Investasi negara dalam penelitian dan pengembangan masih sangat rendah, terutama untuk mendukung ilmu pengetahuan dan teknologi yang inovatif. Untuk itu, dana riset melalui sistem Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia diharapkan bisa menjadi solusi atas permasalahan tersebut. Setidaknya, sekitar Rp 10 miliar disiapkan untuk enam proyek riset pada 2019.
Direktur Eksekutif Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI) Teguh Rahardjo menyebutkan, dana penelitian yang diberikan melalui DIPI tidak terikat dengan siklus tahunan anggaran negara sehingga durasi pendanaan bisa lebih panjang. Jenis pendanaan yang diberikan pun merupakan hibah riset dan sifatnya fleksibel.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)–Penelitian sel punca di laboratorium Unit Pelayanan Terpadu Teknologi Kedokteran Sel Punca RSCM-FKUI, Jakarta, Di tempat ini menyediakan dan menyelenggarakan kegiatan pelayanan, pengolahan, pendidikan, pengembangan, dan penelitian sel punca di rumah sakit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Pengelolaan dana riset dalam APBN biasanya disesuaikan dengan rentang waktu tahun anggaran. Padahal, riset kerap butuh waktu bertahun-tahun. Belum lagi, pola administrasi pelaporannya terlalu kaku,” ujarnya seusai acara penandatanganan perjanjian kerjasama antara DIPI dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) terkait penyerahan dana hibah di Jakarta, Kamis (21/3/2019).
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Teguh Rahardjo
DIPI merupakan lembaga independen yang bernaung di bawah Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Lembaga ini memiliki kapasitas untuk menggalang dana dari pemerintah, pihak swasta, dan sumber internasional lainnya sehingga tidak bergantung pada anggaran tahunan negara. Saat ini, sumber pendanaan didapatkan dari Kementerian Keuangan melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Dana riset DIPI yang dikelola dalam bentuk dana hibah ini diharapkan bisa lebih mendukung ekosistem penelitian di Indonesia yang lebih baik. Pada 2019, proyek yang didanai melalui DIPI antara lain, dua proyek dari FKUI terkait biomarker dengue dan diagnostik serologi, dua proyek dari Lembaga Eijkman untuk riset malaria dan arbovirus, proyek dari Universitas Padjajaran untuk riset tuberkulosis dan diabetes, serta proyek dari Universitas Hasanuddin untuk riset hepatitis B.
Adapun besar dana yang diberikan untuk setiap proyek maksimal Rp 1,5 miliar per tahun. Lama pendanaan sekitar dua tahun. Setelah kerja sama disepakati, dana akan cair dalam dua tahap.
Tahap pertama, dana bisa dicairkan sebesar 70 persen setelah 10 hari penandatanganan kerjasama dilakukan. Setelah itu, jika 80 persen dari dana tersebut sudah dihabiskan baru bisa mengajukan untuk pencairan sisa dana yang diajukan.
“Hasil dari riset ini berupa publikasi internasional dengan kualitas pertama. Kemudian, paten juga perlu dilakukan agar memiliki nilai komersial. Jika tidak bisa dicapai, pendanaan tidak bisa diajukan lagi untuk jangka waktu dua sampai tiga tahun berikutnya,” kata Teguh.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Ari Fahrial Syam
Insentif
Dekan FKUI Ari Fahrial Syam menilai, sistem yang dibangun oleh DIPI sangat tepat untuk menunjang pengembangan hasil riset yang inovatif. Selama ini, dana riset diberikan dalam jangka waktu singkat sekitar tiga sampai enam bulan.
Riset yang berorientasi inovasi dilakukan dalam jangka waktu panjang butuh dana yang besar dan berkesinambungan. Ari berharap, pengelolaan dana hibah oleh DIPI bisa semakin berkembang sehingga banyak pihak yang bisa turut memberikan dana untuk riset di Indonesia.
“Harapan saya ke depan juga bisa melibatkan pihak swasta. Melalui dukungan perusahaan, riset itu bisa sampai tahap komersial. Negara bisa mendukung dengan memberikan insentif melalui tax reduction,” katanya.–DEONISIA ARLINTA
Editor HAMZIRWAN HAM
Sumber: Kompas, 21 Maret 2019