Bagi bangsa-bangsa Timur, banyak tidur dianggap sebagai kemalasan dan penumpul pikiran. Akibatnya, makin sedikit tidur dianggap baik dan produktif. Padahal tidak cukupnya waktu tidur bisa memunculkan banyak masalah kesehatan fisik, pengendalian emosi, dan kemampuan berpikir.
Jam menunjukkan pukul 01.30 WIB, Rabu (14/3). Lalu lintas di Jalan Rawa Belong, Jakarta Barat yang merupakan kawasan pendidikan masih cukup ramai. Di beberapa minimarket 24 jam, pengunjung keluar masuk. Sejumlah orang pun masih duduk di warung makan menikmati hidangannya.
Beberapa pemuda beransel di pundak berjalan terburu-buru sambil membawa buku tebal. Sementara dari ujung jalan lain, dua pemuda berkaus bola yang tampak berkeringat berboncengan mengendarai motor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di pinggiran Jakarta, suasana pun sama. Di jalan-jalan utama perkampungan, seperti di Jalan Ceger Raya, Tangerang Selatan, terang lampu sejumlah warung makan, minimarket, toko buah dan pedagang tas lebih menyilaukan dibanding lampu jalanan.
Di jalan perkampungan, banyak toko kelontong atau toko beras yang masih buka meski sepi pembeli. Suasana cukup ramai ada di sejumlah warung internet dan arena permainan gim daring. Sementara di sejumlah sudut jalan, penjaga malam duduk-duduk berkerumun mengobrol sambil bermain kartu.
KOMPAS/AGUS SUSANTO–Aktivitas pasar tradisional Pulogadung, Jakarta, Timur, Minggu (30/7/2017). Pasar tradisional yang menjajakan berbagai sayur mayur dan aneka kebutuhan dapur umumnya mulai aktif selepas tengah malam hingga menjelang Matahari terbit.
Suasana kota yang hidup 24 jam bukan hanya ada di Jakarta, namun di banyak kota besar. Jika dulu aktivitas dinihari berpusat di pasar-pasar tradisional yang ramai mulai tengah malam hingga menjelang fajar, kini suasana perkampungan padat pun tak kalah hidup.
Di perumahan meski terlihat gelap di dalamnya, tak semua penghuninya tertidur lelap. Mata Tirta (40), warga Pondok Aren Tangerang Selatan masih terbuka meski badannya rebah di tempat tidur. Tangannya belum lepas dari gawai. Karyawan swasta itu memang terbiasa tidur menjelang subuh dan bangun menjelang tengah hari.
Bias produktif
Di banyak negara Asia, kota yang hidup 24 jam dianggap sebagai tanda kemajuan. Kegiatan ekonomi yang masih berjalan hingga tengah malam dianggap sebagai masyarakat produktif.
“Dalam budaya Timur, banyak tidur dianggap pemalas,” kata dokter praktisi kesehatan tidur di Snoring & Sleep Disorder Clinic (Klinik Mendengkur dan Gangguan Tidur), Pondok Indah, Jakarta Andreas Prasadja, Selasa (13/3).
Tidur bukanlah kemalasan. Tidur merupakan mekanisme tubuh untuk meregenerasi sel-sel dan memulihkan memori otak. Pentingnya tidur sama pentingnya dengan pola makan sehat dan olahraga teratur.
Besarnya manfaat tidur itu belum jadi perhatian masyarakat dan pemerintah. Para ahli kesehatan tidur sepakat orang dewasa butuh tidur 7-9 jam sehari, sementara anak dan remaja butuh lebih lama lagi.
Namun jumlah rata-rata waktu tidur bangsa-bangsa Timur, kurang dari kebutuhan. Pada 2014, warga perkotaan Asia Timur, seperti Tokyo dan Seoul, tidur sekitar 5-6 jam. Di Asia Tenggara, seperti Singapura dan Kuala Lumpur, tidur 6-7 jam. Bangsa-bangsa Barat di Eropa, Australia maupun Amerika Serikat tidur lebih 7 jam sehari.
Karena itu, dalam peringatan Hari Tidur Sedunia yang tahun ini yang jatuh pada Jumat (16/3), pegiat kesehatan tidur mengingatkan kembali pentingnya tidur yang cukup dan sesuai irama sirkadian tubuh.
Hari Tidur Sedunia diperingati setiap Jumat terakhir sebelum Matahari berada di titik musim semi (vernal equinox) antara 19-21 Maret.
Pola tidur
Evolusi membentuk irama sirkadian tubuh hingga membuat manusia aktif saat hari terang dan istirahat saat gelap. Dari irama sirkadian itu, manusia harusnya tidur pukul 21.00-22.00, saat tubuh mengeluarkan hormon melatonin yang mengatur siklus tidur harian dan bangun pukul 05.00-06.00, sebelum tekanan darah naik.
Untuk anak remaja dan dewasa muda kondisinya berbeda. Kelompok populasi ini biasanya masih aktif saat anak dan orang dewasa sudah mulai mengantuk. Mereka umumnya baru mengantuk menjelang atau setelah lewat tengah malam. Konsekuensinya, mereka akan bangun lebih siang.
