Demam berdarah telah menjadi salah satu penyakit paling mematikan yang penyebarannya meluas dengan cepat seiring perubahan iklim dan mobilisasi penduduk. Sebelum tahun 1970, penyakit ini hanya menjangkit di 9 negara. Kini penyakit yang disebarkan nyamuk ini telah menyebar di 100 negara.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (World Helath Organization/WHO) tahun 2018 menyebutkan, jumlah penderita demam dengue atau di Indonesia populer sebagai DBD secara global mencapai 390 juta orang per tahun. Penderitanya menyebar dari Afrika, Timur Tengah, dan terutama di tiga wilayah, yaitu AmerikaSelatan, Asia Tenggara dan Pasifik Barat.
Tak hanya jumlah kasus dan luas penyebarannya yang meningkat, namun ledakan wabah juga bermunculan di tempat-tempat baru. Saat ini wabah penyakit itu dikhawatirkan terjadi di Eropa setelah dilaporkan ada transmisi lokal untuk pertama kali di Perancis dan Kroasia tahun 2010. Pada tahun 2012, wabah dengue melansa Pulau Madeira, Portugal dan menyebabkan 2.000 menderita lalu menularkannya ke 10 negara lain di daratan Eropa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Petugas melakukan pengasapan di komplek perumahan di kawasan Lengkong Gudang Timur, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (7/2/2019). Di kompleks ini tiga warga terjangkit demam berdarah dengue (DBD). Hingga akhir Januari 2019, Kementerian Kesehatan mencatat ada 15.132 kasus dengan angka kematian 145 jiwa akibat DBD.KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Pada tahun 2014, juga terekam indikasi peningkatan jumlah kasus di China, Kepulauan Cook, Fiji, Malaysia dan Vanuatu, dengan mayoritas disebabkan oleh Dengue Type 3 (DEN 3). Padahal tipe virus ini selama 10 tajin sebelumnya tak ditemukan lagi di kawasan ini. Baru-baru ini, DBD dilaporkan kembali merebak di Jepang setelah 70 tahun tanpa ada kasus.
Merebaknya kasus DBD di daerah-daerah baru juga terjadi di Indonesia, terutama di dataran tinggi yang dulunya beriklim sejuk. Penelitian yang dilakukan Sukmal Fahri yang dipublikasikan di jurnal Plos Neglected Tropical Desease (2013) menemukan keberadaan virus dengue pemicu DBD di dataran Jawa Tengah dengan ketinggian 1.001 meter dari permukaan laut (mdpl).
Peneliti senior dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Syafruddin, yang terlibat publikasi itu mengatakan, kajian itu membuktikan ada perluasan sebaran penyakit DBD yang dibawa nyamuk Aedes aegypti. Pemanasan global yang berubah seiring perubahan iklim memperluas jelajah nyamuk dan penyakit yang di bawanya.
Jika sebelumnya yamuk hidup di kisaran 40 Lintang Utara dan 40 Lintang Selatan, dengan adanya perubahan iklim, maka sebaran nyamuk menjadi luas luas ke darah lintang rendah. Dalam skala regional, dataran tinggi yang dulu bersuhu sejuk juga menjadi semakin panas.
Guru Besar Parasitologi dan Medikal Entomologi, Institut Pertanian Bogor (IPB) Upik Keseumawati mengatakan, nyamuk Aedes aegypti sebenarnya hanya berkembang biak di daerah tropis yang suhunya lebih dari 16 derajat celcius dan pada ketinggian kurang dari1.000 mdpl. Kini nyamuk tersebut dapat ditemukan pada ketinggian 1.000–2.195 mdpl.
“Pemanasan global menyebabkan suhu beberapa wilayah cocok untuk berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti, yang dapat hidup optimal pada suhu antara 24-28 derajat celcius. Artinya, disini ruang gerak nyamuk Aedes meningkat sehingga distribusi daerahnya menjadi lebih luas,” kata Upik.
Perluasan distribusi daerah ini akan meningkatkan risiko transmisi penyakit DBD di suatu daerah yang sebelumnya belum pernah terjangkit. Selain itu, , kelembaban yang meningkat juga bisa memicu agresivitas dan mendorong kemampuan nyamuk mengisap darah. Riset laboratoris menyebutkan,tingkat replikasi virus Dengue berhubungan dengan kenaikan suhu karena memperpendek masa inkubasivirus dalam tubuh nyamuk.
Virus versus manusia
Kepala Laboratorium Dengue, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Tedjo Sasmono, mengatakan, selain faktor peruhan iklim yang mempengaruhi aktivitas nyamuk sebagai vektor, terdapat beberapa faktor lain yang mempengaruhi perubahan tren infeksi dan penyebaran DBD. Faktor tersebut adalah karakter virus dengue dan manusia sebagai penderita.
Dari faktor virus dengue, menurut Tedjo, ada siklus wabah lima-enam tahunan. Hal ini juga berkaitan erat dengan faktor manusia, yakni imunitas populasi (herd immunity) . Secara sederhana, adanya empat serotipe virus dengue yang berbeda memungkinkan dominasi salah satu serotipe virus yang bergantian dalam satu musim penghujan ke musim berikutnya. Hal ini berimplikasi pada imunitas populasi yang tinggi setelah terekspos empat serotipe virus akan menekan penyebaran DBD.
