Manusia tidak pernah berevolusi di lingkungan seperti Mars sehingga sangat berbahaya mengirimkan manusia ke sana.
KOMPAS/NASA–Permukaan Mars dilingkupi oleh atmosfer tipis yang membuatnya mendapat paparan radiasi Matahari dan radiasi kosmik sangat tinggi hingga membahayakan manusia untuk hidup disana.
Lingkungan Mars yang ekstrem, tinggi paparan radiasi, atmosfer tipis, hingga kecilnya gravitasi membuat pengiriman manusia ke planet merah itu masih menimbulkan perdebatan para ahli.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Manusia tidak pernah berevolusi di lingkungan seperti Mars sehingga sangat berbahaya mengirimkan manusia ke sana. Namun, usulan mengirimkan manusia hasil rekayasa genetika yang lebih bisa beradaptasi dengan lingkungan ekstrem juga menimbulkan kontroversi.
Chris Mason, ahli genetika dari Universitas Weill Cornell, New York, Amerika Serikat yang meneliti efek genetika pada penerbangan luar angkasa mengusulkan untuk menggabungkan asam deoksiribonukleat (DNA) tardigrada dalam gen manusia untuk membuat manusia lebih mampu bertahan di lingkungan yang ekstrem, termasuk ruang hampa udara.
Tardigrada atau disebut beruang air adalah binatang sangat kecil, berkaki delapan dan hidup di air. Panjang binatang ini antara 0,1-1,5 milimeter, mampu hidup di manapun di Bumi dan mampu beradaptasi di lingkungan ekstrem.
KOMPAS/CC/WIKIPEDIA–Tardigrada atau disebut beruang air adalah binatang air berkaki delapan yang mampu bertahan dari paparan radiasi sebesar 570.000 rad atau 1.000 kali lebih tinggi dari paparan radiasi yang mampu ditoleransi makhluk hidup lain. Ilmuwan ingin menggabung asam deoksiribonukleat (DNA) tardigrada dengan DNA manusia untuk membuat manusia mampu bertahan hidup di Mars.
Ia bisa bertahan hidup di suhu 0-151 derajat celsius dan mampu bertahan dari paparan radiasi sebesar 570.000 rad atau 1.000 kali lebih tinggi dari paparan radiasi yang mampu ditoleransi makhluk hidup lain.
Binatang ini kemungkinan besar juga sudah ada di Bulan yang terbawa oleh wahana Bumi yang mendarat di Bulan, termasuk sejumlah wahana yang gagal mendarat di Bulan seperti wahana Beresheet milik Israel yang gagal mendarat di Bulan pada 11 April 2019.
Menurut Mason, seperti dikutip Live Science, Jumat (15/11/2019), paparan radiasi yang tinggi merupakan salah satu persoalan penting yang menghambat ekspansi manusia ke bagian lain Tata Surya.
Jika ilmuwan bisa menemukan cara yang membuat manusia lebih tahan terhadap radiasi, maka maka para antariksawan yang melakukan perjalanan ke luar angkasa bisa bertahan lebih lama dan tetap sehat.
SCI–Foto Mars pada saat oposisi 1971, diambil dengan teropong Zeiss Observatorium Bosscha. Kutub utara Mars (sangat putih) sedang tertutup lapisan es maksimum. Daerah yang pada gambar terlihat gelap, dalam kenyataan berwarna coklat tua (foto tersebut diambil dalam cahaya kuning).
“Secara teoretis, teknologi ini bisa juga digunakan untuk memerangi efek radiasi pada sel sehat selama perawatan kanker di Bumi,” katanya.
Namun, ide untuk bermain-main dengan gen manusia masih menjadi isu yang kontroversial, khususnya terkait persoalan etika. Meski demikian, Mason menilai akan banyak penelitian lain sebelum rekayasa genetika manusia untuk antariksawan yang akan menjelajahi Mars itu benar-benar bisa dilakukan.
“Mungkin 20 tahun dari sekarang, kita bisa berada pada tahap untuk mengatakan dapat membuat manusia bertahan lebih baik di Mars,” katanya. Namun, Mason belum memiliki rencana untuk merekayasa genetika antariksawan yang akan ke Mars dalam satu hingga dua dekade mendatang.
Walau belum pasti, namun ada beberapa cara yang bisa dilakukan ilmuwan untuk merekayasa genetika manusia agar bisa bertahan di Mars. Salah satunya adalah melalui rekayasa epigenetik yang bisa menghidupkan atau mematikan ekspresi gen tertentu.
Cara lainnya yang terdengar lebih aneh adalah dengan menggabungkan DNA manusia dengan DNA makhluk lain, seperti tardigrada. Konsep ini sudah dieksplorasi Mason sejak beberapa tahun terakhir. Dalam makalah Mason pada 2016, dia mengeksplorasi apakah penggabungan dengan DNA tardigrada yang tangguh itu benar-benar mampu melindungi manusia dari efek radiasi luar angkasa.
Walau demikian, tanpa rekayasa genetika dilakukan, perubahan genetika manusia itu bisa saja terjadi setelah manusia tinggal selama beberapa waktu di Mars. Perubahan itu terjadi karena manusia berkembang dan berevolusi di Bumi. Lingkungan ekstremlah yang akan mengubah genetika manusia. Namun, penggabungan DNA itu membuat manusialah yang akan menentukan kapan mereka berevolusi, bukan menunggu alam mengubah genetika manusia.
Dalam masalah kebebasan ilmiah, merekayasa manusia agar mampu bertahan di masa depan memang memiliki peluang walau tim riset Mason belum pasti akan mengambil peluang tersebut. “Tidak adil jika kita mengambil kemampuan manusia untuk hidup di Bumi, tetapi menggunakannya untuk hidup di luar Bumi,” katanya.
Merekayasa genetika manusia untuk mampu hidup di Mars seharusnya juga membuat manusia mampu bertahan hidup kembali saat mereka kembali ke Bumi. Dari beberapa studi, mengubah genetika manusia untuk bertahan di Mars, nyatanya bisa membahayakan mereka saat kembali ke Bumi.
Namun data yang dimiliki manusia untuk membandingkan genetika manusia di Bumi dengan manusia yang hidup cukup lama di luar angkasa masih sangat terbatas. Data yang ada saat ini hanya studi antariksawan kembar AS pada 2015, antara Scott Kelly yang menghabiskan hampir satu tahun di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) dengan saudara kembarnya Mark Kelly yang ada di Bumi.
Jika manusia mampu mengetahui apa yang membahayakan manusia hasil rekayasa genetika itu saat kembali ke Bumi, maka para ilmuwan bisa mengembangkan cara untuk mencegah efek merusak itu.
Proses riset manusia itu memang sulit, namun itu sebenarnya bisa diganti terlebih dahulu dengan menggunakan tikus.
“Manusia hasil rekayasa genetika itu akan etis jika proses itu mampu membuat manusia bertahan hidup di Mars, tanpa mengganggu kemampuan hidupnya di Bumi,” katanya.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 19 November 2019