Kementerian Riset, Teknologi, dan Dikti bersama Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia baru saja mengadakan Simposium Cendekia Kelas Dunia 2018, 12-18 Agustus.
Kegiatan Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD) 2018 ini merupakan kegiatan tahunan ketiga yang mengundang ilmuwan diaspora Indonesia dari berbagai belahan dunia untuk hadir berkolaborasi dan bersinergi dengan mitra mereka di dalam negeri.
Mereka dihadirkan selama seminggu di Indonesia, termasuk presentasi dan diskusi panel di Jakarta dengan sekitar 400 dosen perguruan tinggi (PT) se-Indonesia, serta mengunjungi PT di sejumlah daerah di Indonesia pada 15-17 Agustus 2018. Terdapat 47 ilmuwan diaspora dari 11 negara berpartisipasi dalam kegiatan SCKD 2018 yang dikirim ke 55 PT di daerah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kegiatan SCKD ini memberikan dampak positif bagi kegiatan kolaborasi antara ilmuwan diaspora Indonesia di luar negeri dan mitra mereka di dalam negeri, termasuk kolaborasi penelitian dan publikasi. Kegiatan ini juga menunjukkan keberadaan negara bagi ilmuwan diaspora yang merupakan komponen penting bagi kemajuan bangsa Indonesia. Kegiatan SCKD dalam tiga tahun terakhir ini jadi momentum penting bagi bersinerginya kembali ilmuwan diaspora Indonesia di seluruh dunia.
Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia (I-4) awalnya diinisiasi oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman pada pertengahan 2007. Tujuan pembentukan I-4 adalah untuk mengakomodasi seluruh potensi ilmuwan Indonesia di seluruh dunia agar ikut berperan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendirian I-4 sendiri dideklarasikan oleh PPI Se-Dunia pada 5 Juli 2009 dalam Simposium Internasional PPI Dunia di Den Haag, Belanda.
I-4 kemudian diresmikan secara formal di Jakarta pada 24 Oktober 2009 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh. Kegiatan berikutnya, penyelenggaraan International Summit pada 16-18 Desember 2010 di Jakarta. Lebih dari 50 ilmuwan diaspora diundang ke acara yang dibuka resmi oleh Wakil Presiden Boediono. Kegiatan ini menjadi peristiwa historis bagi pengakuan ilmuwan diaspora sebagai salah satu komponen bangsa oleh Pemerintah Indonesia. Sayangnya, kegiatan ini lebih bersifat seremonial dan tidak ada kegiatan lanjutan untuk menyinergikan potensi ilmuwan diaspora tersebut.
Kegiatan SCKD dalam tiga tahun terakhir memberi dampak positif bagi perkembangan organisasi (I-4) dalam menyinergikan potensi ilmuwan diaspora Indonesia di seluruh bagian dunia bagi pengembangan iptek dan sumber daya manusia pendidikan tinggi di Indonesia. Pendataan potensi ilmuwan diaspora Indonesia di luar negeri mulai dilakukan oleh I-4 bekerja sama dengan Atase Pendidikan dan Kebudayaan di tiap negara, misalnya AS, Jepang, Inggris Raya, dan Australia. Data ilmuwan ini menjadi dasar bagi kegiatan-kegiatan I-4 untuk menyinergikan potensi ilmuwan diaspora Indonesia dengan ilmuwan Indonesia di dalam negeri dalam upaya peningkatan sumber daya manusia dan riset di Indonesia.
Potensi ilmuwan diaspora
Potensi diaspora negara-negara lainnya, seperti China, India, Korea, dan Vietnam, telah lebih dari 10 tahun yang lalu bersinergi dengan pemerintah negaranya masing-masing. Potensi ilmuwan diaspora negara-negara tersebut yang tersebar di negara-negara maju telah lama diidentifikasi dan disinergikan dengan mitranya di negara asal masing-masing untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Indonesia perlu meniru kisah sukses ilmuwan diaspora China, India, Korea, dan Vietnam. Keahlian, sumber daya, dan jejaring yang dimiliki para ilmuwan diaspora yang bekerja di negara-negara maju digunakan sebaik-baiknya bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di negaranya masing-masing. Ilmuwan diaspora adalah komponen bangsa yang penting karena mereka mengerti potensi negara asalnya dan memiliki sumber daya dan jejaring dengan negara maju tempat mereka bekerja, yang dapat digunakan untuk kemajuan negara asalnya.
Prestasi ke-47 ilmuwan diaspora yang berpartisipasi dalam SCKD 2018 ini tentunya sangat membanggakan kita, di antaranya Irwandi Jaswir penerima King Faisal Prize 2018 dalam kategori Pelayanan terhadap Islam melalui risetnya tentang produk makanan halal; Teruna Siahaan, Aya and Takeru Higuchi Distinguished Professor dan Director of Global Health Center University of Kansas; serta Abidin Kusno, Director York Center for Asian Research, York University.
Prestasi mereka harus ditiru oleh generasi penerus Indonesia untuk belajar dan berkarya tanpa batas. Meskipun demikian, saat ini ilmuwan diaspora Indonesia masih di bawah diaspora negara-negara lainnya, seperti China, India, Korea, ataupun Vietnam, baik secara kualitas maupun proporsi kuantitas penduduk nasionalnya. Belum ada diaspora Indonesia yang mengajar dan berkarier di top universitas dunia, seperti Harvard University, MIT, University of Cambridge, ataupun University of Oxford. Kita memerlukan generasi penerus Indonesia yang bisa mengisi peluang di universitas-universitas top dunia tersebut, juga untuk terus mentransferkan ilmu dan pengalamannya bagi kemajuan Tanah Air seperti yang kita lakukan saat ini.
Hal lain yang perlu ditingkatkan adalah kesetaraan jender dalam ilmuwan diaspora Indonesia. Hal ini harus dijadikan hal yang tidak kalah pentingnya untuk segera diperbaiki. Para dosen di Indonesia perlu memberikan inspirasi kepada para mahasiswinya juga untuk berkarya tidak hanya di tingkat nasional, tapi juga di tingkat internasional.
Salah satu peserta SCKD 2018, Sastia Prama Putri, kini menjabat Asisten Profesor di School of Engineering, Osaka University. Di antara berderet prestasinya, termasuk L’Oreal UNESCO Award for Women in Science pada 2015. Penulis yakin banyak putri Indonesia ingin berkarya seperti Sastia Prama Putri.
Ke-47 ilmuwan diaspora Indonesia telah pulang ke kampus masing-masing. Mereka akan tetap bekerja dan bersinergi dengan para dosen PT di Indonesia. Kegiatan yang mereka rintis selama kunjungan dua harinya ke sejumlah PT di Indonesia akan dilanjutkan, seperti kerja sama riset, penulisan artikel riset bersama, pengembangan kurikulum, pembangunan pusat penelitian baru dan pengiriman mahasiswa master, doktor serta post-doktor ke kampus para ilmuwan diaspora yang tersebar di 11 negara tersebut. Kegiatan inilah yang perlu ditumbuhkembangkan di masa depan. Potensi ilmuwan diaspora perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan pembangunan iptek serta sumber daya PT di Indonesia.
Deden Rukmana Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional 2018-2020
Sumber: Kompas, 21 September 2018