Kelumpuhan tidur, sleep paralysis, atau yang dikenal masyarakat sebagai ketindihan sebenarnya adalah fonemena umum. Berdasarkan data 2011, sebanyak 7,6 persen penduduk dunia pernah mengalami ketindihan setidaknya sekali seumur hidupnya. Mereka yang menderita stres setelah trauma, gangguan panik, hingga kualitas tidur buruk berpeluang lebih besar mengalami ketindihan.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Warga Dusun Telaga Wareng, Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, tidur di tempat pengungsian yang berada di tengah sawah, Senin (6/8/2018). Stres setelah trauma, gangguan panik, hingga buruknya kesehatan tidur meningkatkan risiko terjadinya kelumpuhan tidur atau ketindihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kelumpuhan tidur membuat seseorang terbangun dari tidur malamnya, menempatkan mereka dalam kondisi antara sadar dan mimpi. Pada saat itu, mereka umumnya tidak bisa menggerakkan tubuhnya dan tidak bisa bersuara. Sebagian orang juga merasakan sensasi dada yang tertekan atau ”tangan tak terlihat” yang mencekik leher mereka.
Selama mengalami kelumpuhan yang bisa berlangsung beberapa detik hingga beberapa menit itu, banyak orang melaporkan halusinasi aneh. Sebagian besar melaporkan melihat bayangan atau sosok asing di tempat tidur atau kamar mereka. Sementara sebagian yang lain mengatakan melihat makhluk gaib atau merasakan sensasi keluarnya roh dari tubuh hingga bisa melihat tubuhnya sendiri dari luar.
Berbagai pengalaman tentang ketindihan atau kelumpuhan itu ternyata umum dilaporkan di berbagai budaya dan negara, mulai dari Brasil, Spanyol, Kanada, Meksiko, Vietnam, Laos, Jepang, hingga Indonesia. Meskipun dari budaya berbeda, perspektif mereka tentang kelumpuhan tidur hampir sama, yaitu dikaitkan dengan gangguan makhluk halus, setan, dan sejenisnya. Makhluk gaib yang menyeramkan itu menindih atau menduduki tubuh mereka.
Cerita itu diturunkan terus-menerus hingga berkembang menjadi cerita rakyat dan menjadi mitos. Karena itu, ketindihan bukanlah fenomena baru karena sudah dilaporkan sejak zaman dulu. Namun, deskripsi klinis pertama ketindihan muncul pada 1664 saat seorang dokter Belanda menggambarkan pengalaman pasiennya yang mengalami kelumpuhan tidur sebagai ”incubus” atau ”night-mare” alias mimpi buruk.
Berdasarkan studi Brian A Sharpless dan Jacques P Barber dalam Sleep Medicine Reviews, Oktober 2011, sebanyak 7,6 persen penduduk Bumi pernah mengalami ketindihan minimal sekali seumur hidupnya. Responden yang lebih banyak melaporkan kelumpuhan tidur adalah siswa sekolah dan pasien psikiatri, terutama mereka yang mengalami stres setelah trauma dan mengidap gangguan panik.
Kelumpuhan tidur juga menjadi gejala umum pada narkolepsi, gangguan tidur yang ditandai dengan rasa kantuk berlebih dan tiba-tiba serta terkadang disertai hilangnya kontrol atas otot. Ketindihan yang tidak disertai gejala narkolepsi disebut sebagai kelumpuhan tidur terisolasi (isolated sleep paralysis) atau kelumpuhan tidur terisolari berulang (recurrent isolated sleep paralysis) jika terjadi berulang.
CC–Lukisan Johann Heinrich Füssli (1741-1825) bertahun 1781 yang berjudul ”The Nightmare”. Lukisan ini adalah gambaran klasik tentang fenomena kelumpuhan tidur yang sering dianggap akibat diduduki makhluk halus.
Gangguan neurologis
Kini, ilmuwan telah memiliki pemahaman yang lebih baik tentang kelumpuhan tidur. Ketindihan bukan lagi fenomena gaib, melainkan hanyalah gangguan neurologis yang dialami seseorang saat tidur. Kelumpuhan tidur itu terjadi saat seseorang berada dalam fase tidur REM (rapid eye movements), sebuah siklus tidur setelah fase tidur nyenyak yang memungkinkan seseorang bermimpi.
Sharpless yang merupakan psikolog klinis di Departemen Psikologi, Universitas Negeri Pennsylvania, Amerika Serikat, kepada Livescience, Jumat (10/5/2019), menyebut, selama mengalami kelumpuhan tidur, seseorang kemungkinan besar sedang bermimpi selama fase tidur REM mereka. Namun, tubuh mereka menjadi lumpuh karena mereka tidak ingin bertindak seperti yang terjadi dalam mimpi.
Selain itu, selama proses ketindihan yang membuat seseorang seperti terbujur kaku, mereka umumnya juga mengalami halusinasi. Sebagian besar orang mengaku merasakan dan melihat hadirnya sosok jahat dan seram di sekitar mereka.
