CATATAN IPTEK
Hari-hari ini, bahasan tentang efek rumah kaca mewarnai media. Pelbagai konferensi internasional memang tengah diselenggarakan terkait upaya pencegahan peningkatan suhu Bumi, dampak dari gas-gas pencemar yang memenuhi atmosfer. Gas-gas ini menghambat gelombang ultraviolet keluar ke antariksa sehingga membuat bumi makin panas.
Namun, ancaman terhadap bumi akibat terganggunya atmosfer, sebenarnya tak hanya berasal dari gas-gas pemicu efek rumah kaca. Gas-gas tertentu ternyata juga merusak lapisan stratosfer di atmosfer. Kalau dibiarkan, kerusakan ini juga berdampak buruk bagi bumi dan penghuninya.
Paper “The Ozone Layer” dalam ReviewEssays (2010) menyebutkan, lapisan stratosfer berada di ketinggian 11-50 km di atas bumi. Di lapisan ini terdapat molekul-molekul gas yang tersusun dari tiga atom oksigen. Disebut ozon, O3, molekul ini berfungsi melindungi bumi dari radiasi ultraviolet. Namun, bahan kimia buatan manusia yang mengandung klorin atau bromin, membuat molekul O3 terurai. Bahan-bahan kimia itu di antaranya chlorofluorocarbon (CFC) yang banyak terdapat pada alat pendingin seperti kulkas dan AC, bahan busa, aerosol, halon pada pemadam api, bahan fumigasi, dan zat pelarut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
AP PHOTO/PABLO MARTINEZ MONSIVAIS–Warga berdemonstrasi di depan Gedung Putih, di Washington, AS, Sabtu (29/4). Demonstran mengecam kebijakan Presiden AS Donald Trump yang melemahkan larangan di bidang pertambangan, pengeboran minyak, dan larangan emisi gas rumah kaca pada pusat pembangkit listrik bertenaga batu bara.
Akibatnya, lapisan stratosfer menipis—sering disebut sebagai lubang ozon—dan mengancam kehidupan. Gelombang ultraviolet-B yang masuk melalui lubang ozon dapat menghambat proses pertumbuhan tanaman dan mengurangi produksi plankton, yang pada akhirnya dapat mengganggu persediaan pangan global. Pada hewan dan manusia, gelombang ultraviolet-B juga dapat memicu kanker dan menurunkan kapasitas reproduksi.
NASA Earth Observatory—lembaga pengamat bumi, bagian dari Badan Penerbangan dan Antariksa AS—menyebutkan, lubang ozon pertama ditemukan di Kutub Selatan. Kondisi atmosfer dan kandungan kimia yang unik di kawasan itu—temperatur rendah, relatif terisolasi, dan adanya awan polar stratosfer—membuat lapisan ozon di situ lebih cepat menipis.
Sebenarnya, sama seperti cara mengatasi pemanasan bumi, pelbagai negara juga mengadakan pertemuan untuk mencegah lubang ozon meluas. Dalam Konvensi Vienna 1985, masyarakat internasional sepakat membentuk kerangka kerja perlindungan lapisan ozon. Konvensi ini berisi komitmen para negara pihak untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak penipisan ozon melalui penelitian, observasi, dan pertukaran informasi.
Tahun 1987, Konvensi Vienna ditindaklanjuti dengan Protokol Montreal, yang mengatur langkah-langkah negara pihak untuk membatasi produksi dan konsumsi bahan perusak ozon. Semula Protokol Montreal mengatur produksi dan konsumsi lima jenis CFC dan tiga jenis halon. Namun, dengan berkembangnya teknologi, jenis bahan perusak ozon yang diatur terus bertambah melalui lima amandemen.
Hingga amandemen terakhir yang berlangsung di Kigali (2016), bahan kimia yang diatur sudah bertambah sekitar 10 jenis termasuk penerapan sistem perizinannya.
Indonesia turut meratifikasi Konvensi Vienna, Protokol Montreal dan segala amandemennya, tahun 1992. Sebagai negara pihak, Indonesia wajib menghapus penggunaan bahan perusak ozon sesuai jadwal. Hingga 2015, Indonesia sudah melarang impor barang berbasis sistem pendingin HCFC-22.
Refrigeran HCFC-22 juga tidak boleh lagi digunakan untuk AC, mesin pengatur suhu udara, maupun mesin pendingin. Meski demikian, refrigeran ini masih boleh digunakan untuk perawatan mesin AC sampai tahun 2030. Bahan kimia lain yang dilarang digunakan adalah HCFC-141b untuk foam produk freezer, kulkas, dan pengolahan pelbagai kulit untuk otomotif dan furniture.
Menurut NASA Ozone Watch, area yang mengalami penipisan ozon belum menurun signifikan. Oleh karena itu, upaya-upaya yang menyeluruh masih jadi pekerjaan rumah bersama.–AGNES ARISTIARINI
Sumber: Kompas, 28 November 2018