Namun dengan kelahiran bayi-bayi yang belum mempunyai imunitas terhadap DBD pada tahun ke lima atau ke enam bisa memicu peningkatan kembali jumlah kasus pada populasi tersebut. “Kondisi ini akan berulang dan menjadi siklus lima-enam tahunan,” ungkapnya.
Faktor virus dengue yang cepat bermutasi, menurut Tedjo, juga bisa berperan dalam tingginya jumlah kasus. Virus-virus yang bermutasi akan terseleksi secara alami menjadi galur virus baru yang lebih mudah ditransmisikan oleh nyamuk. Di lain pihak, mutasi-mutasi virus juga menyeleksi galur-galur virus dengan peningkatan keganasan sehingga keparahan penyakit pada pasien meningkat.
Di sisi lain, Kajian Lembaga Eijkman dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tentang seroprevalensi DBD pada tahun 2014 yang terbit di jurnal PLoS Neglected Tropical Diseases mendeteksi ada antibodi terhadap DBD pada anak-anak usia 1-18 tahun di 30 kecamatan yang tersebar di 14 provinsi di Indonesia. Ditemukan, lebih dari 80 persen anak-anak usia 10 tahun telah mempunyai antibodi terhadap virus dengue. Bahkan secara keseluruhan untuk penduduk berumur 15-18 tahun, prevalensi antibodinya 89 persen.
Namun prevalensi yang tinggi tersebut tidak merata di seluruh Indonesia. Misalnya populasi anak-anak yang mempunyai antibodi terhadap DBD di Lampung dan Tasikmalaya hanya sekitar 45 persen, di Ponorogo hanya 35 persen, dan Toraja sebesar 47 persen, dibandingkan dengan populasi di Tangerang yang mencapai 88 persen dan Surabaya 85 persen.
Rendahnya imunitas populasi pada daerah-daerah di luar Jawa ataupun di daerah rural di Jawa menyebabkan populasi di daerah tersebut menjadi rentan terhadap wabah DBD. Ini terlihat pada tahun 2015, di daerah-daerah dengan seroprevalensi DBD rendah tersebut terjadi peningkatan jumlah kasus atau kejadian luar biasa (KLB) DBD.
“Imunitas populasi berperan penting dalam meningkatnya kasus DBD di suatu daerah. Memang cara paling mudah meningkatkan imunitas populasi sekaligus memutus siklus DBD adalah vaksinasi, namun vaksin yang tersedia saat ini belum begitu efektif dan belum tersedia luas di masyarakat,” kata Tedjo.
Upaya untuk menemukan vaksin DBD telah dirintis sejak 1929 dan baru ada titik terang belakangan ini. Pada tahun 2016, secara komersial Sanofi Pasteur telah menjual vaksin DBD di 11 negara, yaitu Mexico, Filipina, Indonesia, Brazil, El Salvador, Kosta Rica, Paraguai, Guatemala, Peru, Tailand, dan Singapura.
Namun, Tedjo memaparkan, efektivitas vaksin ini masih diperdebatkan. Riest yang dipublikasikan di jurnal PNAS tahun 2018 menyebutkan virus yang bermutasi atau berbeda genotipe-nya dengan yang dipakai untuk membuat vaksin akan memengaruhi efikasi vaksin. Penelitian lain menunjukkan perbedaan genotipe virus yang digunakan untuk vaksin dengan virus yang bersirkulasi di alam hanya menyebabkan perbedaan efikasi vaksin yang terbatas.
Karena vaksin yang tersedia saat ini tergolong baru, perlu pemantauan lebih lama untuk mengetahui lebih dalam efek perbedaan genotipe virus terhadap efikasi vaksin.
Sesuai dengan rekomendasi WHO, satu-satunya vaksin DBD yang saat ini tersedia yakni yang diproduksi oleh Sanofi Pasteur hanya untuk yang sudah pernah terjangkit DBD sehingga vaksin ini berfungsi sebagai booster untuk meningkatkan imunitas yang sebelumnya telah dipunyai. Namun vaksin ini tidak cocok pada orang yang belum pernah terifeksi.
Jadi apabila efikasi vaksin DBD tinggi, tentu akan bisa menjadi solusi untuk DBD, meski tetap ada kemungkinan efek sampingnya antara lain disebabkan fenomena antibody-dependent enhancement pada DBD. Vaksin DBD lain yang diproduksi oleh Takeda saat ini sedang dalam tahap akhir uji klinis fase III dan kemungkinan dalam waktu dekat bisa diketahui efikasinya.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA–Kader pemantau jentik memeriksa bak mandi warga di RW VIII, Kelurahan Wonokromo, Kecamatan Wonokromo, Surabaya, Jumat (1/2/2019). Sebanyak 23.000 kader pemantau jentik bertugas dengan sukarela memeriksa jentik nyamuk di rumah-rumah serta mensosialisaikan program 3 M agar warga terhindari dari demam berdarah.Kompas/Bahana Patria Gupta (BAH)
Kita belum tahu bagaimana ujung dari perang panjang melawan DBD ini. Upaya untuk mengatasi DBD membutuhkan sinergi berbagai hal, karena yang dihadapi adalah kombinasi nyamuk sebagai vektor yang semakin aktif seiring perubahan iklim, juga karakter virus dengue yang perkasa dengan mudah bermutasi.
Namun, cara paling sederhana yang bisa dilakukan adalah usahakan jangan sampai digigit nyamuk Aedes aegypti, maka anjuran lama untuk memberantas sarang nyamuk ini masih sangat relevan.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 28 Februari 2019