Sebanyak 300 perpustakaan desa dengan sistem digitalisasi dibangun di 59 kabupaten yang tersebar di 21 provinsi. Perpustakaan desa ini sesuai program pengembangan sumber daya manusia oleh pemerintah, sekaligus membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Perpustakaan Nasional Woro Titi Hariyanti dalam Stakeholders Meeting Perpustakaan NTT berbasis Inklusi di Kupang, Jumat (20/9/2019) mengatakan, perpustakaan berbasis inklusi berarti pengembangan perpustakaan tidak mengenal usia dan kelompok masyarakat. Dalam rangka peningkatan SDM sesuai program pemerintahan Jokowi-Ma’aruf 5 tahun ke depan.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA–Salah satu ruang perpustakaan fisik di kantor Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi NTT tampak sepi. Minat masyarakat mengunjungi perpustakaan seperti sebelumnya berkurang. Masyarakat mulai mencari data atau informasi melalui telepon seluler atau android.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Masyarakat pedesaan terpencil, jauh dari pusat kota pun ikut belajar melalui perpustakaan dengan sistem digital. Sebanyak 300 desa di 59 kabupaten dan 21 provinsi dikembangkan perpustakaan desa sistem digital. Lima desa di Kabupaten Belu, yakni Naekasa, Lokimanas, Tohe, Kabana, dan Desa Loekeu. Lima desa di Kabupaten Kupang, yakni Raknamo, Oebelo, Tanah Merah, Noelbaki, dan Desa Uitiu Tuan,” kata Woro.
Desa-desa yang mendapatkan perpustakaan digital ini dipilih berdasarkan tingkat kesulitan berliterasi, terpencil, tertinggal, dan memiliki sumber daya alam yang luar biasa. Kehadiran perpustakaan sistem digital membantu masyarakat desa setempat keluar dari masalah kemiskinan yang menahun. Mereka bisa belajar berliterasi dan mengakses semua informasi melalui perpustakaan digital ini.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA–Mobil perpustakaan keliling seperti ini hanya tiga unit di perpustakaan NTT untuk melayani 22 kabupaten/kota di kepulauan. Dengan kondisi ini praktis perpustakaan keliling atau perpustakaan mobile sangat sulit menjangkau masyarakat.
Bantuan yang diberikan setiap desa berupa buku-buku, 3 komputer, dan 1 server serta literatur digital. Masyarakat akses internet secara offline. Jaringan internet dibantu oleh Telkom dan Perpustakaan Daerah. Selain itu, diberikan tenaga pendampingan langsung dari Perpustakaan Nasional.
Mereka mengikuti pelatihan, dan pendampingan langsung sampai warga di desa itu benar-benar menguasai. Selain itu dilatih pula tenaga teknisi dari Perpustakaan daerah setempat untuk membantu memperbaiki sarana dan prasarana yang ada manakala mengalami kerusakan.
Sasaran perpustakaan desa digital ini antara lain, melatih ibu-ibu rumah tangga untuk belajar meningkatkan ekonomi keluarga. Mereka belajar menjahit, merangkai bunga dengan bahan baku sampah plastik atau sedotan air, mencari motif terbaik menenun, membuat kue tart, cara mengelola uang secara efektif dan efisien, mengolah pangan lokal secara sehat, dan mengenal menu-menu makan yang sehat untuk anak-anak.
Masyarakat desa bisa akses apa saja di dalam perpustakaan ini, belajar bersama, berdiskusi dan saling menukar pengalaman. Mereka akan terbagi dalam kelompok. Satu kelompok terdapat 1-2 orang yang lebih paham tentang sistem komputer dan jaringan internet sehingga mereka saling membantu.
Menepis kekhawatiran
“Kami khawatir, ketika pemerintah gencar meningkatkan sumber daya manusia dan sistem digitalisasi yang semakin menguasai dunia, masih ada warga di wilayah pinggiran yang tertinggal. Karena itu perpustakaan desa digital ini,” katanya.
Kabid Pelayanan Perpustakaan Daerah NTT Doly Chandra mengatakan, perpustakaan desa di NTT masuk akhir 2018. Dengan adanya perpustakaan desa, sejumlah ibu rumah tangga yang tadinya sulit mendapatkan pekerjaan di rumah, kini bisa membuat bunga, menyulam, membuat catering makanan, menjahit, dan merangkai bunga.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA–Susi Koopman selaku direktris Bank Sampah Flores berdomisili di Maumere sedang memperkenalkan sejumlah kerajinan tangan dari sampah yang dikumpulkan di Maumere. Ia melatih dan mempekerjakan anak-anak disabilitas untuk memproduksi kerajinan tangan berbahan baku sampah tersebut.
Beberapa ibu rumah tangga di 10 desa, telah memanfaatkan perpustakaan desa dengan bimbingan dan bantuan dari petugas Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Daerah. “Mereka mengakses bagaimana cara memanfaatkan sampah-sampah plastik, potongan-potongan kain tenun menjadi bahan cinderamata berupa tas, dompet, dan ikat pinggang,” kata Doly.
Menurut Doly, supaya semua warga desa terlibat dalam perpustakaan itu, maka para mahasiswa perguruan tinggi yang melakukan kuliah kerja nyata (lapangan) diberi kesempatan melatih warga di desa itu. Itu berarti mahasiswa dituntut untuk terus berkreasi dan inovasi.
Selama ini KKN mahasiswa di NTT sebatas membuat gapura, bak sampah, papan nama desa, nama lorong-lorong desa, dan membangun mandi, cuci, kakus (MCK). Mereka belum terlibat dalam kegiatan literasi desa, apalagi perpustakaan digital desa.
Roberta Banu dari Desa Naekasa, salah satu desa dengan perpustakaan digital mengatakan, dengan bantuan perpustakaan digital desa, ia berhasil membuat kue beberapa jenis, yang paling disukai anak-anak sekolah. Kue-kue ini dijual di dekat sekolah dasar dan sekolah menengah.
Ia mengaku, sebelumnya tidak mendapatkan uang sama sekali, dengan usaha kue ini setiap hari ia bisa memegang uang Rp 500.000 – Rp 700.000. Kini, ia ingin merambah ke usaha mie rebus dan mie goreng.
Aprila Penu warga Noelbaki, salah satu dari 10 desa penerima bantuan Perpustakaan Digital desa. Ia mengatakan, usaha katering yang dipelajari melalui perpustakaan digital sangat membantu. Melalui perpustakaan itu pun mengakses berbagai informasi soal usaha ekonomi produktif.
“Kebetulan hobi saya membaca sejak kecil. Dengan kehadiran Perpustakaan Desa digital ini, tidak hanya saya yang membaca di perpustakaan, tetapi juga melibatkan tiga anak saya. Sekarang setiap pulang sekolah mereka harus belajar di Perpustakaan Desa digital ini,” kata Aprilia.–KORNELIS KEWA AMA
Editor AGNES SWETTA PANDIA
Sumbe: Kompas, 20 September 2019