Adrianus Sunarko Dikukuhkan sebagai Guru Besar Teologi

- Editor

Senin, 13 Mei 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Adrianus Sunarko dikukuhkan sebagai Guru Besar ke-11 Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Sabtu (11/5/2019), di Jakarta. Guru Besar bidang Teologi ini diharapkan dapat memelihara kedinamisan diskursus teologi yang bermuara pada perbaikan bangsa.

Sunarko dikukuhkan dalam Sidang Terbuka Senat STF Driyarkara. Sidang itu dihadiri oleh dewan senat dan guru besar dari berbagai perguruan tinggi. Prosesi pengukuhan berlangsung di Ruang Auditorium STF Driyarkara, Jakarta Pusat.

KOMPAS/INSAN ALFAJRI–Adrianus Sunarko dikukuhkan sebagai Guru Besar ke-11 Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Sabtu (11/5/2019), di Jakarta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ketua Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Simon Petrus Lili Tjahjadi menyatakan, ilmu tentang ketuhanan di STF dibingkai dalam horizon keanekaragaman kepercayaan lain serta dialog terbuka dengan ilmu lain yang relevan. Oleh sebab itu, panitia juga mengundang sejumlah guru besar di luar disiplin ilmu filsafat dan teologi. Disiplin ilmu lain itu bakal menjadi teman dialog filsafat pada umumnya dan teologi pada khususnya.

“STF dinilai berperan mempromosikan dialog dan saling menghargai antarbangsa dan budaya. Saya ucapkan selamat kepada kolega kami, semoga maju dan berkembanglah saudara,” katanya.

Dalam pidato ilmiahnya, Sunarko yang juga Uskup Pangkal Pinang ini membahas tentang hadirnya agama di ruang publik. Pidato itu dia beri judul Agama di Zaman Post-Sekular: Tersingkir Atau Mendominasi Politik?

Pidato berdurasi sekitar satu jam itu bertujuan mencari jalan keluar dari dua posisi ekstrem dalam teologi. Pertama, kaum fundamentalis yang hanya menerima tafsiran harfiah tentang kitab suci.

Kedua, kelompok yang hendak menyesuaikan, bahkan mengubah sumber wahyu dan iman agar sesuai dengan tuntutan dunia modern. Kedua posisi ekstrem itu dikritisi oleh Sunarko

“Mudah-mudahan bagi Teologi masih ada jalan tengah di antara kedua pilihan ekstrem tersebut,” katanya.

–Prosesi pengukuhan Adrianus Sunarko sebagai Guru Besar ke-11 Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Sabtu (11/5/2019), di Jakarta.

Pada bidang akademik, Sunarko telah menghasilkan sejumlah karya ilmiah. Dia menulis 63 artikel ilmiah yang terbit di jurnal dalam maupun luar negeri. Selain itu, lulusan Albert-Ludwig University of Freiburg, Jerman, ini juga berpartisipasi dalam penulisan 10 buku. Dalam buku-buku itu, ia berperan sebagai pengarang, editor, dan penerjemah.

Ketua Yayasan Pendidikan Driyarkara Andang Binawan berterima kasih atas pengabdian Sunarko di STF. Dengan segala macam pertanyaan dan “kenakalan”nya, Sunarko membuat diskusi akademik di STF berjalan dinamis. Andang berharap ini bisa menjadi teladan bagi civitas academica selingkung STF. “Jangan segan-segan menjadi mahasiswa yang ‘nakal’,” katanya.

Oleh INSAN ALFAJRI

Sumber: Kompas, 11 Mei 2019
———————-
Melerai Dua Kutub Ekstrem Teologi

KOMPAS/INSAN ALFAJRI–Adrianus Sunarko dikukuhkan sebagai guru besar ke-11 Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Sabtu (11/5/2019) di Jakarta.

”Indonesia Raya” tiga stanza membuka sidang terbuka senat pengukuhan Adrianus Sunarko sebagai Guru Besar Teologi Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Sabtu (11/5/2019), di Jakarta. Dalam pidato ilmiahnya, Uskup Pangkal Pinang itu berikhtiar menghadirkan alternatif lain bagi dua kutub ekstrem dalam teologi.

Pidato berdurasi satu jam itu berjudul ”Agama di Zaman Post-Sekular: Tersingkir Atau Mendominasi Politik?” ”Sebuah tema yang semoga tidak terlalu eksklusif teologis sehingga dapat kita ikuti bersama,” katanya, mulai mendaras risalah setebal 35 halaman itu.

Post-Sekular berpijak pada pemikiran filsuf Jerman, Jurgen Habermas, yang merevisi pandangannya ihwal agama di zaman modern. Gejala modernisasi dimulai pada Zaman Pencerahan (abad ke-17 dan ke-18). Sejumlah pemikir kondang waktu itu memprediksi agama bakal kehilangan eksistensi. Dunia sepenuhnya bakal sekuler.

