Keberagaman Hayati Menjadi Fondasi Kedaulatan Pangan

- Editor

Selasa, 30 Juli 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Keberagaman hayati menjadi dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan. Dengan mengembalikan konsep pangan pada keberagaman ekosistem dan budaya lokal, Indonesia bisa memenuhi kebutuhan pangan di masa depan yang menghadapi tantangan meningkatnya jumlah penduduk, pemenuhan gizi, dan perubahan iklim.

Hal itu terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) di Jakarta, Senin (29/7). Diskusi ini juga berbarengan dengan peluncuran buku 25 tahun KEHATI.

Direktur Eksekutif KEHATI Riki Frendos mengatakan, keberagaman merupakan keniscayaan yang terbentuk dari proses panjang seleksi alam. Keberagaman juga membentuk keseimbangan jejaring ekosistem yang selama ini mendukung kehidupan di muka Bumi, termasuk juga manusia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KOMPAS/AHMAD ARIF–Keragaman hayati dan budaya dinilai sebagai fondasi bagi kedaulatan pangan Nusantara. Demikian terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI di Perpunas, Jakarta, Senin (29/7). Kompas/Ahmad Arif

Namun saat ini tren pembangunan dan kebijakan pangan secara global menekan keberagaman hayati. Hal ini memicu pada kehancuran ekosistem, bahkan mengarah pada kepunahan spesies yang keenam di muka Bumi akibat ulah manusia.

“Kita hanya punya dua pilihan. Apakah menjadi penyebab kepunahan massal atau bagian dari generasi untuk menyelamatkan kepunahan massal. KEHATI mendorong agar kita kembali pada keragaman hayati untuk menyelamatkan kita dari kepunahan,” katanya.

Pendiri KEHATI Emil Salim memaparkan, penyeragaman pangan di Indonesia dimulai setelah terjadi krisis ekomi dan politik pada tahun 1965. Harga beras yang mahal saat itu memicu inflasi. Maka, sejak Orde Baru, pemerintah melakukan berbagai cara untuk menekan inflasi dengan mengendalikan beras sebagai pangan utama.

Selain meningkatkan produksi padi melalui program Bimbingan Massal (Bimas) yang menjadi dasar bagi Revolusi Hijau, beras menjadi komponen gaji pegawai negeri di berbagai daerah dan perlahan meminggirkan berbagai tanaman dan budaya pangan lokal. “Rupanya keseragaman pangan tidak benar untuk Indonesia. Tahun 1978, ketika sebagai ekonom masuk ke bidang lingkungan, saya mulai belajar bahwa keberagaman adalah kunci kehidupan, bukan keseragaman,” kata Emil.

Keragaman sumber pangan
Sementara Direktur Program KEHATI Rony Megawanto memaparkan sejumlah contoh masyarakat di daerah yang berhasil memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dengan pendekatan keberagaman tanaman ini. “Keragaman sumber pangan Nusantara merupakan jawaban terhadap permasalahan kelaparan, gizi buruk, termasuk perubahan iklim,” ujarnya.

Dia mencontohkan masyarakat adat Boti, di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur, yang tidak memiliki anak-anak yang mengalami tengkes atau stunting (tubuh pendek karena kurang gizi kronis) dan gizi buruk. Padahal, TTS merupakan salah satu daerah dengan angka tengkes tertinggi di Indonesia.

Sebaliknya, penyeragaman pangan, baik dari sisi produksi maupun konsumsi, telah menempatkan sebagian masyarakat justru rentan pangan. Misalnya, kasus gizi buruk dan bencana kesehatan di Asmat, Papua awal tahun 2018 yang menewaskan 72 anak menjadi puncak gunung es kerentanan pangan Indonesia.

Dalam diskusi ini, Direktur Eksekutif Yaspensel Romo Benyamin Daud memaparkan kesuksesan masyarakat di Flores Timur, NTT, yang kembali menanam dan mengonsumsi sorgum. Sebelumnya, masyarakat kerap mengalami gagal panen padi atau jagung karena kondisi tanah dan iklim yang kering. Ternyata sorgum memberi hasil yang baik karena tanaman ini cocok ditanam di darah kering seperti Flores Timur.

“Sekarang sorgum dan kelor menjadi program daerah untuk mengatasi gizi buruk dan stunting di Flores Timur. Secara ekonomi, masyarakat juga mendapat penghasilan lebih karena sorgum juga menjadi komoditas ekonomi dengan harga jual yang baik,” kata dia.

Menurut Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas Anang Noegroho Setyo Moeljono, dalam Rancangan Teknokratik Pembangunan tahun 2020-2024, peningkatan ketersediaan, akses, dan kualitas konsumsi pangan akan menjadi salah satu program prioritas. “Kita masih pakai ketahanan pangan,” kata dia.

Namun, dalam rancangan ini, keberagaman pangan belum menjadi salah satu prioritas. “Kita masih membuka kesempatan untuk masukan dari masyarakat,” ujarnya.

Di akhir diskusi, pendiri KEHATI Ismid Hadad menyerahkan dokumen kebijakan (policy brief) tentang pangan kepada sejumlah perwakilan pemerintah. Beberapa poin dokumen kebijakan yang diusulkan itu di antaranya, pemerintah dan stakeholder terkait perlu mengembalikan konsep pangan Nusantara yang didasarkan pada keberagaman sumber daya hayati dan budaya lokal.

Pemerintah juga dituntut mengubah visi pangan nasional yang mengakomodir keragaman dan kebutuhan pangan lokal, yang secara alami telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat dan secara budaya menjadi sumber pangan masyarakatnya.

Gagasan tentang mengembalikan keberagaman pangan Nusantara perlu masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), program prioritas nasional, dan sistem penganggaran nasional. Pemerintah dan stakeholder juga dituntut menyusun target nasional penurunan konsumsi beras sebagai sumber karbohidrat dan menggantinya dengan ragam pangan nusantara lainnya.

Selain itu kebijakan tentang pangan perlu diintegrasikan dengan kesehatan, keberagaman hayati, perubahan iklim, dan sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya goal ke-2. Perlu ditekankan bahwa produksi pangan ke depan harus mengembangkan model berkelanjutan melalui pendekatan agroekologi berbasiskan empat pilar: layak secara ekonomi, teknologi adaptif, tak merusak lingkungan, serta secara sosial-budaya diterima warga.

Oleh AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 30 Juli 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB