Peralatan yang mahal dan tidak fleksibel membuat pemeriksaan malaria di daerah endemik yang terpencil hanya berdasar diagnosis klinis. Mikroskop cahaya yang dimodifikasi menjadi jalan keluar masalah ini.
Sebanyak 80 juta jiwa atau satu di antara 3-4 rakyat Indonesia hidup dalam ancaman malaria. Bahkan, setidaknya 11 juta jiwa di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua bermukim di wilayah endemik dengan tingkat ancaman penularan infeksi sedang sampai tinggi.
Di Indonesia, insidensi malaria masih tinggi. Menurut Kementerian Kesehatan, kurun 2017 tercatat hampir 262.000 kasus malaria yang 100 kasus di antaranya mengakibatkan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina yang membawa parasit plasmodium. Kelompok risiko tinggi terserang penyakit ini ialah bayi, anak balita, dan ibu hamil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Secara global, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kurun 2010, tercatat 219 juta kasus malaria yang mengakibatkan 700.000 sampai 2,7 juta kematian setiap tahun terutama pada anak-anak, hanya di Afrika. Indonesia merupakan negara endemik berperingkat ke-26 dengan prevalensi 9,19 per 100 penduduk.
Menurut Kementerian Kesehatan, hingga akhir tahun lalu, sebanyak 266 dari 514 kabupaten/kota mencapai status eliminasi malaria. Sebanyak 248 daerah berstatus endemik malaria, dengan rincian endemik rendah 172 daerah, endemik sedang 37 daerah, dan endemik tinggi 39 daerah.
JAMES GATHANY/CDC VIA AP, FILE–Nyamuk Anopheles betina sedang mengisap darah manusia.
Wilayah endemik itu pedalaman atau pesisir tetapi jauh atau amat minim layanan kesehatan dasar. Selain itu, begitu sulit dijangkau karena ketiadaan atau sedikit dan rusaknya jaringan prasarana. Serangan malaria di kawasan perifer tadi membahayakan keselamatan jiwa masyarakat jika tidak segera ditangani dan dilaksanakan program pencegahan.
Guru Besar Ilmu Parasitologi Kedokteran Unair Indah Setyawati Tantular, Kamis (27/9/2018), di Surabaya, memaparkan, malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium yang masuk ke tubuh manusia melalui perantara nyamuk Anopheles.
Penularan malaria dimulai ketika nyamuk menggigit manusia yang sudah terinfeksi parasit malaria. Risiko penularan malaria di daerah endemik meningkat terutama di daerah pedesaan dan bervariasi terutama pada akhir musim hujan.
Sekitar 60 spesies nyamuk telah diidentifikasi sebagai vektor untuk malaria dan distribusi spesies nyamuk ini bervariasi dari satu negara ke negara. Ada empat jenis plasmodium penginfeksi manusia. Masing-masing ialah Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale.
Peralatan terbatas
Menurut Indah, di daerah endemik yang terpencil dan sulit terjangkau, pengobatan penyakit malaria seringkali berdasarkan pada diagnosis klinis tanpa berdasarkan pada diagnosis laboratoris. Masalah utama karena jumlah tenaga laboratorium tidak memadai dibandingkan dengan jumlah kasus malaria yang harus ditangani.
Di daerah-daerah tadi, pemeriksaan terhadap pasien yang diduga malaria biasanya dilaksanakan dengan peralatan sederhana yakni mikroskop cahaya dengan metode Giemsa. Meski demikian, diagnosis dengan pemeriksaan hapusan darah memakai cairan Giemsa sudah memenuhi standar WHO.
Namun, waktu untuk menegakkan diagnosis malaria per satu pemeriksaan memerlukan minimal 30 menit. Pemeriksaan secara massal untuk program penanganan dan pencegahan menjadi amat sulit bahkan nyaris mustahil ditempuh. Pengobatan dengan diagnosis tepat amat lamban.
Seiring perkembangan teknologi kesehatan, ada teknik pemeriksaan cepat malaria memakai pewarnaan Acridine Orange (AO) dan mikroskop fluoresens. Deteksi parasit dengan pewarnaan AO, dibuat berdasarkan adanya DNA Plasmodium di dalam sel darah merah. Inti parasit akan memberikan rona hijau berpendar (fluoresens) dan sitoplasma parasite berona jingga (oranye). Pemeriksaan ini hanya memerlukan waktu 3 menit untuk mendapatkan kepastian malaria berikut jumlah parasitnya.
DOKUMENTASI UNIVERSITY OF SOUTH FLORIDA–Tampilan parasit malaria paling mematikan, Plasmodium falciparum dalam ukuran mikroskopik.
Namun, mikroskop ini berharga amat mahal yakni di atas Rp 200 juta dan cukup sulit didapatkan. Alat itu pun cuma bisa dioperasikan di daerah berjaringan listrik. Oleh sebab itu, mikroskop fluoresens tak bisa dipakai untuk diagnosis cepat di daerah endemik yang terpencil dan atau belum berlistrik. Ini salah satu kendala penanganan malaria di kawasan perifer.
