Program Profesi Advokat di Perguruan Tinggi Perlu Dikaji Ulang

- Editor

Rabu, 27 Maret 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ratusan peserta mengikuti ujian advokat 2015 di Universitas Tarumanegara, Jakarta, Jakarta, Sabtu (24/10). Sebanyak 5.152 orang calon advokat di 28 kota di Indonesia secara serentak mengikuti Ujian Profesi Advokat (UPA) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). ANTARA/Yudhi Mahatma

Ratusan peserta mengikuti ujian advokat 2015 di Universitas Tarumanegara, Jakarta, Jakarta, Sabtu (24/10). Sebanyak 5.152 orang calon advokat di 28 kota di Indonesia secara serentak mengikuti Ujian Profesi Advokat (UPA) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). ANTARA/Yudhi Mahatma

Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat perlu dikaji ulang. Peraturan tersebut dipandang memiliki banyak kekurangan dan dapat menghambat akses masyarakat miskin terhadap keadilan.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mengatakan, peraturan terkait profesi advokat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Ratusan peserta mengikuti ujian advokat 2015 di Universitas Tarumanegara, Jakarta, Jakarta, Sabtu (24/10). Sebanyak 5.152 orang calon advokat di 28 kota di Indonesia secara serentak mengikuti Ujian Profesi Advokat (UPA) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). ANTARA/Yudhi Mahatma

ANTARA/YUDHI MAHATMA–Ratusan peserta mengikuti ujian advokat 2015 di Universitas Tarumanagara, Jakarta, Jakarta, 24 Oktober 2015. Sebanyak 5.152 calon advokat di 28 kota di Indonesia secara serentak mengikuti Ujian Profesi Advokat Perhimpunan Advokat Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

”Seorang calon advokat harus menjalani PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat),” kata Anggara saat dihubungi di Jakarta, Selasa (26/3/2019).

Ia menjelaskan, PKPA dijalankan secara aktif oleh organisasi advokat yang bekerja sama dengan perguruan tinggi. Pasal 2 Ayat 1 UU Advokat menyatakan bahwa yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat.

Dalam menjalani proses PKPA, calon advokat harus magang selama dua tahun di kantor advokat. Selain itu, ia juga harus mengikuti ujian advokat. Peraturan ini pernah diuji melalui Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2013 dan 2016.

Dalam pertimbangannya, MK menilai, yang berhak menyelenggarakan PKPA adalah organisasi advokat. Selain itu, organisasi advokat juga harus bekerja sama dengan perguruan tinggi hukum.

SHARON UNTUK KOMPAS–Anggara Suwahju (kedua dari kanan)

Adapun Peraturan Menteri Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 5 Tahun 2019 mengubah tatanan tersebut. Peraturan ini didasarkan pada pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi.

Anggara mengatakan, Permenristekdikti No 5/2019 memberikan kewenangan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan Program Profesi Advokat (PPA) seperti yang tertuang pada Pasal 2 Ayat (2). Perguruan tinggi tersebut harus memiliki akreditasi paling rendah B atau baik sekali. Dalam penyelenggaraan PPA, perguruan tinggi harus bekerja sama dengan organisasi advokat.

Sementara mahasiswa PPA dinyatakan lulus jika telah menempuh seluruh beban belajar yang ditetapkan dan lulus sesuai target dari PPA. Ia juga harus memperoleh Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) minimal 3,00.

Berdasarkan Permenristekdikti No 5/2019, Anggara menjelaskan, untuk proses pengangkatan menjadi advokat, seseorang harus menempuh waktu lebih dari 8 tahun. Akibatnya, biaya yang diperlukan untuk pendidikan cukup tinggi.

KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Suasana sebelum seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Dengan biaya pendidikan yang cukup tinggi tersebut, ICJR memperkirakan akan berdampak pada ketersediaan advokat yang mau menjalankan profesi secara penuh 24 jam.

ICJR juga melihat, rakyat miskin akan semakin sulit mengakses keadilan karena semakin sulit mencari advokat yang mendedikasikan jasanya hanya untuk menangani perkara orang miskin.

ICJR mengingatkan keberadaan UU No 16/2011 tentang Bantuan Hukum. Pemerintah dituntut untuk menyediakan akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin dan buta hukum secara merata di seluruh Indonesia.

Mereka meminta Menristekdikti Mohamad Nasir mengkaji ulang Permenristekdikti No 5/2019 dan menyesuaikannya dengan UU No 18/2003 tentang Advokat dan UU No 16/2011 tentang Bantuan Hukum.

Uji materi
Tiga advokat senior dari Kongres Advokat Indonesia (KAI), yakni Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, TM Luthfi Yazid, dan Stefanus Laksanto Utomo, telah melayangkan uji materi terkait Permenristekdikti No 5/2019 ke Mahkamah Agung pada Senin (25/3/2019).

M PASCHALIA JUDITH J UNTUK KOMPAS–Luthfi Yazid

Wakil Presiden KAI TM Luthfi Yazid mengatakan, alasan KAI melakukan uji materi karena Permenristekdikti No 5/2019 bertentangan dengan UU Advokat.

Peraturan ini dianggap KAI memiliki kekurangan karena otoritas profesi advokat ada pada organisasi advokat. ”Perguruan tinggi hanya ada pada tataran teoretis dan bukan praktik. Di negara mana pun, tidak ada intervensi dari perguruan tinggi,” ujarnya.

Permenristekdikti No 5/2019 juga dianggap cacat akademis dalam pemberian gelar akademik advokat. Dalam Permenristekdikti No 5/2019 Pasal 5 Ayat (2) gelar advokat diberikan oleh perguruan tinggi. Adapun dalam UU Advokat Pasal 3 Ayat (1) Huruf f serta Pasal 2 Ayat (2) yang berhak menguji dan pengangkatan sebagai advokat adalah organisasi advokat.

KELVIN HIANUSA UNTUK KOMPAS–Rivai Kusumanegara

Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Rivai Kusumanegara belum dapat memberikan tanggapan terkait Permenristekdikti No 5/2019. ”Baru besok diadakan rapat pleno DPN (Dewan Pimpinan Nasional) Peradi untuk membahas peraturan ini,” ujarnya.–PRAYOGI DWI SULISTYO

Editor KHAERUDIN KHAERUDIN

Sumber: Kompas, 26 Maret 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan
Haroun Tazieff: Sang Legenda Vulkanologi yang Mengubah Cara Kita Memahami Gunung Berapi
BJ Habibie dan Teori Retakan: Warisan Sains Indonesia yang Menggetarkan Dunia Dirgantara
Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia
Berita ini 13 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Jumat, 13 Juni 2025 - 13:30 WIB

Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia

Jumat, 13 Juni 2025 - 11:05 WIB

Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer

Jumat, 13 Juni 2025 - 08:07 WIB

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Rabu, 11 Juni 2025 - 20:47 WIB

Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan

Berita Terbaru

Artikel

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Jumat, 13 Jun 2025 - 08:07 WIB