Keterbukaan pemikiran siswa terhadap penerimaan perbedaan di masyarakat berpengaruh kepada performa akademik. Memiliki pemikiran yang toleran berarti bersedia untuk belajar dari berbagai sumber dan narasumber tanpa mempermasalahkan latar belakang agama, suku bangsa, sosial, ekonomi, dan politik.
Hal tersebut tampak pada hasil angket yang dibagikan kepada siswa SMP ketika mengerjakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) pada bulan April lalu. Angket tersebut berusaha menggali relasi antara latar belakang sosio-ekonomi siswa dengan pola belajar, memetakan penilaian siswa atas potensi diri sendiri, dan keterbukaan siswa kepada perbedaan di masyarakat.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno (ketiga dari kanan) menyampaikan hasil Ujian Nasional SMP 2019 di Jakarta, Selasa (28/5/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pengumuman hasil Ujian Nasional (UN) SMP 2019 di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), terungkap bahwa siswa yang inklusif memiliki rata-rata nilai UN lebih tinggi daripada siswa berpikiran eksklusif.
“Siswa yang inklusif rata-rata nilai UN mereka adalah 55,21 dengan skala 0 hingga 100. Adapun siswa dengen kecenderungan intoleran nilai rata-rata UN mereka hanya 48,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud Totok Suprayitno, di Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Pertanyaan yang diajukan adalah kesediaan siswa untuk duduk sebangku, meminjamkan buku dan alat tulis, bekerja kelompok, serta belajar bersama dengan teman yang berbeda agama atau pun latar belakang sosio-ekonomi. Untuk pertanyaan ini, rata-rata 90 persen siswa menjawab bersedia.
Ketika ditanya lebih mendalam kebersediaan mereka memilih siswa yang berbeda agama dan etnis menjadi ketua kelas, 71 persen menjawab bersedia. Untuk pertanyaan mau membantu teman berbeda agama menyiapkan acara keagamaannya di sekolah, hanya 67 persen siswa yang menjawab mau melakukannya.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Supriano menuturkan, akan memasukkan pemastian guru menciptakan kelas yang inklusif ke dalam pelatihan guru berbasis Musyawarah Guru Mata Pelajaran dan Kelompok Kerja Guru. Kepala sekolah dan pengawas sekolah juga tengah menjalani pelatihan agar mereka memaknai pendidikan yang berbasis pemikiran kritis dan inklusivitas sehingga memiliki kepekaan terhadap praktik intoleransi ketika mengevaluasi proses pendidikan di sekolah.
Berkorelasi
Sementara itu, psikolog pendidikan dari Universitas Gadjah Mada Novi Chandra menjelaskan, ada korelasi antara kemampuan akademik dengan kemampuan sosial. “Berpikiran terbuka, inklusif, dan saling menghargai orang-orang di luar kelompok yang sama dengan diri kita adalah kemampuan sosial,” tuturnya ketika dihubungi di Yogyakarta.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Para siswa lintas agama dan sekolah mengikuti Wisata Bhinneka di Gereja Kristen Jawa Tanjung Priok, Cilincing, Jakarta, Rabu (16/1/2019). Selain ke gereja mereka juga mengunjungi masjid, vihara, dan pura di kawasan Jakarta Utara. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran toleransi lintas agama dan mempekuat rasa kebhinekaan Indonesia di kalangan generasi muda.
Di negara-negara maju seperti di Australia kurikulumnya memasukkan unsur multikulturalisme. Mereka berusaha menjabarkan bahwa adanya kelompok migran tidak boleh melahirkan sentimen intoleransi berbasis ras dan agama.
“Anak-anak yang inklusif berarti mau berteman dan belajar dari siapa pun dan dari mana pun. Mereka belajar dengan melihat kompetensi yang relevan dari narasumber ataupun sumber lain seperti buku dan makalah tanpa mempermasalahkan latar belakang etnis dan agama narasumber ataupun penulis buku tersebut,” katanya.
Walhasil, selain memiliki rujukan yang banyak, mereka memiliki wawasan luas. Korespondensi dengan berbagai narasumber yang berlatar belakang berbeda memunculkan kemampuan berdiskusi dan berdiskursus. Aspek-aspek ini yang membantu anak mengembangkan pemikiran yang kritis, kreatif, inovatif, dan berkeadilan karena ia tidak mementingkan golongan yang sama dengannya saja.
Novi mengingatkan, karakter inklusif harus terus dipupuk dan dikembangkan di dalam keseharian. Artinya, anak memang menerepkannya atas kesadaran pribadi, bukan karena disuruh guru dan orangtua. Angket yang dibuat oleh Kemendikbud baru memotret aspek kerja sama dalam kegiatan formal, yaitu dalam suasana belajar di kelas.
“Akan lebih tajam jika dibuat angket untuk memetakan apabila siswa dibebaskan memilih sendiri anggota kelompok belajarnya, akankah mereka bersifat inklusif atau masih primordial? Pertanyaan ini yang bisa melihat apabila toleransi dan keluasan berpikir memang terpatri dalam diri siswa,” ujarnya.
Oleh LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 29 Mei 2019