Kehidupan Reza Novianto (26) tidak bisa dibilang mulus. Pendidikan dasar formalnya hanya sampai tingkat SMP. Namun, berkat ketekunan dan keuletannya, dia berhasil menjadi mahasiswa di Program Studi Kriminologi Universitas Indonesia. Semua kebutuhan kuliah ia biayai dari hasil keringat sendiri.
Kalau saya enggak bekerja, ya enggak bisa membiayai hidup,” kata Reza ketika ditemui di sela-sela kuliahnya di Depok, Kamis (29/3/2018). Sambil menyeruput es cokelat, mahasiswa semester VI itu tampak segar. Padahal, ia baru selesai bekerja pada pukul 02.00. Setelah itu, ia harus mengendarai sepeda motor untuk pulang ke rumah yang berjarak 25 kilometer dari tempat kerjanya.
Reza sudah tidak punya ayah dan ibu. Ia dibesarkan oleh neneknya di Pamulang, Tangerang Selatan. Sang nenek juga bukan orang berada sehingga hidup mereka berdua ditopang oleh uang kiriman yang tidak seberapa dari paman dan bibi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kondisi keuangan yang pahit mulai dirasakan Reza semasa duduk di bangku SMP. Setelah Reza menerima ijazah kelulusan SMP, neneknya memanggil dan mengatakan tidak bisa membiayai pendidikannya ke tingkat SMA. ”Saya sedih dan marah, apalagi di sekolah saya termasuk siswa berprestasi,” ujarnya.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Reza Novianto
Tidak mau menganggur, Reza ikut dengan salah satu kakak sepupu yang bekerja di rumah produksi sinetron. Di sana, ia menjadi pesuruh yang lama-kelamaan sering dimintai tolong untuk menyunting rekaman video. Sejak saat itu, Reza menemukan bahwa ia ternyata terampil dalam menyunting gambar. Upah yang ia terima digunakan untuk membiayai hidup bersama neneknya.
Reza bekerja di rumah produksi itu hingga berusia 23 tahun.
Ia sadar jika hanya bermodal ijazah SMP tidak akan bisa meniti karier ataupun mendapat pekerjaan berupah layak. Akhirnya, sambil bekerja, ia juga mengikuti kelas malam Kejar Paket C. Setelah itu, ia memberanikan diri mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri.
”Awalnya saya enggak pede bakalan diterima. Eh, ternyata lulus, di jurusan yang saya suka pula,” kata Reza yang memilih jurusan kriminologi karena suka menonton film detektif.
Ketika lulus masuk UI, Reza sempat cemas tidak bisa membayar uang kuliah. Beasiswa Bidikmisi dari pemerintah mensyaratkan usia maksimum di semester I adalah 21 tahun. Padahal, usia Reza di kala itu sudah 24 tahun. Ia bahkan lebih tua daripada seniornya di kampus. Untungnya, di UI ada Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan. Dari jumlah uang kuliah Rp 5 juta per semester, Reza hanya diminta membayar Rp 500.000.
Untuk memenuhi biaya tersebut, Reza harus bekerja. Ia diterima sebagai tenaga alih daya di sebuah stasiun televisi swasta. Setiap hari, Reza mengikuti kuliah pada pukul 08.00-16.30. Setelah itu, dari Depok ia memacu sepeda motor ke Jakarta Barat untuk kerja pukul 18.00-02.00. ”Susah sih, tapi dibawa enak aja,” katanya terkekeh.
Tentang rencana selanjutnya, Reza berharap bisa meneruskan kuliah ke jenjang S-2 bidang kriminologi. Cita-citanya bisa diterima di Universitas Frankfurt, Jerman, atau di Universitas Chicago, Amerika Serikat.
Kisah serupa dialami Faisal Khairudin (22), mahasiswa LPKIA Bandung. Ia tak bisa mengandalkan orangtua untuk membiayai kuliah. Sejak SMK, dia sudah mencari uang sendiri dengan menyediakan jasa servis komputer dan usaha fotokopi. Dia mampu memperbaiki komputer karena di SMK mengambil bidang teknik komputer jaringan dan pernah magang di toko komputer.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Sejumlah mahasiswa berdiskusi di lobi kampus Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Senin (19/3/2018). Sebagian mahasiswa harus bekerja di luar jam kuliah demi menutupi biaya pendidikan.
”Saya memang ingin langsung kuliah ketika lulus. Kebetulan saya dapat kerja di bagian administrasi di perusahaan distributor. Saya nekat daftar kuliah sambil kerja di sebuah perguruan tinggi swasta,” ujar Faisal.
Seiring berjalannya waktu, gaji yang diterima Faisal tidak cukup untuk biaya kuliah dan biaya hidup. Dengan berat hati, pada Januari 2014, ia melepas kuliahnya yang berlangsung hampir satu semester agar bisa fokus mengumpulkan uang.
Justru saat menghadapi krisis hidup di usia muda, keinginan untuk kembali kuliah tetap tinggi. Faisal memutar otak agar bisa bekerja dengan pendapatan yang cukup untuk biaya kuliah dan hidup. Bisnis dalam jaringan (online) ternyata jadi kemujuran Faisal di tengah jalan buntu.
”Saya cuma punya tekad ingin kuliah reguler, tetapi mempunyai pendapatan pasif. Di tahun 2015, saya mencoba berdagang online yang mencakup seluruh Indonesia. Alhamdulillah, bisnis online saya bersinar sehingga saya punya karyawan lima orang. Saya pun masuk kuliah lagi di bidang administrasi bisnis di Politeknik LPKIA di Bandung,” tuturnya.
Menjalani kuliah sambil bisnis tak semudah yang dibayangkan. Ia mengatakan sering kurang tidur dan memanfaatkan jatah absen maksimal tiga kali per mata kuliah. Kegigihannya berbuah manis. Meski harus gonta-ganti penjualan daring, dia tetap eksis. Pertama kali berjualan jam tangan daring, omzetnya bisa mencapai Rp 5 juta-Rp 10 juta per hari.
”Saya bertekad harus selesai kuliah. Meskipun terasa berat, saya bangga pada diri saya karena mampu membiayai kuliah dan hidup sendiri, tidak membebani orangtua,” ujar Faisal.
Susah kuliah
Data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menunjukkan, hanya 33,4 persen penduduk Indonesia usia 19-23 tahun yang bisa mengakses bangku pendidikan. Sebanyak 62 persen dari jumlah itu berasal dari golongan 20 persen terkaya.
Adapun 10 persen mahasiswa berasal dari golongan 20 persen termiskin demografi Indonesia. Mereka sangat terbantu oleh beasiswa Bidikmisi. ”Harus diperhatikan bahwa kelas menengah dan menengah-bawah ternyata masih sukar mengakses pendidikan tinggi,” kata Direktur Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Amich Alhumami.
Menurut dia, pemberian kredit pinjaman lunak untuk mahasiswa merupakan salah satu alternatif solusi. Syaratnya, pemerintah bisa memiliki integrasi data yang akurat, transparansi pemberian pinjaman, dan komitmen untuk tidak mempersulit mahasiswa.
Meskipun begitu, wacana ini masih dipandang skeptis oleh mahasiswa. Mereka mengkhawatirkan jumlah bunga serta jangka waktu pembayaran cicilan. Bahkan ada mahasiswa yang cemas, adanya kredit lunak kelak berisiko membuat perguruan tinggi menaikkan uang kuliah.(LARASWATI ARIADNE ANWAR/ESTER LINCE NAPITUPULU)–LARASWATI ARIADNE ANWAR / ESTER LINCE NAPITUPULU
Sumber: Kompas, 1 April 2018