Selama 30 tahun, Ibrahim mendampingi ratusan peneliti Indonesia dan asing di Leuser, Aceh. Pelbagai penelitian tentang tanaman dan binatang di daerah itu ternyata memerlukan bantuan Ibrahim, dalam pengamatan maupun pencatatan.
Ibrahim hanyalah pelajar lulusan SD. Kini, ia berusia 53 tahun. Kemauan dan ketekunannya turut dalam ratusan penelitian menciptakan ketakjuban dalam pengetahuan dan pengalaman hidup. Di hutan Leuser terdapat sekitar 1.000 jenis pohon. Ibrahim hapal semua nama pohon dalam bahasa lokal. Penamaan dengan bahasa Latin cuma sebagian dihapalkan. Ia pun menjadi “kamus pohon” bagi warga dan peneliti (Kompas, 9 Juni 2017).
Kita kagum atas kemampuan mengetahui nama dan perilaku tanaman meski tak wajib mengacu ke nama-nama berbahasa Latin. Ibrahim hidup dan besar di desa dan berpendidikan rendah, tak pernah mengenali keilmuan tinggi dengan belajar botani seperti para terpelajar di Indonesia, sejak awal abad XX. Dulu, murid-murid STOVIA mendapatkan pelajaran botani. Mereka belajar di kota tapi diharuskan mengerti pelbagai tanaman di Nusantara dan negeri-negeri asing. Botani dianggap penting dalam proses pembelajaran modern, sejak masa kolonial hingga masa kini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada abad XXI, Ibrahim justru muncul sebagai “kamus pohon”, mulai dari nama lokal dan Latin sampai ke perilaku. Sejak ratusan tahun silam, para peneliti atau sarjana asing berdatangan ke Nusantara tergoda khazanah tanaman di hutan-hutan. Mereka menghasillkan buku-buku babon, sumber pengetahuan bagi publik Eropa, Amerika, Asia, Australia, dan Afrika. Kita mengenang Raffles dan Wallace, peneliti dan dokumentator Nusantara meski agak “menepikan” peran pendamping-pendamping bumiputra.
KOMPAS/ ZULKARNAINI–Pemandangan hutan Leuser di Kabupaten Gayo Lues, Aceh, Sabtu (10/3/2018).
Hutan-hutan di Nusantara perlahan jadi pelajaran, perkuliahan, dan studi terpenting di universitas dan lembaga penelitian besar di dunia. Kita sering mendapatkan berita dan cerita tentang kekayaan botanik kita, sementara kita sendiri tampak tak mampu menyaingi mereka. Bukan hanya karena kurangnya fasilitas, dana, tapi juga ketekunan dan kemahiran teoritik dan laboratoris.
Tumbuhan Jadi ‘Modern’
Di buku berjudul Tetumbuhan, seri Pustaka Time Life, 1979, Fritz Went mengawali uraian ilmiah dengan membuka ingatan mendasar: “Tetumbuhan merupakan dasar piramida pangan untuk segala makhluk.” Pemahaman itu berlaku pada komunitas primitif sampai modern.
Di dunia primitif, seperti di rimba Amazon atau Kalimantan, suku-suku asli mengenali perilaku tetumbuhan tanpa harus memberi nama keilmuan seperti lagak manusia modern. Di rimba, mereka menamai dan mengerti ratusan pohon sebagai hal yang berkait dengan kehidupan mereka sehari-hari yang tentu saja tanpa tertib berpikir atau struktur ilmu seperti botani.
Kealamiahan itu berubah cepat saat bermunculan penemuan-penemuan dan ilmu-ilmu modern sejak abad XVII. Situasi itu mengakibatkan manusia semakin jauh dalam hubungan atau pengalaman bergaul dengan tetumbuhan. Mereka hidup di kota-kota, berjarak dari tetumbuhan atau pengetahuan sempat rimbun dari hutan-hutan.
Kesadaran keilmuan mulai agak terstruktur pada abad XVIII melalui botani sebagai ilmu pengetahuan untuk klasifikasi dan katalogisasi dan pemberian nama tetumbuhan. Nama-nama menggunakan bahasa Latin, bersaing dengan nama-nama “asli” atau lokal.
Sejak awal abad XX, botani itu pelajaran atau perkuliahan. Di Indonesia, kaum terpelajar pun harus mempelajari tetumbuhan mengacu ke pembakuan ilmu modern dari Barat. Pengetahuan dan pengalaman “asasi” sesuai realitas di Nusantara terpinggirkan dan hampir tak terserap dalam ilmu modern.
Sementara di desa-desa, dalam pengalaman hidup kaum tradisional, tetumbuhan tetap mengandung keberlimpahan makna dalam ritual, pengobatan, asmara, seni, pendidikan-pengajaran, dan tata sosial-kultural. Segala hal itu yang dengan segera dituduh kuno atau primitif oleh para murid di sekolah atau institusi keilmuan modern. Tetumbuhan seperti terbedakan secara baku dalam pendefinisian ilmu dan pengalaman-hidup alamiah.
Kita mungkin pantas membuat perbandingan dengan ulah Anne, tokoh dalam novel garapan Lucy Maud Montgomery berjudul Anne of Green Gables (1908). Bocah berusia 11 tahun, yatim piatu, melihat dengan takjub alam perdesaan.
Takjub meluap saat ia berimajinasi demi indah dan bahagia. Anne dipungut oleh keluarga Matthew dan Marilla, hidup di rumah sederhana tapi memiliki pekarangan dan hamparan kebun dengan pelbagai tetumbuhan. Anne selalu melihat dengan takjub dan girang berimajinasi untuk memberi nama-nama baru bagi sekian tanaman.
Ulah tanpa harus menuruti ilmu di sekolah tapi memberikan kejutan dan pemaknaan mendalam ketimbang hapalan-hapalan bersumber buku pelajaran. Anne berkata pada Merilla saat melihat tanaman-tanaman di ambang jendela: “Apakah Anda memberi mereka nama? Bisakah aku memberi nama kepada mereka? Bolehkah aku menamai Bony.”
Perkataan bocah itu lugu tapi mengusik kemapanan ilmu dan pengalaman perempuan tua. Tanggapan agak meremehkan dari Marilla: “Ya, Tuhan, aku tidak peduli. Tapi, apakah memberi nama pada tanaman itu masuk akal?”
Kita kini sudah kehilangan keluguan dan ketakjuban Anne dalam melihat tetumbuhan dan kemauan memberi nama-nama. Pemberian nama yang tidak metodologis tapi referensial merujuk pada kenyataan yang faktual. Membuat alam tidak menjadi asing, mengembalikan fitrahnya sebagai bagian organik dari kehidupan, dari diri kita, sebagai manusia sebagai masyarakat.
Kita mungkin merindukan menjadi Anne, bergaul bersama tetumbuhan tanpa tertib keilmuan. Berimajinasi dan keberanian memberi nama untuk menguak makna-makna baru, sebagai proses menciptakan kebahagiaan dan keinsafan atas keajaiban alam semesta. Keajaiban-Nya.
BANDUNG MAWARDI, Eseis, Pengasuh Bilik Literasi Solo
Sumber: Kompas, 20 Agustus 2018