Untuk Cegah Hoaks, Butuh Jeratan Hukum

- Editor

Rabu, 22 November 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

68 Juta Pengguna Daftarkan Identitas Nomor Ponsel
Penyebaran ujaran kebencian dan hoaks di media sosial dinilai sudah mengkhawatirkan. Untuk mengatasi hal itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia menilai, butuh jeratan hukum yang lebih berat untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Di lain sisi, Kementerian Kominfo lebih berfokus pada pencegahan dari hulu masalah dengan pendekatan keagamaan.

Komisaris Besar Sri Suari, Juru Bicara Polri, mengatakan, produk hukum untuk kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) masih sangat rendah hukumannya. Seperti kelompok Saracen yang ditangkap karena hoaks dan ujaran kebencian di media sosial berbau suku, agama, ras, dan antar-golongan. Dari enam orang yang ditangkap, dua orang sudah dipidana, yaitu Rizal Kobar (6 bulan penjara) dan Ropi Yatsman (15 bulan penjara).

Produk hukum untuk kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) masih sangat rendah hukumannya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

”Kalau dia berkelakuan baik, paling tinggal 4 bulan masa tahanannya. Setelah itu bebas lagi,” ujar Sri, Selasa (21/11), saat memberikan pidato pada acara diskusi tentang keamanan siber di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Tangerang.

Sri hadir mewakili Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian yang tidak bisa hadir di acara tersebut. Selain Sri, hadir juga Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dan Rektor UMN Ninok Leksono.

Menurut Sri, hukuman pidana belum bisa membuat jera pelaku sehingga ancaman hukuman pada UU ITE perlu ditingkatkan. Seperti pada Pasal 28 yang menjerat Rizal hukuman maksimal 6 tahun dan denda Rp 1 miliar.

Sri menilai, pemahaman pembuat dan penegak hukum masih kurang terkait dengan kejahatan di dunia siber. Sebab, sesuatu yang terjadi di media sosial memang tidak langsung terasa dampaknya seperti perbuatan kriminal murni. ”Kalau kriminal ada luka, lalu divisum, dilihat tingkat kesakitan dan kerugian,” ucapnya.

Padahal, kerusakan yang ditimbulkan pada ujaran kebencian ini bisa berkelanjutan. Sebut saja ribut-ribut di media sosial saat Pilkada DKI Jakarta. Keributan itu menjadikan Jakarta sebagai kota paling intoleran di Indonesia, berdasarkan riset Indeks Kota Toleran 2017 oleh Setara Institute.

Sri khawatir, jika penindakan tidak memberikan efek jera, pelaku akan semakin merajalela. ”Kalau begitu, Indonesia yang dinilai negara ramah dan sopan bisa hilang di kemudian hari,” keluhnya.

Ancaman itu terasa nyata jika melihat jumlah pengguna internet di Indonesia. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia, 51 persen orang Indonesia sudah menggunakan internet. Di antara angka itu, 97,4 persen atau 129,2 juta orang menggunakan media sosial.

Sri mengatakan, kini masyarakat sangat bergantung pada kemudahan yang dibawa teknologi. Namun, semakin hari teknologi semakin mengancam. Untuk itu, Sri berharap pengguna teknologi tidak mudah terbawa oleh perasaan. Logika di dunia nyata jangan sampai kalah dengan yang tidak nyata.

Hal sependapat diutarakan Ninok. Menurut dia, suatu kemajuan akan diikuti dengan ancaman. Ketergantungan teknologi membuat manusia lebih nyaman dalam berkomunikasi. Namun, kalau itu terganggu, manusia seperti kehilangan arah.

Pendekatan agama
Menurut Rudiantara, untuk mengatasi ancaman hoaks, Kominfo harus mengatasi secepat mungkin. Salah satunya dengan pemblokiran situs penyebar hoaks. Namun, pemblokiran tidak bisa dilakukan setiap saat.

”Capek kalau harus blokir-blokir terus. Kita blokir satu, muncul seribu. Kominfo masih punya cara lain supaya konten negatif tidak berkembang,” ujarnya.

Rudiantara menilai, tindakan pencegahan akan jauh lebih efektif dibandingkan dengan pemblokiran. Pencegahan yang dimaksud Rudiantara adalah melalui pendekatan agama. Pendekatan agama tersebut lewat peran aktif pemuka agama.

Untuk itu, dia sudah mendatangi tokoh-tokoh keagamaan yang ada di Indonesia. Seperti, uskup, Parisada Hindu, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, dan Majelis Ulama Indonesia.

Bahkan, sebelumnya pertemuan Rudiantara dengan MUI sudah membuahkan hasil. Juni lalu, MUI mengeluarkan fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. ”Disebut oleh KH Ma’ruf Amin (Ketua Umum MUI), muamalah medsosiah,” kata Rudiantara.

Pendaftaran identitas
Sementara itu, Rudiantara mengimbau masyarakat untuk mendaftarkan identitas nomor telepon seluler yang dimiliki. Hal itu dinilai bisa membantu kerja Polri dalam penanganan perkara hoaks. ”Polisi memang bisa mencari yang anonim. Namun, kalau ada datanya lebih mudah,” katanya.

Karena itu, dinilainya, dukungan masyarakat sendiri sangat penting untuk pencegahan hoaks di media sosial.

Menurut Rudiantara, saat ini yang mendaftar sudah sekitar 68 juta. Dia pun masih menunggu sisanya untuk segera mendaftar. Kalau tidak, Februari 2018 nanti, Menkominfo tidak segan memblokir nomor tanpa identitas tersebut. (DD06)

Sumber: Kompas, 21 November 2017

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB