Bertepatan pada awal pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi Aksi Iklim PBB di New York, Amerika Serikat, dewan Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim atau IPCC mengeluarkan laporan khusus terkait laut dan cryosphere di Monaco. Edisi ini melengkapi laporan khusus sebelumnya soal lahan, termasuk hutan dan pertanian.
Laporan soal laut dan cryosphere (The Ocean and Cryosphere in a Changing Climate) menyuguhkan fakta dan ancaman dampak perubahan iklim yang kian menakutkan bagi bumi. Meski tak secara langsung tertulis dalam laporan tersebut, ancaman nyata bakal dialami Indonesia sebagai negara kepulauan yang membentang di daerah tropis.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Ikan nemo atau ikan badut yang tinggal dan berelasi dengan anemon tampak di perairan Jikomalamo, Ternate, Maluku Utara, 24 September 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai contoh, penghangatan yang terjadi di tropis akan menyebabkan sejumlah spesies punah atau bermigrasi ke subtropis untuk mencari suhu yang lebih sesuai. Penghangatan bumi pun membuat laut kian mengalami kekurangan oksigen pada perairan Indonesia yang kaya akan ikan.
Pada peta yang ditampilkan dalam laporan tersebut, perairan sekitar Indonesia tampak merah yang menandakan perairan menjadi miskin oksigen. Hal itu dikhawatirkan menimbulkan perpindahan ikan sehingga stok ikan menurun.
Laporan IPCC itu dikerjakan dalam kelompok kerja IPCC (Working Group atau WG I) terkait physical science basis dan WG II terkait adaptasi. Sedangkan WG III terkait mitigasi tidak dikerjakan. Mitigasi dalam laporan itu, kata Intan Suci Nurhati, pakar paleoklimatologi dan paleooseanografi, hanya berupa potongan-potongan.
Berbeda dengan laporan khusus IPCC sebelumnya soal lahan (Special Report on Climate Change and Land) lengkap melibatkan ketiga kelompok kerja. Hal itu disebabkan pada laporan khusus terkait lahan itu ingin mengangkat lahan sebagai “korban” sekaligus berperan sebagai solusi dalam perubahan iklim.
“Sementara SROCC (Special Report on Ocean and Cryosphere in a Changing Climate/laporan khusus) hanya (melibatkan) WG I dan WG II, kurang lebih bahasanya status-status dan bagaimana menanggulangi. Mitigasi cuma cepret-cepret dan bukan fokus dari SROCC ini,” kata Intan, peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI), Kamis (3/10/2019), dalam Festival Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Jakarta.
Ekosistem terumbu karang
Dari enam bab SROCC, terdapat tiga tema terakhir yang amat dekat dengan Indonesia. Ketiganya yaitu Bab 4, Kenaikan Muka Air Laut dan Implikasi pada Pulau-pulau, Pesisir, dan Komunitas Masyarakat; Bab 5, Perubahan Laut, Ekosistem Laut, dan Komunitas; dan Bab 6, Kondisi Ekstrem, Perubahan Cepat, dan Pengelolaan Risiko. Meski demikian, seperti judul SROCC terkait cryosphere atau semua yang membeku alami di bumi seperti glacier, gletser, dan puncak es penting diketahui karena akan berpengaruh kepada kehidupan di Indonesia.
“Laporan ini mempertemukan beruang kutub dan ikan nemo,” kata Intan yang menjadi bagian dari IPCC dalam mengerjakan 6th Assessment Report (AR6). Dicontohkan, mencairnya es pada kutub akan langsung berdampak pada kenaikan muka air laut. Artinya, tidak hanya habitat “beruang kutub” yang akan terkena, tetapi “ikan nemo” sebagai penghuni ekosistem terumbu karang akan turut terdampak.
Ekosistem terumbu karang pada perairan hangat, termasuk di Indonesia yang menjadi pusat segitiga terumbu karang dunia, paling rentan terdampak kenaikan suhu. Mangrove menjadi terakhir kedua sebelum ekosistem laut dalam yang tahan terhadap perubahan itu. “Ini bisa jadi (pertimbangan) prioritas mana yang harus diselamatkan duluan,” kata Intan.
Dalam siaran pers IPCC, 25 September 2019, Vice-chair of the IPCC Ko Barret mengatakan selama beberapa dekade lautan dunia dan cryosphere menjadi “penyerap panas” dari perubahan iklim. Apabila fungsi ini tak dipenuhi, alam dan manusia akan sangat terdampak.
Pada laporan khusus yang ditulis 100 peneliti dari 36 negara, berbagai “cerita lama” dari AR1 sampai AR5 berupa penghangatan, keasaman, deoksigenasi, dan kenaikan muka air laut kembali diungkap ke permukaan. Namun pada bagian berikutnya yang baru, laporan ini mengumumkan kondisi ekstrem mulai terjadi.
Beberapa di antaranya yaitu gelombang panas di laut (marine heatwaves) yang relatif baru dan perkembangan literaturnya sangat cepat. “Sampai saat ini tidak ada lautan di dunia yang tidak kena fenomena marine heat waves,” kata Intan.
Hal ini sedang dikaji LIPI terkait dengan ekosistem paling rentan akan gelombang panas yaitu terumbu karang. Ia mengatakan Indonesia memerlukan kajian itu sebagai masukan ke dalam AR6 yang sedang disusunnya.
Salju abadi Jayawijaya
Edvin Aldrian, anggota IPCC dari BPPT, menyayangkan laporan ini tak mengeksplorasi soal salju abadi di Gunung Jayawijaya, Papua. Itu karena peneliti tidak bisa menjelaskan dampak pencairan puncak salju ini terhadap ekosistem alam pada dataran lebih rendah.
Padahal, menurut Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman dalam kegiatan Festival Iklim, 2 Oktober 2019, keajaiban puncak salju di daerah tropis ini telah jauh berkurang dari 200 kilometer persegi sekarang tersisa 2 kilometer persegi.
Pada SROCC Summary for Policymaker, hanya disebutkan massa puncak salju kecil yang terdapat di Eropa, Afrika bagian timur, Andes, dan Indonesia diproyeksi berkurang lebih dari 80 persen pada 2100 pada skenario pelepasan emisi tertinggi. Kehilangan cryosphere ini akan berdampak pada wisata dan aset budaya.
Meski Indonesia minim disebut, tetapi substansi laporan ini disebut Advin bisa membantu posisi Indonesia yang ingin mengegolkan “Blue COP” atau pertemuan para pihak dalam Konferensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) di Chile, Desember 2019.
Untuk memperkuat argumen ilmiahnya, riset-riset pengukuran dampak dari suatu perlakuan pada ekosistem pesisir perlu diperkuat. Semisal menanam atau melindungi mangrove pada suatu luasan akan dampaknya pada kualitas ekosistem, lingkungan, atau penyerapan/penyimpanan karbon.
Laporan khusus ini pun kembali mengingatkan akan pilihan-pilihan pada laporan IPCC Global Warming of 1,5°C di tahun 2018. Pilihan bagi para pengambil keputusan yang lebih murah dan berdampak paling minim bagi alam dan manusia yaitu menahan peningkatan suhu tak melebihi 1,5 derajat celsius. Itu bisa dilakukan bila penurunan emisi jauh lebih ambisius demi menyelamatkan Bumi dari kehancuran.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 8 Oktober 2019