Ditempa oleh pengalaman menjangkau sejumlah pemukiman perifer di Kawasan Indonesia Timur, kalangan peneliti Pusat Lembaga Penyakit Tropis (Institute of Tropical Disease/ITD) Universitas Airlangga (Unair) memikirkan cara untuk diagnosis malaria secara cepat, tepat, dan murah. “Dari kondisi itu muncul ide bagaimana membuat alat diagnosis cepat berkemampuan mikroskop fluoresens,” kata Indah.
Indah yang merupakan peneliti utama kelompok studi malaria ITD Unair kemudian menggandeng peneliti ITS untuk membuat perangkat yang mempermudah diagnosis malaria. Alat itu pada prinsipnya adalah mikroskop cahaya, tetapi dimodifikasi sehingga berkemampuan seperti mikroskop fluoresens. Modifikasinya berupa pemasangan lampu halogen dan filter interfren yang dibeli khusus dari luar negeri. Filter itu hanya meneruskan cahaya dengan panjang gelombang 495 nanometer.
Dekan Fakultas Teknologi Elektro ITS Tri Arief Sardjono yang ditemui secara terpisah mengatakan, “Kami membuatkan tempat untuk filter interferen sehingga terpasang pada mikroskop cahaya. Selain itu, memasang alat pada lampu halogen agar mekanisme fluoresens bisa bekerja dengan sumber tenaga aki mobil,” katanya.
Prinsipnya, ketika objek pemeriksaan yakni tetes darah yang telah ditetesi cairan AO itu disorot oleh lampu halogen, filter interferen tadi hanya melewatkan partikel cahaya yang kemudian memendarkan parasit malaria.
Untuk diagnosis, diperlukan setetes darah pasien yang diambil dengan cara finger prick atau tusukan pada jari. Darah itu kemudian diletakkan pada kaca, diberi setetes cairan AO, dan dilihat melalui mikroskop yang kurang dalam 5 menit sudah memberikan hasil. Selain mudah dan cepat pada proses pembuatan hapusan darah, alat ini juga mudah untuk mendeteksi kandungan parasit sebab parasit malaria berpendar atau fluoresens.
Prinsipnya, kata Tri, ketika obyek pemeriksaan yakni tetes darah yang telah ditetesi cairan AO itu disorot oleh lampu halogen, filter interferen hanya melewatkan partikel cahaya yang kemudian memendarkan parasit malaria. “Dalam pandangan kami, kunci perangkat itu pada cairan AO dan filter khusus yang belum bisa diproduksi. Modifikasi mikroskop dan lampu halogen amat mudah dilakukan,” ujar Tri.
Cepat, tepat, dan murah
Alat ini berkemampuan diagnosis malaria cepat dan tepat, mudah dibawa, dan bisa dioperasikan dengan sumber energi listrik dari aki mobil atau generator set. Biaya pembuatan seperangkat alat hasil modifikasi ini pun murah. Lampu halogen dan filter hanya membutuhkan biaya sekitar Rp 2 juta. Mikroskop cahaya dengan kualitas bagus berharga Rp 7 juta.
“Alat ini ringan dan compact sehingga mudah dibawa untuk pemeriksaan di lokasi dan dioperasikan memakai aki mobil. Alat ini sudah banyak membantu kami melaksanakan pemeriksaan di wilayah yang sulit terjangkau layanan kesehatan,” ujar Indah.
Dengan sejumlah kelebihan, perangkat ini mudah dipakai oleh kader-kader kesehatan bahkan di wilayah endemik yang terpencil. Tentu setelah mendapat pelatihan singkat, tenaga kesehatan dapat membawa perangkat dengan berkeliling untuk pencarian dan penemuan kasus-kasus malaria secara aktif atau tanpa menunggu kedatangan warga yang terserang penyakit. Pengobatan secara tepat juga bisa ditempuh mengingat kemampuan alat mendeteksi jumlah parasit.
Indah mengatakan, alat ini sempat diproduksi secara amat terbatas oleh Unair, ITS, dan dibantu peneliti Jepang. Kurang dari 10 perangkat buatan telah disumbangkan untuk kader kesehatan di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara. “Namun, kami tidak bisa memastikan apakah digunakan terus atau sudah dibiarkan,” katanya.
Alat juga hendak diproduksi dengan tujuan didistribusikan ke daerah endemik yang perifer di era Menteri BUMN Dahlan Iskan. Biofarma sempat ditunjuk untuk memproduksi tetapi menurut Indah tidak mampu memenuhi berbagai syarat untuk peralatan kesehatan. Produksi belum bisa diwujudkan sedangkan proses paten perangkat sedang diurus oleh Unair dan belum selesai.–IQBAL BASYARI / ABROSIUS HARTO
Sumber: Kompas, 15 Oktober 2018