Jumlah pengguna internet Indonesia yang meningkat di tahun 2017 dibayangi risiko kejahatan siber. Peningkatan penetrasi internet ternyata berbanding lurus dengan jumlah kasus kejahatan siber. Literasi digital perlu ditingkatkan agar para pengguna lebih bijak mengakses internet.
Pengamat keamanan siber dan Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja di Jakarta, Senin (19/2) menyampaikan, masyarakat harus memiliki literasi digital yang baik untuk mengurangi risiko kejahatan siber yang semakin marak. Ia menjelaskan, kejahatan siber menjadi tinggi karena semuanya semakin terhubung di dunia digital.
Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017, Dari 262 juta penduduk, sebanyak 143,26 juta telah menikmati internet. Jumlah ini meningkat dari tahun 2016, yaitu 132,7 juta jiwa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penetrasi internet yang meningkat ini beriringan dengan jumlah kasus siber yang bertambah. Dari pemberitaan Kompas, Sabtu (30/1), Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal (Pol) Tito Karnavian menyatakan, kejahatan siber selama 2017 meningkat 3 persen dari 2016. Di tahun 2017, Polri menangani 5.061 kasus, sedangkan di tahun 2016 sebanyak 4.931 kasus.
Ardi menyatakan, kejahatan siber tidak mengenal umur dan pendidikan. Ia menjelaskan, meskipun penetrasi terbesar ada di tingkat pendidikan tinggi, tetap saja kejahatan siber meningkat. Oleh karena itu, kesadaran menggunakan internet harus dimiliki oleh setiap pengguna.
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA UNTUK KOMPAS–Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Henri Kasyfi memaparkan survey penetrasi penggunaan internet di Indonesia, Jakarta, Senin (19/2)
Pendapat Ardi tergambar dari tingkat pendidikan para pengguna internet di Indonesia. Ternyata, penetrasi internet terbesar berada pada golongan penduduk dengan tingkat pendidikian akhir S2 atau S3, yaitu sebesar 88 persen, lalu S1 atau Diploma sebesar 79,23 persen. Untuk tingkat sekolah menengah, penetrasi internet di tingkat SMA Sederajat mencapai 70,54 persen, dan sekolah menengah pertama atau sederajat berada di angka 48,53 persen.
“Kejahatan siber yang meningkat ini diwaspadai oleh masyarakat. Semakin tinggi perkembangan teknologi digital, kejahatan siber akan semakin kompleks. Jika tidak banyak pengguna paham internet dengan bijak, maka korban akan terus bertambah,” ujarnya.
Berpengaruh
Dalam acara rilis survey yang dilakukan oleh APJII di Jakarta, Senin (19/2), Sekretaris Jenderal APJII Henri Kasyfi menyatakan, perkembangan internet yang semakin pesat akan berpengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat. Ia memaparkan, sebanyak 87 persen pengguna internet menggunakan sosial media dalam gaya hidupnya.
Namun untuk keamanan, tutur Henri, hanya sebanyak 61 persen pengguna internet yang mementingkan kerahasiaan data. Hanya 58, 52 persen pengguna internet memasang anti virus di dalam perangkatnya.
Generasi milenial adalah kelompok umur yang sangat bergantung dengan internet. Henri memaparkan, generasi milenial berumur 19 – 34 tahun mendominasi penggunaan internet di tahun ini, yaitu sebesar 49,52 persen.
Untuk pengguna internet lainnya, penduduk berumur 35-54 tahun memiliki persentase 29,55 persen, 13-18 tahun sebesar 16,68 persen, dan yang berumur lebih dari 54 tahun memiliki persentase terkecil, yaitu 4,24 persen.
Berdasarkan penetrasi internet, generasi milenial berada di posisi kedua, yaitu 74,23 persen. Penetrasi tertinggi ada pada kelompok umur 13-18 tahun, yaitu mencapai 75,5 persen.
Agung (24) membutuhkan internet untuk membantu pekerjaannya. Ia merasa kesulitan jika tidak menemukan akses internet di sela aktivitasnya. Ia dan rekan-rekannya juga saling berkomunikasi menggunakan media sosial untuk mengerjakan tugas-tugasnya.
“Akses internet sangat berpengaruh dalam pekerjaan saya. Kalau tidak ada internet, saya merasa kesulitan untuk mencari informasi dan berkomunikasi dengan kolega saya,” ujarnya. (DD12)
Sumber: Kompas, 20 Februari 2018