Kebijakan merger perguruan tinggi hendaknya tidak bersifat perintah dari atas ke bawah. Sebaiknya ada kajian kelayakan, visi dan misi, serta kemungkinan perguruan tinggi yang bermerger tersebut menambah program studi sesuai peta kebutuhan pendidikan tinggi.
“Kebijakan merger (PT) dan moratorium PT sudah keluar sejak tahun 2017. Dalam pelaksanaannya butuh sistem pengawasan yang ketat. Bukan asal merger hanya karena alasan efisiensi di satu wilayah akibat terdapat terlalu banyak PT,” kata Mantan Ketua Asosiasi PT Swasta Edy Suandi Hamid saat dihubungi di Yogyakarta, Rabu (11/4/2018).
Wakil Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Muhammadiyah ini mengemukakan bahwa permasalahan jumlah PT sangat pelik. Di satu sisi, data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti) menunjukkan Indonesia memiliki 4.579 PT. Jumlah ini dinilai terlalu banyak bagi Indonesia yang berpenduduk 260 juta jiwa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Dari tahun 2008-2014 apabila dirata-ratakan, setiap dua hari bertambah satu PT baru. Izin mendirikan PT relatif mudah, akan tetapi tidak diikuti pengawasan mutu yang ketat,” ujar Edy. Hal ini mengakibatkan munculnya PT-PT kecil yang memiliki mahasiswa kurang dari 100 orang.
Tidak sedikit pula PT yang “sakit” secara mutu perkuliahan. Pemerintah maupun kopertis terkesan baru turun tangan ketika PT tersebut sudah mengalami sakit kronis dan melakukan pelanggaran parah. Ujungnya, ketika PT tersebut tidak bisa dibina dan disehatkan, harus ditutup.
Ia menilai, kebijakan merger PT merupakan salah satu solusi. Syaratnya ialah merger tersebut tidak dipaksa oleh pemerintah. Setiap PT memiliki visi dan misi berbeda walaupun bernaung di bawah yayasan yang sama. Sebaiknya, pemerintah jangan terpaku target penurunan jumlah PT ataupun jumlah pemergeran PT karena berisiko gegabah dalam melaksanakan kebijakan.
“Dalam memberi izin pendirian PT baru juga harus saksama. Jangan mentang-mentang PT baru tersebut masuk ke dalam golongan afirmasi, izin dipermudah tanpa penjaminan mutu yang ketat,” tuturnya.
Prioritaskan vokasi
Ditemui pada kesempatan berbeda, Direktur Jenderal Kelembagaan Kemenristek dan Dikti Patdono Suwignjo menjelaskan, pihaknya menerima 50 proposal pemergeran PT sejak tahun 2017. Sebanyak 15 proposal disetujui untuk dilaksanakan. PT-PT merger tersebut umumnya adalah PT swasta yang berlokasi di Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara.
“Pemerintah menargetkan pada tahun 2019 ada penurunan jumlah PT hingga 1.000 lembaga. Tujuannya untuk memastikan PT-PT yang beroperasi sehat dan bermutu,” tutur Patdono. Cara mengendalikan jumlah tersebut selain dengan merger ialah moratorium selektif.
Patdono menerangkan, moratorium dikhususkan untuk pendirian PT ilmu non terapan. Adapun PT spesialis vokasi ataupun ilmu terapan seperti politeknik, institut teknologi, dan sekolah tinggi teknologi dijadikan prioritas. Itu pun dibatasi khusus bidang sains, teknologi, keinsinyuran, dan matematika. Bahkan PT afirmasi di wilayah terdepan, terluar, dan terpencil juga harus berupa PT vokasi di empat bidang itu.
Indonesia hanya memiliki 266 politeknik sains, teknologi, keinsinyuran, dan matematika. Angka ini setara 5,4 persen dari total jumlah PT. “Rasio yang sehat agar bangsa bisa maju ialah 50 persen PT harus merupakan lembaga pendidikan vokasi. Kalau dihitung-hitung, butuh 200 tahun bagi Indonesia untuk mencapai jumlah tersebut disertai penjaminan mutu,” katanya.
Ia menambahkan, apabila ada yayasan yang ingin mendirikan PT baru di luar bidang vokasi, disarankan agar mengambil alih PT yang sedang sakit dan membenahinya. Dengan demikian, tidak perlu mendirikan PT baru dan PT yang sudah ada bisa diselamatkan. (DNE)–LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 12 April 2018