Studi Sharpless dan Monika Klikova di Sleep Medicine, 23 Maret 2019, menyebut dari 185 responden penderita kelumpuhan tidur, 58 persen responden merasakan hadirnya sosok tertentu di dalam ruang tidur mereka yang umumnya bukan manusia. Sementara 22 persen responden melaporkan benar-benar melihat seseorang di kamar mereka, yang biasanya adalah orang asing yang tak mereka kenali.
Tak hanya halusinasi yang merupakan manifestasi dari fase tidur REM, Asosiasi Tidur Amerika (American Sleep Association) menyebut lumpuhnya badan saat tidur juga merupakan manifestasi tidur REM. Orang yang mengalami kelumpuhan tidur sering melaporkan tekanan pada dada mereka saat tubuhnya menjadi kaku atau tubuh mereka bergerak sendiri tanpa mereka mengarahkannya.
Mereka yang mengalami halusinasi berupa jiwanya keluar dari tubuh, sebagian justru merasakan sensasi yang menyenangkan karena seolah-olah tubuh menjadi tanpa bobot. Namun, umumnya sensasi itu sering kali justru sangat menakutkan atau mengganggu bagi yang mengalaminya.
”Amigdala sangat aktif saat fase tidur REM. Bagian otak inilah yang berpengaruh terhadap emosi seseorang, termasuk rasa takut ataupun memori emosional,” kata Daniel Denis, psikiater di Pusat Kedokteran Beth Israel Deaconess di Boston, AS.
Bagian otak ini secara aktif merespon rasa takut atau sesuatu yang emosional meskipun tidak ada sesuatu di lingkungan sekitar yang bisa memicu takut atau perasaan emosional itu. Kondisi itu membuat otak memberikan solusi atas paradoks yang muncul tersebut.
Situasi itulah yang diduga menjadi pemicu munculnya halusinasi yang menakutkan selama kelumpuhan tidur. Walau demikian, penyebab pasti munculnya halusinasi itu belum diketahui pasti.
Risiko
Mereka yang mengalami stres setelah trauma atau mengalami gangguan panik memang berisiko lebih besar mengalami ketindihan. Namun, studi Dan Denis dkk yang dipublikasikan di Sleep Medicine Reviews, April 2018, menunjukkan, risiko pemicu kelumpuhan tidur sangatlah kompleks.
Penggunaan zat-zat tertentu, faktor genetik, riwayat trauma, buruknya kondisi kesehatan fisik, dan jeleknya kualitas tidur juga bisa meningkatkan risiko seseorang mengalami kelumpuhan tidur. Bahkan, gangguan kejiwaan terutama kecemasan, persoalan kepribadian, tingkat kecerdasan, hingga adanya kepercayaan anomali tertentu bisa memicu munculnya ketindihan.
”Kondisi itulah yang mungkin menjelaskan mengapa kelumpuhan tidur datang seperti sebuah gelombang serangan. Munculnya serangan itu kemungkinan bertepatan dengan datangnya periode stres,” tambah Denis.
Hingga kini, belum ada terapi khusus untuk mengobati kelumpuhan tidur. Dokter umumnya hanya menyarankan pasien untuk memperbaiki jadwal tidur dan mempertahankannya menjadi rutinitas tidur yang baik.
Dalam kasus ketindihan yang lebih ekstrem, Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris menyarankan memberikan pasien obat antidepresan dalam dosis rendah. Sharpless yang juga penulis buku Sleep Paralysis: Historical Psychological and Medical Perspectives, 2015, mengatakan, obat-obatan itu dapat membantu mengurangi gejala kelumpuhan tidur dengan menekan aspek-aspek tertentu dari tidur REM.
Sementara itu, Direktur Kedokteran Perilaku Tidur di Pusat Gangguan Tidur-Bangun Tidur, Sistem Kesehatan Montefiore, Bronx, New York, AS, Shelby Harris mengatakan, salah satu yang bisa dilakukan untuk mencegah gangguan kelumpuhan tidur adalah memastikan kesehatan tidur yang baik.
Kesehatan tidur yang baik itu penting. ”Salah satu penyebab kelumpuhan tidur adalah kurang tidur,” katanya. Karena itu, waktu tidur yang cukup dan rutin setiap malam menjadi kunci.
Selain kesehatan tidur, kelumpuhan tidur juga bisa dicegah dengan menghindari konsumsi alkohol, nikotin, dan obat-obatan minimal tiga jam sebelum tidur. Sementara konsumsi kafein juga harus dibatasi dengan waktu konsumsi terakhir setidaknya pukul dua siang. Menjauhkan piranti elektronik dan gawai dari tempat tidur juga bisa membantu.
”Jika upaya menjaga kesehatan tidur itu tidak membantu dan penderita ketindihan cukup sering mengalami gangguan itu, mereka perlu berkonsultasi dengan dokter ahli tidur untuk memastikan apakah ada persoalan medis yang memicu kelumpuhan tidur tersebut,” tambahnya.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 14 Mei 2019