Bermodalkan data yang terkumpul dari jejaring sosial dan mesin peramban internet, toko daring bisa menawarkan apa saja sesuai dengan selera setiap individu. Jika sebatas menawarkan ayam goreng, kaus, atau tiket murah, tentu baik-baik saja. Namun, bagaimana jika dengan memanfaatkan data terkait pilihan politik, ideologi, pemikiran, dan keyakinan tiap individu, lalu menawarkan bacaan yang dianggap sepemikiran?
Akibatnya, tiap individu terus-menerus mengonsumsi pengetahuan atau berita yang condong mendukung keyakinan dan pendapatnya semata. Lambat laun pemikiran tiap individu semakin mengerucut ke pemikirannya sendiri, sementara peluang berdialog dengan pemikiran berbeda semakin kecil.
Jika Narcissus dalam mitologi menggilai ketampanannya sendiri, Narcissus di zaman digital ini menggilai pendapatnya sendiri. Tiap manusia dapat merasa lingkungannya selalu menyepakati pendapatnya, bahkan tiap individu secara tak sengaja mengonstruksi kebenaran versinya. Dengan bertambahnya hari, individu semakin bersikeras meyakini kebenaran pendapatnya sendiri dan sekaligus menganggap bahwa di luar itu salah dan tak penting. Ini yang disebut intellectual arrogance atau kecongkakan intelektual.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terhadap kehidupan bermasyarakat, pemanfaatan data dari jejaring sosial seperti di atas mengompori perkubuan ideologi, pilihan politik, dan keyakinan. Yang lebih runyam justru terhadap kehidupan kenegaraan karena perusahaan jasa konsultasi politik mampu menambang timbunan data terkait ideologi sampai kecenderungan politik masyarakat dari media sosial dan lalu memanfaatkannya guna secara strategis memengaruhi pemilih dengan membombardirkan informasi yang menguntungkan kliennya. Tindakan ini berjalan dengan strategis, terus-menerus, dan dalam skala yang masif.
Maka, sulit melabel diri kita netral hari ini. Siapa saja tak ada jaminan bebas dari pengaruh kepentingan pihak lain. Ini sesungguhnya tak masalah jika mekanisme penyeimbang atau penangkal kecongkakan intelektual tadi—yang disebut intellectual humility (kesahajaan intelektual)—juga terawat baik.
Kesahajaan intelektual
Kesahajaan intelektual diartikan sebagai kumpulan kesadaran seseorang yang ditujukan ke diri sendiri dalam mengakui bahwa pemikirannya mungkin salah mengingat bahwa pengetahuannya sesungguhnya tak sebanyak yang dipercayai, serta memahami bahwa kemampuan berpikirnya terbatas dan pendapatnya mungkin tak berimbang (Lynch, 2017).
Dengan menyadari keterbatasan pengetahuannya, individu menjadi lebih terbuka terhadap pemikiran berbeda. Karena itu, individu dengan kesahajaan intelektual tinggi dipercaya lebih mudah belajar hal baru, bahkan yang mungkin bertentangan dengan pengetahuan sebelumnya. Ini alasannya Google menuntut kesahajaan intelektual dalam diri pelamar. ”Tanpa kesahajaan intelektual, seseorang tak akan dapat belajar,” kata Lazslo Bock, bagian perekrutan di Google.
Kecuali itu, individu dengan kesahajaan intelektual tinggi tak akan mudah menghakimi orang lain berdasar keyakinannya (Leary et al, 2017). Dengan kehidupan global nirbatas sekarang yang sarat benturan berbagai perbedaan seperti nasionalitas, suku, keyakinan, ideologi, kelas sosial, dan budaya, kesahajaan intelektual menjadi semakin relevan. Kesadaran ini merupakan bekal penting bagi pelajar dalam studi, berkarier, dan bermasyarakat sebagai warga republik sekaligus warga dunia.
Pesan kesahajaan
Sebenarnya, tiap zaman menggaungkan pesan kesahajaan. Lebih dari dua milenia lalu, karena menyadari kemungkinan dominasi pemikirannya, Socrates menyebut dirinya sekadar sebagai fasilitator saat mengajar muridnya.
Belasan abad kemudian, Revolusi Copernicus memberikan sentilan pada peradaban sebelumnya yang selalu menganggap bumi dan manusia sebagai pusat semesta. Lalu, di abad ke-20, filsuf, matematikawan, dan pegiat politik Bertrand Russell mengingatkan, ”Jangan pernah merasa yakin mutlak akan segala hal.”
Demikian juga dalam spiritualisme, Dalai Lama dan Paus Fransiskus mengingatkan kesahajaan dalam berkeyakinan. Dalai Lama bahkan mengingatkan adanya kemungkinan keliru klaim keyakinannya sehingga dibutuhkan dialog berkelanjutan dengan sains. Sementara di Tanah Air, Gus Mus dan Quraish Shihab menggaungkan kesahajaan intelektual, khususnya mengingatkan untuk menjauhkan dari perasaan paling berpengetahuan dan paling benar (Kompas, 22 Juni 2017).
Sebagai catatan kecil, kata ”sahaja” dalam bahasa Sanskerta bermakna ’alami, asli, atau apa adanya’. Tidak meninggikan diri, tidak juga merendahkan diri.
Kata ”sahaja” oleh karena itu justru sangat cocok dengan makna intellectual humility. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, intellectual humility kadang diringkas sebagai ”kesahajaan” saja.
