Pada 2030, penduduk Bumi diperhitungkan bertambah 1,2 miliar jiwa. Saat itu akan ada sekitar 8,5 miliar jiwa manusia dan terus berbiak. Dari sekarang, umat manusia sesungguhnya dituntut kembali bergulat.
Memaksa Malthusianisme sebagai paham yang usang tetap dalam kerangkengnya. Ataukah teori tentang pertumbuhan penduduk yang tak mungkin diimbangi ketersediaan pangan itu lepas merdeka? Menenggelamkan bumi dalam katastrofi Malthus? Tampaknya, industri generasi ke-4 (4.0) adalah jawaban.
Lund adalah kota kecil di Swedia. Luasnya sekitar separuh Jakarta Pusat, kota administratif terkecil di DKI Jakarta. Untuk ukuran Swedia yang penduduknya ”hanya” 10 juta jiwa pun, Lund tetaplah mungil. Berada di pedalaman, kota ini bukan tandingan tetangganya, Malmo, yang hanya berjarak setengah jam perjalanan mobil ke selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Malmo adalah kota bandar dengan perniagaan yang ramai. Luasnya tiga kali Lund dengan penduduk hampir 350.000 orang. Penduduk Lund hanya 91.000 jiwa. Hanya, kota mungil ini punya kebanggaan. Di sinilah berada salah satu universitas tertua di Eropa utara. Universitas Lund telah berdiri sejak 1666, hampir 350 tahun lalu.
Pamor lain kota Lund terletak di tenggara, berupa sebuah kompleks pabrik dan perkantoran seluas 0,4 kilometer persegi. Inilah markas Tetra Pak, sebuah perusahaan pemasok mesin-mesin pengolahan pangan—terutama minuman—dan kemasan. Di negeri kita, masyarakat mengenalnya sebagai pembuat kemasan minuman dari karton.
KOMPAS/YUNAS SANTHANI AZIS–Miniatur mesin pemroses dan pengepak minuman dalam ruang pamer di kantor dan pabrik pusat Tetra Pak, kota Lund, Swedia, Rabu(10/10/2018).
Rabu, 10 Oktober 2018 silam, bagian depan gedung kantor berdinding bata merah dalam kompleks itu lebih ramai dari biasa. Dalam ruang-ruang dengan jendela kaca besar menghadap ke taman, para pekerja berkemeja, tenggelam dalam keasyikan berkarya seraya menatap layar komputer mereka.
Di koridor, tak seperti biasa, sekitar 50 wartawan dari 40-an negara hilir-mudik melewati koridor tuk memasuki sejumlah ruangan pameran dan diskusi dalam kelompok-kelompok.
Hari itu, Tetra Pak membuka diri dalam memaparkan ”dagangannya”. Beberapa hari sebelumnya, kegiatan serupa juga diadakan bagi para wakil dari sekitar 300-an pelanggannya dari berbagai belahan dunia.
Dalam pemaparan para pejabatnya kepada media, Tetra Pak menyorongkan berbagai inovasi mereka. Salah satu Vice President (VP)-nya, Anders Lindgren, sebagai contoh, menyodorkan sebuah kemasan karton yang dapat dipanaskan dalam oven atau tanur gelombang mikro.
Bagi Lindgren, bungkus karton yang dinamakan Tetra Recart itu adalah pengganti kemasan kaleng yang telah bertahan dalam dua abad terakhir.
”Kaleng adalah sejarah,” ujar Lindgren mempromosikan produknya. Dalam sebuah bangsal besar dengan udara musim gugur yang sejuk, sederet miniatur mesin-mesin pemroses susu dan pengemasannya tengah bekerja secara otomatis.
Pejabat Tetra Pak di sana menunjuk sebuah tabung besar dari logam berkromasi yang mengilat. Itu adalah tabung separator sentrifugal, tempat susu cair dipisahkan menjadi krim dan susu skim atau memisahkan partikel-partikel padat dari jus buah.
Alih-alih menggunakan teknik pemompaan cairan konvensional, separator Tetra Pak diklaim menerapkan teknologi kedirgantaraan yang mengatur tekanan udara dalam tabung, mirip kondisi tekanan udara yang berbeda di setiap lapisan atmosfer. Dengan teknologi itu, pemisahan dijamin berlangsung lebih lembut.
