Pembiasaan pengajaran keterampilan berpikir kritis perlu dilakukan sejak dini sehingga murid tidak kebingungan dalam mengerjakan soal ujian yang menuntut penggunaan logika. Selama ini, guru lebih banyak mengajarkan pembelajaran yang sifatnya hafalan sehingga murid tidak terbiasa mempertanyakan suatu persoalan.
Pada ujian sekolah berstandar nasional (USBN) 2019 mulai diterapkan soal-soal yang mengukur keterampilan berpikir kritis atau disebut dengan higher order thinking skills (HOTS). Ketrampilan diperlukan anak agar dapat beradaptasi dengan perubahan dunia yang cepat.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO–Siswa-siswi SD Tarsisius II Kebon Jeruk, Jakarta Barat, seusai mengikuti ujian sekolah berstandar nasional, Selasa (23/4/2019). Murid perlu dibiasakan belajar dengan menggunakan konsep berpikir kritis agar mereka dapat mengerjakan soal ujian dengan menggunakan logika
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Permasalahannya, siswa mengatakan belum memahami cara mengerjakan soal-soal yang menuntut berpikir menggunakan logika tersebut. Salah satu siswa kelas VI SD Tarsisius II Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Cedric Jack Peterson Pinontoan (11), menyatakan kesulitan mengerjakan soal cerita.
”Soal cerita sangat susah dipahami dan harus menggunakan logika. Saya butuh waktu lima menit untuk memahami maksud dari soal tersebut,” ujar Cedric saat ditemui seusai mengikuti USBN mata pelajaran Matematika, Selasa (23/4/2019).
Cedric pun terpaksa melewati soal-soal yang menuntut logika berpikir tersebut.
Sementara itu, teman Cedric, Caitlin Vivienne Muljana (12), mengatakan dalam mengerjakan soal-soal ujian lebih banyak menggunakan logika daripada menghafal bahan ajar yang diberikan guru. Ia mengatakan dapat mengerjakan semua soal dengan menggunakan logika berpikir.
Wakil Kepala SD Tarsisius II Jakarta Markus Toto Rudianto mengatakan, sekolah telah mengajarkan soal latihan sesuai dengan kisi-kisi dari pemerintah. Ia juga telah mengajarkan cara mengerjakan soal menggunakan logika kepada muridnya.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO–Wakil Kepala SD Tarsisius II Jakarta Markus Toto Rudianto
Permasalahannya, murid masih kebingungan dalam memahami soal ujian. Mereka sering kesulitan dalam mencerna kalimat yang panjang. Salah satu penyebabnya, kurangnya kebiasaan membaca dari anak-anak.
Menurut Markus, soal HOTS tidak harus menyuguhkan pertanyaan yang susah dan membingungkan. ”Yang terpenting melatih nalar anak,” ujarnya.
Ia menyuguhkan soal HOTS dalam berbagai bentuk. Ada yang berupa soal cerita dan ada juga yang berupa gambar. Soal tersebut sudah ia terapkan sejak USBN tahun lalu. Sayangnya, dari sekitar 100 siswa, hanya dua anak yang mampu mengerjakan soal tersebut.
Berpikir kritis
Isti Handayani dari Dewan Pengawas Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengatakan, soal HOTS diterapkan untuk semua jenjang pendidikan, tetapi guru belum terbiasa mengajarkan soal HOTS tersebut.
”Seharusnya dalam proses pembelajaran, guru mengajarkan anak berpikir kritis dan kreatif,” ujar Isti.
Akan tetapi, persoalannya, guru hanya mengajarkannya pada tahap pemahaman dan hafalan. Akibatnya, murid kebingungan mengerjakan soal yang menuntut logika berpikir kritis tersebut.
Pembiasaan proses belajar kritis harus dibina sejak dini atau kelas I SD, bahkan perlu diajarkan di tingkat taman kanak-kanak sesuai dengan porsinya. Akan tetapi, di Indonesia, proses pembelajaran tersebut belum dilakukan.
Sebagian besar guru di Indonesia lebih banyak berkutat untuk mengajarkan materi dalam rangka agar anak dapat mengerjakan ujian nasional. Padahal, pendidikan di sekolah memiliki tahapan yang bertujuan untuk mengembangkan pola pikir anak.
DOKUMEN PRIBADI–Isti Handayani dari Dewan Pengawas FSGI
Salah satu cara yang dapat diajarkan guru di kelas ialah memancing anak untuk bertanya. Menurut Isti, setiap anak memiliki kemampuan untuk bertanya sejak usia dua tahun. Akan tetapi, kemampuan tersebut perlahan-lahan hilang karena mereka tidak dibiasakan untuk bertanya. Guru lebih banyak mengajarkan materi yang sifatnya hafalan dan memiliki jawaban yang pasti.
Untuk meningkatkan kemampuan anak bertanya, guru dapat melakukan pendekatan melalui pertanyaan-pertanyaan yang memancing anak melakukan riset, analisis, dan menarik kesimpulan. Melalui cara tersebut, murid akan memiliki cara berpikir tingkat tinggi.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengapresiasi UNBK 2019 yang mulai memasukkan soal HOTS. Menurut Muhadjir, soal HOTS memiliki metode penalaran yang tinggi. Soal-soal tersebut tidak hanya menuntut anak pandai menghafal, tetapi juga mendidik anak menggunakan penalarannya.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO–Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy
Ia menekankan, guru dapat membuat soal sesuai dengan ketentuan dari Badan Standar Nasional Pendidikan. Adapun soal USBN memiliki ketentuan, 20 persen disiapkan dari pusat dan sisanya disiapkan oleh guru atau kelompok kerja guru.–PRAYOGI DWI SULISTYO
Editor PASCAL S BIN SAJU
Sumber: Kompas, 23 April 2019