Regenerasi pelaku industri film di Indonesia dapat dimulai melalui pendidikan. Pendidikan vokasi di sekolah menengah kejuruan diharapkan mampu menghasilkan pekerja film andal sesuai minatnya. Karena itu, penguatan SMK menjadi langkah penting untuk membangkitkan industri film nasional.
Sekretaris Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Didik Suhardi mengatakan, kualitas film Indonesia semakin baik dan berkualitas. Sayangnya, penonton lebih suka melihat film asing daripada film produksi dalam negeri. Ia mendorong masyarakat agar mau menonton film Indonesia karena dapat menumbuhkan lapangan kerja dan ekonomi.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO-+Dokumentasi sejarah film Indonesia dan peralatan pembuatan film dipamerkan dalam perayaan Hari Film Nasional ke-69 di Jakarta, Kamis (28/3/2019). Pemerintah terus berusaha memajukan industri perfilman nasional, salah satunya melalui pendidikan vokasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Agar minat masyarakat Indonesia pada industri film terus berkembang, Kemdikbud mulai membangun SMK dengan jurusan bidang perfilman. ”Sejak tahun lalu, kami telah membuka jurusan film di 112 SMK yang memiliki jurusan penyiaran,” kata Didik, Kamis (28/3/2019), di Jakarta.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO–Didik Suhardi
Pernyataan itu diungkapkan Didik dalam pembukaan acara perayaan Hari Film Nasional (HFN) yang diperingati setiap tanggal 30 Maret. Adapun perayaan HFN ke-69 yang jatuh pada tahun ini diisi dengan bincang film, pameran sejarah perfilman, pemutaran film Indonesia, bedah buku, pameran properti film, dan lain-lain.
Melalui jalur pendidikan formal, Didik berharap industri film ke depan dapat diisi sumber daya manusia dari Indonesia. Mereka diberikan kurikulum yang telah disusun oleh Kemdikbud dan diharapkan lulusannya dapat diserap oleh industri perfilman di Indonesia.
Pemerintah juga memberikan fasilitas kepada masyarakat yang memiliki minat dalam perfilman. Melalui Pusat Pengembangan Film, Kemdikbud memberikan fasilitas kepada masyarakat yang ingin mengembangkan teknik penyutradaraan, penulisan skenario, produser, dan fasilitas lain.
Program ini dilakukan dengan tujuan untuk menggerakkan perfilman di Indonesia. Bahkan, melalui pelatihan ini, para pelaku industri film nasional diharapkan mampu bersaing di tingkat internasional.
Kepala Sinematek Indonesia Adisurya Abdy mengatakan, pendidikan film menjadi ujung tombak dalam regenerasi industri film. ”Melalui pendidikan, akan bermunculan generasi baru yang memilih film sebagai profesinya atau sebagai pencinta film nasional,” kata Adisurya.
Ia mengakui perkembangan film Indonesia cukup pesat. Hal tersebut terlihat dari jumlah penonton film Indonesia yang mencapai puluhan juta tiap tahun. Pada 2018, jumlah penonton film Indonesia mencapai 50 juta penonton.
Banyaknya jumlah minat masyarakat menonton film Indonesia tersebut membuat industri film pun terus bertumbuh. Ia mengatakan, mulai tahun 2000 hingga sekarang, minat orang berprofesi di industri film tersebut terus meningkat.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO–Adisurya Abdy
Sayangnya, industri film pada masa sekarang lebih terkesan instan. ”Pada 1950 hingga 1980, sebagian besar pekerja film memulai kariernya secara berjenjang dari bawah. Ada yang mulai dari asisten sutradara untuk mendalami teknik penyutradaraan, bahkan ada yang memulai kariernya dari tukang gulung kabel,” ujar Adisurya.
Situasi tersebut menjadi pertentangan antargenerasi. Para generasi tua berangkat dari ruang perjalanan sejarah panjang, sementara generasi muda dapat lebih cepat membuat film asalkan memiliki sumber pendanaan.
Film animasi
Industri film animasi di Indonesia juga terus berkembang dan mampu diterima oleh masyarakat. Wakil Deputi Bidang Kolaborasi Asosiasi Industri Animasi Indonesia (Ainaki) Sonny Adi Purnomo mengatakan, beberapa film Indonesia dapat sukses saat diputar di layar lebar, salah satunya film Si Juki The Movie yang mampu menggaet hingga 600.000 penonton.
Film ini pun mampu meraih berbagai penghargaan, seperti Piala Citra untuk Film Animasi Terbaik. Selain film ini, sejak 2013 telah muncul sembilan film animasi Indonesia yang terdaftar di Ainaki. Beberapa film tersebut mendapatkan penghargaan di luar negeri.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO–Sonny Adi Purnomo
Sonny mengatakan, tantangan film animasi di Indonesia adalah kurangnya sumber daya manusia yang memiliki keahlian sesuai dengan kebutuhan industri animasi. Menurut Sonny, hal tersebut terjadi karena kurangnya jumlah pendidikan formal bidang animasi di Indonesia.
Ia menceritakan, lima tahun terakhir industri film animasi Indonesia sangat berkembang seiring dukungan pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Akibatnya, studio animasi di Indonesia pun terus bertumbuh. Hingga saat ini, ada 80 studio animasi yang tergabung di Ainaki.
Sayangnya, sebagian besar studio tersebut diisi oleh kreator yang sama karena sulit mendapatkan kreator baru. Menurut Sonny, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, pengembangan SMK jurusan animasi perlu dilakukan dengan menggunakan kurikulum yang sesuai kebutuhan industri animasi.
SMK tersebut diharapkan mampu menghasilkan animator yang mampu membuat karya sesuai kebutuhan industri. Sementara itu, para lulusan perguruan tinggi dapat fokus menghasilkan konsep baru dengan ide yang lebih segar.–PRAYOGI DWI SULISTYO
Editor ANDY RIZA HIDAYAT
Sumber: Kompas,v28 Maret 2019