Kemungkinan bahan baku menjadi rusak—karena pemutaran atau pemompaan yang terlalu cepat atau lambat—pun dihindari. Tak ada pangan yang terbuang, kualitas produk amat terjaga. Selain itu, teknologi itu mengurangi penggunaan energi listrik hingga 30 persen.
Jumpa awal media ini tentu saja menjadi ajang komunikasi Tetra Pak atas barang-barang dagangannya. Namun, semuanya lebih terdengar seperti seminar tentang masa depan, bukan promosi barang dagangan.
Teknologi yang meminimalkan produk terbuang, penghematan energi penggerak mesin, dan kemasan bermaterial yang dapat diperbarui pengganti material tambang dan petrokimia (plastik) jelas menjanjikan keuntungan.
Lebih jauh, keuntungan dengan cara itu tampak menjanjikan masa depan yang lebih baik bagi semua. ”Kesinambungan adalah tema yang akan kian penting dalam agenda setiap industri dan konsumen,” kata Senior VP Communications Tetra Pak International Chris Huntley.
Pabrik cerdas
Dalam temu media di Lund, Vice President Tetra Pak Services and Quality Johan Nilsson menunggu dalam sebuah ruangan yang tak terlalu besar.
Nilsson memaparkan produk baru perusahaannya, sistem pabrik pengolahan minuman dan pangan—dengan segala mesin-mesinnya—yang bekerja otonom: mampu menganalisis permasalahan, kebutuhan, dan menyajikan alternatif solusi kepada manusia pengelolanya.
KOMPAS/YUNAS SANTHANI AZIS–Miniatur mesin pemroses dan pengepak minuman dalam ruang pamer di kantor dan pabrik pusat Tetra Pak, kota Lund, Swedia, Rabu(10/10/2018).
Ini sebuah pabrik cerdas, sebuah contoh dari model industri generasi keempat, Industri 4.0.
Sederhananya, pabrik pintar itu mampu melihat produk apa dibutuhkan di mana saja dan berapa banyak.
Dengan berbagai informasi yang pasti seperti itu, sebuah pabrik mampu meningkatkan produktivitas. Apa yang dihasilkan relatif tak ada yang terbuang, mampu disalurkan ke konsumen dengan jumlah yang tepat.
Secara bisnis, ujar Nilsson, Industri 4.0 jelas menguntungkan. Biaya produksi akan turun, pengiriman barang pun jadi cepat dan tepat—lagi-lagi meningkatkan keuntungan—dan industri mampu merespons dengan cepat perubahan kebutuhan pasar.
Secara strategis, Industri 4.0—bersama berbagai inovasi teknologi lainnya—dalam sektor pangan jelas merupakan jalan keluar dalam ketahanan pangan masa depan. Menghadapi pertumbuhan penduduk yang tak mungkin terhindar, optimalisasi pemanfaatan pangan yang ada menjadi sebuah keharusan: tak boleh ada bahan pangan yang tercecer, tak termanfaatkan.
Nilsson mengungkapkan, sesungguhnya pemanfaatan kapasitas terpasang dalam industri pangan (food and beverage) dan pertanian saat ini masih jauh dari optimal.
Industri pangan baru 20-40 persen dari kapasitas terpasangnya dan pertanian baru di atas 20 persen. Di saat yang sama, industri pangan masih sangat tertinggal dalam penerapan Industri 4.0, kalah dibandingkan dengan industri migas, kesehatan, otomotif, dan ritel.
Indonesia sendiri sesungguhnya telah mengambil langkah tepat. Pemerintah, menurut Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, tengah menyusun peta jalan revolusi Industri 4.0. Ada lima sektor yang menjadi fokusnya, yaitu industri makanan-minuman, tekstil, kimia, elektronik, dan otomotif.
Kembali mengacu pada prediksi, Indonesia adalah salah satu negara penyumbang terbesar pertumbuhan penduduk global. Negeri ini amat mendesak untuk melakukan berbagai langkah keamanan pangan.
Lebih dari itu, Indonesia harus sadar bahwa keamanan pangan adalah sebuah tantangan besar yang akan menentukan nasib 200 juta-300 juta penduduk tanpa terkecuali. Inilah fakta yang harus dihadapi bersama.–YUNAS SANTHANI AZIS
Sumber: Kompas, 7 November 2018