Toleransi terhadap kekaburan
Dalam studi (Leary et al, 2017) ditemukan bahwa kesahajaan intelektual berkorelasi positif dengan sikap keterbukaan, keingintahuan, dan khususnya tolerance of ambiguity (toleransi terhadap kekaburan atau dapat menerima gagasan bermakna ganda). Sikap terakhir ini mirip dengan tolerance of uncertainty (toleransi terhadap ketakpastian), tetapi berbeda, khususnya dalam waktunya.
Seseorang yang intoleran terhadap kekaburan diartikan sebagai orang yang sulit menerima situasi yang tidak jelas yang dihadapi hari ini. Adapun seseorang yang intoleran terhadap ketidakpastian diartikan sebagai orang yang sulit menerima bayangan situasi yang tidak pasti di masa depan.
Mengasosiasikan kesahajaan intelektual dengan toleransi terhadap kekaburan juga relevan mengingat ada temuan bahwa pelaku dan simpatisan kelompok otoriterisme serta militanisme (kekerasan maupun tanpa kekerasan) sama-sama intoleran dengan kekaburan (Gambetta & Hertog, 2016). Sebaliknya, anggota kelompok tersebut sama- sama mengkhayalkan sebuah dunia yang sepenuhnya teratur, terstruktur, serta dengan segala hal yang serba pasti dan tanpa keraguan.
Filsuf dan pemimpin Frankfurt School of Critical Theory, Theodor Adorno, pada tahun 1950 berkata bahwa sikap intoleransi terhadap kekaburan merupakan tanda utama kepribadian otoriter. Mengagumkannya, beliau dan rekan-rekannya sudah mewanti-wanti bahayanya ”industri budaya” (istilah mereka) yang menjiplak metode fasisme dalam menghipnotis massa.
Jika saja Adorno masih hidup, mungkin beliau kaget bagaimana industri budaya yang dikhawatirkannya justru menjadi cara berpolitik populer di abad ke-21 ini.
Lalu, apakah pembelajaran keilmuan eksakta memang dapat mengubah murid (dan gurunya) menjadi intoleran terhadap kekaburan atau ketakpastian?
Pertanyaan ini muncul karena ada sejumlah tudingan dari dalam negeri ataupun luar negeri bahwa banyak pelajar/lulusan dari rumpun ilmu eksakta dan teknik rentan terlibat kelompok militanisme. Ditambah lagi, ditemukan bahwa para militan di berbagai negara memiliki kesamaan, antara lain intoleran terhadap kekaburan (Idem, 2016).
Gambetta bersama Hertog menjelaskan bahwa hasrat anggota kelompok tadi mengidamkan kepastian terpelihara oleh keilmuan yang sanggup memberikan jawaban konkret, pasti, dan lugas. Sebaliknya, keilmuan sosial dan kemanusiaan lebih berkutat dalam ketidakpastian dan kekaburan.
Cara pengajaran
Namun, Gambetta dan Hertog sepertinya mengabaikan faktor cara pengajarannya. Memang keilmuan apa saja tentu berdampak pada diri murid dan pengajarnya, tetapi sikap yang berkembang lebih dipengaruhi oleh cara pengajarannya serta proses interaksi sosial di kelas.
”Ini rumus luas segitiga dan ini contoh pengerjaan soalnya. Jika sudah dibaca, kerjakan 20 soal latihan berikut.”
Jika pengajaran matematika, ilmu alam, atau apa saja sehari-hari seperti itu, bukankah otoriterisme dan kepatuhan yang sedang dipupuk pada diri murid? Boleh jadi, gambaran pengajaran seperti ini yang ada di benak penggagas Kurikulum 2013, yang bertaburan kata ”patuh”.
Pengajaran ”dogmatis” menjadikan pengetahuan dianggap sudah tuntas, sudah tak ada perkembangan lagi. Guru menjadi sumber pengetahuan yang pasti benar dan memiliki otoritas membenarkan. Menentang pendapat guru dianggap tak hormat dan tak pantas. Bahkan, cara mengerjakan soal yang diajarkan guru diimani sebagai yang terbaik sekaligus terbenar.
Maka, kelas menjadi seragam dalam berpikir. Taktik yang mungkin mewabah: ”Tak perlulah memikirkan cara lain. Bisa jadi, jika menggunakan cara menjawab yang berbeda, akan disalahkan guru.”
Akibatnya, kepatuhan merupakan pilihan norma paling aman. Sikap memercayai dan patuh niralasan semakin merasuk. Sejalan dengan itu, akan tertanam pula anggapan diri sudah mengetahui kebenaran yang tunggal sekaligus mutlak dan tak ada kebenaran selain yang diketahui dari gurunya.
Guna mengimbanginya, kesajahaan intelektual perlu dirawat di kelas. Pembelajaran matematika, IPA, teknologi, atau apa saja perlu menyinggung persepsi sosial serta kemanusiaan, bahkan sampai kepada keindahan, kelucuan, serta ironi terkait keilmuannya.
Juga, kegiatan akademik lintas keilmuan bermanfaat bagi perkembangan keilmuan serta kesahajaan pelajar dan pengajar. Iklim akademik seperti itu akan memperkaya pengalaman pelajar berpikir kompleks dengan ketidakpastian, ketidakteraturan, dan kemajemukan penafsiran.
Iwan Pranoto Guru Besar Matematika ITB
Sumber: Kompas, 16 Juli 2018