Pelajaran sejarah tetap penting bagi siswa SMK, dari kelas X hingga kelas XII. Pola yang dinilai sesuai diterapkan di SMK adalah pengajaran sejarah secara tematik.
Pelajaran sejarah di SMK perlu dikaji ulang agar sesuai dengan target nasional, dan di saat yang bersamaan mampu memenuhi kebutuhan pemenuhan wawasan siswa vokasi. Sejarah merupakan pemahaman akan identitas bangsa dan perkembangannya sepanjang zaman yang menjadi landasan berpikir warga Indonesia.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia Sumardiansyah Perdana Kusuma mengusulkan perumusan ulang metode pemelajaran sejarah di SMK agar sesuai dengan standar kurikulum nasional sekaligus kebutuhan bidang vokasi siswa dalam seminar “Quo Vadis Pelajaran Sejarah Indonesia di SMK?” di Universitas Negeri Jakarta, Selasa (24/9/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Permasalahannya, pelajaran sejarah di SMK hanya bagi kelas X. Kelas XI dan XII tidak lagi belajar sejarah nasional maupun sejarah peminatan dengan alasan fokus di pelajaran adaptif dan produktif.
“Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), akademisi, dan birokrat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu duduk bersama merumuskan pelajaran sejarah yang cocok bagi sekolah vokasi,” kata Presiden AGSI Sumardiansyah Perdana Kusuma dalam seminar “Quo Vadis Mata Pelajaran Sejarah Indonesia di SMK” yang diadakan di Universitas Negeri Jakarta, Selasa (24/9/2019). Hadir juga sebagai pembicara dalam seminar tersebut sejarawan Peter Carey dan Anhar Gonggong.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Sejarawan Peter Carey (bermikrofon) menjelaskan sejarah sebagai satu-satunya ilmu yang melihat secara holistik perkembangan semua aspek kehidupan mulai dari skala lokal hingga global pada seminar “Quo Vadis Pelajaran Sejarah Indonesia di SMK?” di Universitas Negeri Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Tematik
Asosiasi Guru Sejarah Indonesia menawarkan diskusi lintas sektor seperti organisasi profesional guru, Kemdikbud, akademisi sejarah dan pendidikan, serta sejarah untuk menggodok pendekatan yang tepat bagi SMK. Salah satu hal yang diusulkan adalah pengajaran sejarah secara tematik.
Menurut Sumardiansyah, pola pemelajaran sejarah nasional bersifat kronologis, yaitu dimulai dengan zaman pra-aksara, kerajaan-kerajaan Nusantara, kolonialisme oleh bangsa-bangsa Eropa, kebangkitan nasional, kemerdekaan, orde baru, dan reformasi. Metode ini cukup berat bagi siswa SMK karena materinya padat.
Melalui metode tematik, siswa SMK masuk ke pelajaran sejarah memakai aspek yang sesuai bidang studi masing-masing. Misalnya, di SMK kelautan pelajaran sejarah tematik bahari Nusantara yang membahas perkembangan pemanfaatan laut dan makna laut bagi budaya Nusantara hingga Indonesia secara mendalam.
“Kelemahan metode tematik adalah pelajaran sejarahnya sepotong-sepotong. Tapi, masih bisa dirumuskan agar sesuai tujuan sejarah nasional kalau semua pihak mau berunding,” tuturnya.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Sejarawan Anhar Gonggong menerangkan bahwa pendidikan berorientasi materi tidak bisa memajukan sumber daya manusia dalam seminar “Quo Vadis Pelajaran Sejarah Indonesia di SMK?” di Universitas Negeri Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Identitas bangsa
Sumardiansyah menjelaskan, sejarah menjadi mata pelajaran yang penting sesuai dengan Nawacita pembangunan nasional. Sejarah bukan pelajaran untuk menghafal tanggal, peristiwa, dan nama orang. Sejarah adalah ilmu yang memahami perkembangan perubahan di dalam suatu bangsa.
Sifat pelajaran ini sejatinya sangat dinamis dan holistik meliputi pelbagai bidang. Kajian sejarah idealnya bekerja dengan landasan falsafah yang kuat dan pemahaman kontekstual yang mumpuni serta kritis. Di dalamnya membahas perkembangan berbagai variabel kehidupan seperti politik, sosial, ekonomi, seni, dan budaya.
“Di dalam konteks vokasi, kalau hanya belajar dengan pendekatan teknokrat tidak akan menciptakan manusia yang utuh. Kemampuan berteknologi tanpa karakter dan wawasan kebangsaan mulai dari konteks lokal, nasional, regional, dan global tidak menghasilkan kreativitas apalagi pembangunan manusia,” papar Sumardiansyah.
Pembangunan kemampuan guru juga faktor penting dalam pemelajaran sejarah. Guru yang memahami landasan falsafah, teori, dan kronologi sekaligus awas terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat. Tujuan pelajaran sejarah ialah menjernihkan persepsi bahwa tidak ada kejadian tiba-tiba. Semua memiliki latar belakang yang sudah puluhan tahun, bahkan berabad lamanya yang menjadi penyumbang kausalitas peristiwa.
“Tidak ada kejadian hanya karena alasan politik, ekonomi, atau agama. Penyebabnya adalah berbagai permasalahan yang berkelindan. Guru sejarah harus bisa menjelaskannya kepada siswa untuk membangun persepsi nasionalisme kritis,” kata dia.
Dalam kesempatan tersebut, Carey mengibaratkan buta sejarah sama dengan orang yang pikun. Walaupun dikelilingi teknologi canggih, ia tidak bisa memaksimalkan pemakaiannya karena tidak mengetahui tujuan kegunaannya. Bahkan, bisa ada risiko pemakaiannya menghasilkan hal destruktif karena tidak memiliki konsep kebangsaan atau pun kewargaan global.
Sementara itu, Anhar mengkritisi pendekatan pendidikan vokasi yang dinilainya mengincar materi semata. Pembangunan bukan demi sumber daya manusia yang bermutu, tetapi hanya sebatas menghasilkan uang.
“Uang adalah bagian dari pembangunan yang terdiri dari berbagai hal kompleks. Keterampilan, kecerdasan, dan karakter tidak bisa berdiri sendiri-sendiri,” ujarnya.–LARASWATI ARIADNE ANWAR
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 25 September 2019