Pengembangan inovasi dan teknologi dalam eksplorasi minyak dan gas bumi atau migas di Indonesia hingga kini masih terbatas. Gagasan dari para ahli semakin dibutuhkan untuk mengeksplorasi potensi migas di bawah permukaan bumi yang diprediksi jumlahnya masih sangat besar.
Rabu (31/7/2019) siang, Abdul Haris resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Geofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat. Dalam upacara pengukuhan tersebut, ia menyampaikan pidato berjudul “Tantangan Ahli Eksplorasi Seismik dalam Pencarian Sumber Migas: Paradigma Baru dalam Eksplorasi Migas”.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Geofisika Fakultas Ilmu Matematika dan Pengetahuan Alam (MIPA) UI digelar di Kampus Depok, Rabu (31/7/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Haris mengatakan, investasi dalam migas memang membutuhkan teknologi tingkat tinggi lantaran amat berisiko dan mahal. Adapun, investasi untuk eksplorasi migas juga masih cukup terbatas. Demikian pula pengembangan inovasi dan teknologinya.
“Para ahli eksplorasi seismik, geofisika, dan geologi saat ini diharapkan memberikan kontribusi dalam memberikan inovasi-inovasi baru,” katanya.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Guru Besar dalam Bidang Ilmu Geofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Indonesia Abdul Haris.
Haris meyakini bahwa potensi migas di Indonesia masih sangat besar. Hanya saja, tingkat kesulitan dalam mencari migas saat ini semakin berat. Ia berharap, ke depan eksplorasi migas juga dapat memanfaatkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dengan mahadata (big data).
“Data-data yang sudah tersimpan lama bisa kita bongkar lagi untuk dilakukan analisis. Dengan AI kita bisa melihat pola karakter data,” ujarnya.
Dengan demikian, bukan tidak mungkin eksplorasi migas ke depan akan dilakukan di lokasi-lokasi lama yang telah ditinggalkan tanpa harus mencari lokasi-lokasi baru. Sebab, sejauh ini recovery factor atau migas yang dieksploitasi baru sebesar 30 persen dari cadangan yang ada.
KOMPAS/SHARON PATRICIA–Hasil pemetaan SKK Migas tahun 2019
Saat ini, masih terdapat 60 cekungan migas di Indonesia dan baru 16 yang berproduksi. Sebanyak 22 cekungan lainnya belum dibor, sedangkan 13 cekungan sudah dibor tapi belum ada temuan hasil. Selain itu, ada 8 cekungan dengan penemuan namun belum berproduksi.
Menurut Haris, selama ini pemanfaatan frekuensi seismik masih menjadi teknologi utama untuk memetakan potensi migas dari atas permukaan bumi. Selain jangkauannya yang sangat luas, penetrasinya juga paling dalam dibandingkan teknologi geofisika lainnya.
“Dengan pemodelan simulasi, misalnya, bisa digambarkan kondisi resources bawah permukaan lengkap dengan aliran fluidanya. Dengan begitu risiko kegagalan bisa dikurangi,” katanya.
Ada beberapa metode nonseismik yang juga bisa digunakan untuk mengidentifikasi kandungan migas, misalnya dengan metode magnetik atau metode gravitasi. Namun, jangkauan dan penetrasi dari metode-metode tersebut sangat terbatas sehingga jarang menjadi pilihan.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Muhammad Dimyati.
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Muhammad Dimyati menilai, dalam konteks pemanfaatan energi, Indonesia saat ini sudah dalam status warning. Oleh karena itu, dibutuhkan inovasi-inovasi untuk menemukan cadangan energi yang kita miliki.
“Ide para ahli perlu dipacu untuk meramu sebuah inovasi sehingga ada cara-cara baru untuk menemukan cadangan Migas yang sebetulnya masih banyak tapi belum terdeteksi,” katanya.–FAJAR RAMADHAN
Editor HAMZIRWAN HAM
Sumber: Kompas, 31 Juli 2019