Lahan pertanian yang semakin terbatas dengan iklim yang tak menentu menjadi tantangan tersendiri bagi periset Indonesia untuk berinovasi. Inovasi diharapkan tidak hanya mampu menggenjot produksi pertanian, tetapi juga tepat guna bagi petani.
Tiga ilmuwan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) yang dikukuhkan sebagai profesor riset, Senin (9/4/2018), di kompleks kantor Balitbangtan di Bogor, Jawa Barat, mampu menjawab tantangan itu. Mereka adalah Prof Sahardi Mulia dari bidang budidaya tanaman, Prof Hasil Sembiring dari bidang hidrologi dan konservasi tanah, serta Prof I Made Jana Mejaya dari bidang pemuliaan dan genetika tanaman.
Dalam orasi pengukuhan profesor riset, mereka mempresentasikan hasil riset berdasarkan bidang keilmuan masing-masing. Riset Sahardi berjudul ”Inovasi Teknologi Budidaya Padi Berbasis Tanam Benih Langsung (Tabela) Super Mendukung Swasembada Pangan Berkelanjutan”, riset Mejaya berjudul ”Pengembangan Varietas Unggul Jagung Hibrida Adaptif Lahan Kering Mendukung Swasembada Jagung Berkelanjutan”, sementara riset Sembiring berjudul ”Inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Berbasis Konservasi Sumber Daya Tanah dan Air Menuju Sistem Pertanian Presisi”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sembiring mengatakan, konversi lahan merupakan ancaman serius dalam pencapaian kemandirian pangan. Selain itu, ada kendala karena keterbatasan sumber daya air, keterbatasan ketersediaan lahan, dan peningkatan populasi hama. Atas dasar itulah dia meriset lahan pertanian dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dalam upaya peningkatan produktivitas dan produksi padi.
KOMPAS/ADI SUCIPTO KISSWARA–Petani di Klagensrampat, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur Jumat (1/9/2017) sedang “ndaut” (mencabuti benih dipesemaian untuk segera ditanam). Sebagian petani setempat masih memegang teguh “royongan”, artinya mengerjakan sawah petani lain secara bergiliran terutama ndaut untuk menekan biaya produksi. Ongkos “ndaut” per orang mencapai Rp 75.000 hinggga Rp 80.000 per orang. Dulu “royongan” juga untuk masa tanam dan masa panen.
Ada empat komponen teknologi dengan pendekatan PTT, yakni varietas unggul spesifik lokasi, sistem tanam ”jajar legowo” dengan perbandingan jarak 2:1, pemupukan berimbang, dan pengendalian hama terpadu. Dalam hal ini, petani peserta PTT memperoleh hasil padi 20 persen lebih tinggi dengan pendapatan 35 persen lebih banyak dibandingkan dengan petani non-PTT.
Sahardi melihat permasalahan pengembangan tanaman padi selama ini terjadi karena kurangnya tenaga kerja di sektor pertanian ditambah upah buruh tani dan harga sarana produksi yang semakin mahal. Ia pun menawarkan penerapan inovasi teknologi budidaya padi tanam benih langsung (Tabela) Super.
Tabela Super adalah cara tanaman padi tanpa melalui persemaian dan pemindahan bibit. Benih langsung ditabur di lahan yang telah diolah dengan baik, didukung dengan teknologi pertanian modern, seperti varietas unggul baru potensi hasil tinggi, pemupukan berimbang, pupuk hayati (seed treatment), biodekomposer, dan pengendalian OPT secara terpadu
Sementara Mejaya mengembangkan varietas unggul jagung hibrida yang adaptif di lahan kering. ”Pengembangan varietas itu penting melihat penggunaan lahan kering yang ditanami jagung baru mencapai 3,17 juta hektar (18,6 persen) dari total 17,03 juta hektar lahan kering,” katanya.
Kepala Balitbangtan Muhammad Syakir mengatakan, tantangan di sektor pertanian semakin berat sehingga periset harus mampu terus berinovasi untuk mengikuti perkembangan yang ada. ”Yang dilakukan ketiga profesor riset ini sangat relevan mengisi target swasembada kita, padi, jagung, dan kedelai, secara permanen di tengah kebutuhan yang semakin meningkat,” ujar Syakir. (DD18)
Sumber: Kompas, 10 April 2018