Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) adalah salah satu mamalia terancam di bumi. Sebuah studi terbaru yang dilaporkan dalam jurnal Current Biology edisi 14 Desember 17 menunjukkan bahwa masalah populasi badak sumatera dimulai sudah sejak lama, sekitar pertengahan Pleistosen, atau satu juta tahun yang lalu. Badak sumatera terancam oleh habitat yang semakin terfragmentasi dan perburuan.
Sekarang, tim peneliti internasional telah melakukan pengurutan dan analisis genom badak sumatera pertama dari sampel yang berasal dari badak sumatera di Kebun Binatang Cincinnati, Amerika Serikat. ”Data urutan genom kami mengungkapkan bahwa Pleistosen adalah perjalanan roller coaster untuk populasi badak sumatera,” kata Herman Mays, Jr, peneliti dari Universitas Marshall, Virginia Barat, AS, seperti dikutip Sciencedaily.com edisi 15 Desember 2017.
”Spesies ini sudah dalam perjalanan menuju kepunahan untuk waktu yang sangat lama,” kata Terri Roth di Pusat Konservasi dan Penelitian Satwa Liar yang Terancam Punah di Kebun Binatang dan Kebun Raya Cincinnati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO–Bayi badak betina, Delilah, menyantap buah-buahan bersama induknya, Ratu, di Sumatera Rhino Sanctuary, Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur Lampung, Kamis (27/7). Kelahiran Delilah mengulang sukses konservasi badak sumatera. Sebelumnya Sumatera Rhino Sanctuary, Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur, Lampung, berhasil melakukan konservasi dengan lahirnya badak Andatu pada tahun 2012.
Menurut studi tersebut, populasi badak sumatera memuncak pada saat bukti fosil menunjukkan invasi mamalia kontinental ke Tanah Sunda (Sundaland)—wilayah biogeografis Asia Tenggara—sekitar 900.000 tahun yang lalu. Para periset memperkirakan sekitar 950.000 tahun lalu, populasi badak sumatera mencapai puncaknya yaitu sekitar 57.800 ekor.
Sekitar 12.000 tahun yang lalu—akhir Pleistosen—banyak mamalia besar telah menderita, dan badak sumatera tidak terkecuali mengalami penderitaan menuju kepunahan. Pada 9.000 tahun yang lalu, bukti genom menunjukkan, populasi badak sumatera berkurang menjadi sekitar 700 ekor.
Naiknya permukaan air laut menenggelamkan koridor Tanah Sunda. Jembatan darat, yang menghubungkan pulau-pulau di Kalimantan, Jawa, dan Sumatera ke Semenanjung Melayu dan daratan Asia, lenyap tenggelam ke laut. Kemungkinan besar akibatnya, kata para peneliti, populasi badak yang menyusut sebagai habitat yang cocok menjadi semakin terfragmentasi. Sejak saat itu, populasi badak sumatera hanya menyusut lebih lanjut karena meningkatnya tekanan terkait hilangnya habitat dan perburuan.
Harian Kompas edisi 23 September 2017 melaporkan, populasi badak sumatera yang ada di Indonesia tinggal sekitar 100 ekor. Untuk itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bekerja sama dengan sejumlah pihak swasta dan organisasi pemerhati badak sumatera membentuk Suaka Rhino Sumatra (SRS). Kepala Subdirektorat Jenderal Pemanfaatan Jenis Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK Nunu Anugrah pada acara bincang-bincang dalam rangka memperingati Hari Badak Sedunia, Jumat (22/9), di Jakarta, menjelaskan, SRS merupakan tempat pengembangbiakan badak sumatra secara semialami di Taman Nasional Way Kambas, Lampung.
Ni Made Ferawati, dokter hewan di SRS, mengatakan, ada tujuh badak sumatera yang dikembangbiakkan di SRS yang luasnya 100 hektar ini. Sejak 2011, tim dokter hewan di SRS meneliti inseminasi buatan pada badak sumatera. Terakhir, tim mencobanya pada Mei 2017 lalu, tetapi gagal. Pengembangbiakan badak sumatera tidak mudah, selain tidak mudah mengawinkan badak jantan dan betina, satu ekor badak sumatera juga dilahirkan dalam siklus 3-5 tahun. Karena itu, badak sumatera menjadi prioritas dalam pengembangbiakan hewan ikonik Indonesia, dengan target pertumbuhan 10 persen.–SUBUR TJAHJONO
Sumber: Kompas, 15 Desember 2017