Investasi Indonesia di bidang penelitian dan pengembangan terbilang rendah dibandingkan dengan negara lain di wilayah Asia Pasifik. Hal itu membuat Indonesia kurang terwakili di dunia ilmu pengetahuan, bahkan di level Asia sekalipun. Investasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan diperlukan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan di tengah persaingan Revolusi Industri 4.0.
Berdasarkan data Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) pada 2018, Indonesia hanya mengalokasikan 0,1 persen produk domestik bruto (PDB)-nya atau lebih kurang 2 miliar dollar AS untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Hal itu membuat Indonesia menjadi negara dengan investasi iptek terendah, di bawah Vietnam (0,4 persen) dan Thailand (0,5 persen). Data itu juga menunjukkan kurangnya jumlah peneliti di Indonesia, yaitu hanya ada 89 peneliti per 1 juta populasi.
Hal itu diingatkan Direktur UNESCO) Jakarta Shahbaz Khan. ”Sebagai salah satu negara terbesar di Asia Pasifik, Indonesia seharusnya mampu berinvestasi lebih besar pada bidang penelitian,” kata Shahbaz pada Seminar Kontribusi Ilmu Pengetahuan bagi Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SEEAP), Senin (30/7/2018), di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
PANDU WIYOGA UNTUK KOMPAS–Direktur Badan PBB yang menangani pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) Jakarta, Shahbaz Khan membacakan sambutannya untuk membuka Seminar Kontribusi Ilmu Pengetahuan bagi Pencapaian Tujuan Pembangunan berkelanjutan (SEEAP), di Jakarta, Senin (30/7/2018).
Sementara Korea Selatan, misalnya, saat ini menjadi negara dengan investasi penelitian dan pengembangan (litbang) iptek terbesar di dunia. Korsel mengalokasikan 4,3 persen PDB atau lebih kurang 73 miliar dollar AS guna pengembangan iptek. Tak kurang dari 78 persen dari jumlah dana itu datang dari dunia bisnis. Jumlah peneliti di Korsel juga jauh lebih banyak daripada Indonesia, yaitu 6.859 peneliti per 1 juta populasi.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sangat cepat perlu dibarengi dengan usaha untuk mengurangi disparitas. Pengembangan iptek yang terencana dengan baik akan membantu Indonesia untuk mensejahterakan rakyat sekaligus menjaga kelestarian alam.” ujar Shahbaz. Oleh karena itu, ia mendorong agar pemerintah mulai mempertimbangkan ilmu pengetahuan sebagai salah satu pilar pembangunan berkelanjutan.
Sekretaris Deputi ASEAN Bidang Sosial Budaya Vonghtep Arthakaivalvatee menambahkan, Indonesia dan beberapa negara di Asia Pasifik perlu serius melihat nilai penting iptek untuk pembangunan berkelanjutan. ”Penguasaan teknologi wajib diperjuangkan. Tanpa penguasaan teknologi, tak ada yang akan bertahan melewati Revolusi Industri 4.0,” ucapnya.
Tantangan
Berbagai masalah lingkungan yang timbul akibat pembangunan di Indonesia menunjukkan kurangnya koordinasi antara para peneliti dan pembuat kebijakan. Luasnya wilayah dan jumlah penduduk Indonesia yang banyak bisa jadi ancaman jika tidak terkelola dengan baik. Perubahan iklim, krisis air, krisis pangan, dan krisis energi adalah tantangan bagi Indonesia untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Arief Rachman, mengatakan, saat ini masih banyak peneliti Indonesia terpaku pada pencapaian akademis untuk kenaikan jabatan. Padahal, kontribusi ilmuwan kini dibutuhkan untuk menyusun kebijakan guna mengatasai soal terkait pembangunan berkelanjutan, misalnya disparitas. “Ilmuwan perlu didorong untuk menyaari bahawa kewajibannya yang utama adalah mengabdi pada bangsa,” ujarnya.
Sementara Deputi Geofisika Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Muhamad Sadly mengatakan, pemanfaatan data BMKG bisa dijadikan salah satu contoh keterlibatan ilmuwan dan ahli dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia. “Sebagian besar investasi pembangunan Indonesia berada di wilayah rawan gempa. Kini tantangannya bukan bagaimana mencari lokasi aman dari bencana, tetapi bagaimana membuat bangunan itu tahan bencana,” kata Sadly. (PANDU WIYOGA)–EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 31 Juli 2018