dari teknologi canggih. Hal sederhana di sekitar kita bisa menjadi produk inovatif dan bermanfaat bagi masyarakat. Terobosan-terobosan inovasi pada dunia kesehatan diperlukan agar biaya pengobatan bisa terjangkau masyarakat.
Dr Suryani Dyah Astuti, M.Si, adalah dosen peminatan Biofisika dan Fisika Medis, Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya. Suryani menyelesaikan pendidikan sarjana di Unversitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1994, pendidikan pascasarjana S2 di Institut Teknologi Bandung tahun 1999, dan pendidikan S3 di Universitas Airlangga tahun 2011.
Oleh SURYANI DYAH ASTUTI
Editor SUBUR TJAHJONO
Sumber: Kompas, 19 November 2019