Namun pola tidur manusia itu berubah sejak Thomas Alva Edison (1847-1931) menemukan bola lampu. Tubuh manusia dipaksa aktif malam hari untuk alasan ekonomi hingga akhirnya muncul sistem kerja sif dan kerja lembur. Banyaknya pekerjaan rumah juga membuat banyak pelajar terjaga hingga larut malam.
“Jam kerja manusia bergeser, tetapi jam biologisnya masih seperti irama sirkadian nenek moyangnya saat bola lampu belum ditemukan,” kata Andreas.
Perubahan pola kerja dan aktivitas manusia serta bertambahnya tuntutan hidup yang memicu stres membuat pola tidur berubah.
Bukan hanya waktu tidur bergeser, tapi jam tidur pun berkurang. Sebagian orang sulit memulai tidur, sedangkan yang lain mudah terbangun dari tidur dan sulit tidur kembali.
Awam menyebut semua gejala itu sebagai insomnia. Namun Andreas mengingatkan insomnia hanya gejala gangguan tidur, sementara penyakit tidurnya butuh diagnosis lanjut.
Apa yang masyarakat klaim sebagai insomnia sejatinya bisa jadi gangguan tidur-bangun irama sirkadian (circadian rhythm sleep-wake disorders). Bentuk gangguan irama sirkadian yang umum adalah jet lag, perubahan pola tidur akibat kerja sif, hingga waktu tidur-bangun yang lebih lambat atau lebih maju.
Selain pergeseran pola tidur dan aktivitas manusia, kurang tidur juga bisa disebabkan oleh sistem tata kota yang buruk.
Di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), banyak pekerja yang bekerja di Jakarta tapi tinggal di luar Jakarta harus berangkat dari rumah sekitar pukul 04.00-05.00 agar tidak terlambat sampai kantor. Padahal, mereka baru sampai di rumah pukul 20.00-23.00.
Dengan memperhitungkan waktu rileks menjelang tidur dan persiapan sebelum berangkat kerja, hampir bisa dipastikan jam tidur mereka sangat kurang. Tidak heran jika kemudian mereka memilih tidur di angkutan umum atau di kendaraan pribadi yang dikemudikan sopir pribadi.
Pola tidur seperti itu sejatinya keliru karena karena kurang bisa memanfaatkan kesehatan tidur mengingat hormon-hormon tertentu dikeluarkan tubuh saat jam tidur malam. Namun demi mengejar kecukupan waktu tidur, hal itu secara sosial sering dianggap wajar.
Berbagai gangguan tidur bisa memicu berbagai penyakit fisik, mulai kegemukan, gangguan metabolik yang membuat gula darah meningkat hingga menyebabkan diabetes melitus, hingga menurunnya sistem kekebalan tubuh karena sistem imun tubuh bekerja optimal saat tidur.
Kurang tidur juga meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, atau gangguan fungsi napas. “Bahkan, impotensi pada pria juga berkaitan dengan kecukupan dan kualitas tidur,” tambah Andreas.
Gangguan mental
Apapun gangguan tidurnya, umumnya memicu gangguan mental yang berdampak pada banyak hal.
Psikolog klinis di Konsultan Psikologi Keara Jakarta, Aurora Lumbantoruan mengatakan,”50 persen orang dengan gangguan tidur punya gangguan mental.”
Gangguan mental yang paling umum terjadi adalah meningkatnya reaksi emosional sehingga menanggapi sesuatu yang negatif berlebihan. Kondisi itu membuat persoalan sepele dan sederhana akhirnya menjadi persoalan yang kompleks, rumit dan melebar ke banyak persoalan baru. “Orang menyebut jadi lebay,” tambahnya.
Kurangnya tidur juga bisa meningkatkan peluang depresi yang membuat tidak proporsional saat mempersepsikan sesuatu. Semua itu membuat masyarakat mudah emosi dan marah.
Ketidakstabilan emosi itu akhirnya justru akan mengurangi kualitas hidup karena turunnya kepuasan hidup dan kesehatan. Meningkatnya stres juga menaikkan kerentanan dan memperparah penyakit fisik.
Produktivitas pun akan berkurang karena berkurangnya konsentrasi dan lambatnya otak memproses informasi. “Risiko kecelakaan kerja atau berkendara pun meningkat karena kewaspadaan dan kecepatan reaksi berkurang,” katanya.
Kurangnya tidur yang cukup mudah dilihat dari munculnya kantuk berat, bahkan tertidur saat jam kerja.
Tanpa disadari, kondisi ini mudah ditemukan di Indonesia, mulai dari rapat-rapat di Dewan Perwakilan Rakyat hingga di perkantoran.
Belum lagi kecelakaan lalu lintas yang dipicu hanya gara-gara pengemudi mengantuk. Banyak korban tewas sia-sia atau mengalami cacat seumur hidup hanya gara-gara abainya pengemudi untuk menjaga waktu dan kualitas tidurnya yang sangat memengaruhi konsentrasi berkendara.
Besarnya dampak ekonomi itu membuat kesehatan tidur perlu jadi perhatian. Sistem kerja, jam sekolah, sistem transportasi hingga tata kota perlu memerhatikan kesehatan tidur. Tidur tak bisa lagi dipandang sebagai kemalasan karena tidur yang cukup dan berkualitas sejatinya justru bisa mendorong produktivitas manusia dan pembangunan ekonomi.–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 16 Maret 2018