Kenyataannya tidak demikian. Agama tetap mengisi ruang publik, bahkan tetap eksis hingga abad ke-21. Sejarah mencatat gerakan keagamaan berupa protes, upaya turut menyetir kebijakan publik, desakan ajakan agama diakui pemerintah, anti-pornografi, hingga rentetan aksi teror dan kekerasan dengan motif pendirian negara agama.

Dalam bahasa Habermas, agama kembali dipanggil oleh sejumlah pemikir untuk menyelamatkan proyek bernama modernisasi.

Post-Sekular, kata Sunarko, tidak ingin kembali kepada absolutisme agama seperti zaman pra-modern. Masyarakat Post-Sekular merujuk pada hadirnya kaum beragama di ruang publik, tetapi tidak untuk mendominasi dan memaksakan kehendak. Kaum agama dan kaum sekuler bersedia berkomunikasi, berdialog, dan saling belajar satu sama lain.

”Fanatisme agama perlu dihindari dengan terbuka pada kritik akal budi,” kata Sunarko.

KOMPAS/INSAN ALFAJRI–Adrianus Sunarko dikukuhkan sebagai guru besar ke-11 STF Driyarkara, Sabtu (11/5/2019), di Jakarta.

Namun, di sisi lain, kaum sekuler juga harus menyadari bahwa terlalu memuja rasio dapat terjebak patologi-patologi modernitas. Patologi itu mewujud dalam sistem totalitarianisme, perang dunia, dan pembantaian massal.

Di Indonesia, lanjut Sunarko, Post-Sekular sudah hadir secara normatif. Ini dapat ditinjau dari perdebatan tokoh bangsa ketika merumuskan dasar negara.

Dalam risalah pidato Pancasila Satu Juni 1945, Bung Karno menyebut rakyat Indonesia harus ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan meniadakan egoisme agama. Dalam bahasa sederhana, ini disebut sebagai kebebasan beragama.

Secara umum, Indonesia bukan sebagai negara sekuler dan juga bukan negara agama. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mochtar Pabottingi, mengilustrasikannya sebagai berikut.

”Kita memerlukan kehidupan agama yang menghormati mekanisme dan kebajikan demokrasi. Kita juga memerlukan demokrasi yang menghargai ritus, amal, dan terutama kebajikan agama.”

Oleh sebab itu, Indonesia perlu menghindari dua kutub ekstrem dalam teologi. Pertama, kaum fundamentalis yang hanya menerima tafsiran harfiah tentang kitab suci.

Kedua, kelompok yang hendak menyesuaikan bahkan mengubah sumber wahyu dan iman agar sesuai dengan tuntutan dunia modern. Sunarko mengkritisi kedua kutub ekstrem itu.

”Mudah-mudahan bagi teologi masih ada jalan tengah di antara kedua pilihan ekstrem tersebut,” kata lulusan Albert-Ludwig University of Freiburg, Jerman, ini.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI–Pengajar STF Driyarkara, Franz Magnis-Suseno (kiri), bersama budayawan Jaya Suprana.

Mantan Guru Besar STF Driyarkara, Franz Magnis-Suseno, berpendapat, pidato guru besar teologi itu penting untuk keamanan negara. Kedua belah pihak, kaum agama dan kaum sekuler, diminta menjalankan tugas tanpa saling mencampuri dan menegasi. Ini bagian dari kebebasan beragama.

Dia menilai, ini merupakan satu-satunya jalan yang harus dilalui pemeluk Katolik di Indonesia. Meski tidak begitu terdengar, masih ada kelompok Gereja Katolik yang menolak kebebasan beragama. Akan tetapi, mereka terikat oleh dokumen Vatikan II tentang kebebasan beragama.

”Umat Katolik sebagai minoritas kecil dan bagian dari bangsa Indonesia justru merasakan betapa tepat ketentuan itu,” katanya.

Budayawan Fransiskus Xaverius Mudji Sutrisno SJ menyatakan, pidato ilmiah Uskup Pangkal Pinang itu seolah menjelaskan keterbatasan filsafat dan teologi di Indonesia. Teologi dinilai terlalu abstrak, dogmatis, dan tekstual. Padahal, masa kini membutuhkan teologi yang kontekstual, yang bisa menjawab persoalan manusiawi. Persoalan ini membentang, dari menebas jarak yang kaya dan yang miskin hingga memberantas hoaks.

”Umat Katolik kalau tidak hati-hati, bisa tertutup sendiri. Tidak terbuka,” ucapnya.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Budayawan FX Mudji Sutrisno SJ

Dalam zaman Post-Sekular, lanjut Mudji, agama harus berdialog dengan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Akan tetapi, dialog itu tidak perlu sampai membuat orang menjadi liberalis ekstrem.–INSAN ALFAJRI

Editor EMILIUS CAESAR ALEXEY

Sumber: Kompas, 11 Mei 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB