Orangutan Tapanuli Si Moyang Orangutan

- Editor

Minggu, 5 November 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penemuan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) sebagai spesies baru memicu gairah baru di bidang keragaman hayati, tetapi sekaligus kecemasan dari aspek konservasi. Sekalipun baru ditemukan, populasinya terancam punah. Padahal, orangutan tapanuli ini adalah spesies tertua dibandingkan dengan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) dan orangutan sumatera (Pongo abelii).

Temuan ini sangat menarik karena pada abad ke-21 masih ada jenis kera besar baru yang ditemukan,” ujar Ian Singleton, Direktur Program Konservasi Orangutan Sumatera (SOCP), yang terlibat dalam upaya perlindungan orangutan tapanuli sejak 2005.

Orangutan merupakan satu-satunya kera besar kerabat dekat manusia yang ada di luar Afrika. Tiga jenis kera besar lain yang tersisa di Bumi, yaitu gorila, simpanse, dan bonobos, hanya ditemui di Afrika. Sekalipun fosilnya ditemukan juga di Pulau Jawa, tetapi orangutan liar saat ini hanya bisa ditemui di Sumatera dan Kalimantan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

DOKUMENTASI PROGRAM KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA /JONAS LANDOLT–Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies baru orangutan sumatera.

Keberadaan orangutan di Ekosistem Batang Toru, yang meliputi hutan dataran tinggi yang tersebar di tiga kabupaten Tapanuli, Sumatera Utara, sebenarnya telah diketahui sejak akhir 1990-an. Orangutan ini awalnya hanya dianggap sebagai bagian dari spesies orangutan sumatera yang kelompok besarnya ada di bagian utara Danau Toba, meliputi kawasan Langkat di Sumatera Utara dan Aceh.

Upaya untuk mengkaji orangutan di Batang Toru ini dimulai sejak 1997. Penelitian ini melibatkan berbagai ilmuwan dari dalam dan luar negeri, seperti Universitas Nasional, Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Zurich, dan Yayasan Ekosistem Lestari-SOCP. Penelitian juga didukung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pada 2015, studi genetik mulai menemukan adanya perbedaan antara orangutan dari Batang Toru dan populasi orangutan di utara Danau Toba. Sejak saat itu, diusulkan adanya subspesies baru untuk spesies orangutan sumatera dengan nama Pongo abelii tapanuliensis (Rianti, 2015).

Penelitian lebih mendalam dalam bidang genomik, morfologi, ekologi, dan perilaku menemukan bukti-bukti kuat bahwa orangutan dari Batang Toru secara taksonomi lebih dekat dengan orangutan kalimantan, Pongo pygmaeus. Sekalipun hanya dipisahkan oleh Danau Toba, orangutan di Batang Toru justru lebih jauh berbeda dengan populasi Pongo abelii.

Secara fisik, orangutan dari Batang Toru memiliki bulu lebih tebal dan keriting ketimbang dua orangutan lainnya. Tengkorak dan tulang rahangnya juga lebih halus. Perbedaan juga terlihat dari panggilan jarak jauh jantan dewasa. Perbedaan terutama dari genetiknya.

“Kami kemudian menyimpulkan, orangutan di Batang Toru merupakan spesies yang berbeda, di luar spesies orangutan yang telah lebih dulu diidentifikasi, yaitu orangutan sumatera dan orangutan kalimantan,” kata Puji Rianti, anggota tim peneliti dari IPB. Berdasarkan perbedaan secara genetik dan morfologi ini, orangutan di Batang Toru kemudian dinyatakan sebagai spesies baru dengan nama latin Pongo tapanuliensis.

Temuan ini dipublikasikan di jurnal Current Biology pada 2 November 2017 yang menunjukkan bahwa orangutan kalimantan, orangutan sumatera, dan orangutan dari Batang Toru memiliki irisan garis keturunan. Menariknya, garis keturunan tertua justru dimiliki orangutan dari Batang Toru. Ini berarti spesies baru yang kemudian diberi nama Pongo tapanuliensis ini merupakan moyang dari kedua spesies orangutan yang lebih dulu dikenali.

Migran pertama
Kajian genetik oleh tim yang dipimpin Alexander Nater dari Universitas Zurich ini menemukan bahwa jutaan tahun lalu orangutan bermigrasi dari daratan Asia Selatan ke bagian selatan dan barat Sumatera yang saat itu masih menjadi bagian dari daratan besar Asia atau dikenal sebagai Paparan Sunda. Orangutan tapanuli merupakan kelompok migran pertama di Paparan Sunda ini.

Sekitar 3,3 juta tahun lalu, sebagian orangutan ini kemudian berpindah ke arah utara dan menghuni di bagian utara, saat ini Kaldera Toba. Kedua populasi ini tidak saling bercampur sehingga kemudian masing-masing mengembangkan ciri fisik dan genetik berbeda.

Lalu, sekitar 600.000 tahun lalu, pemisahan kedua terjadi. Sebagian populasi orangutan di selatan Kaldera Toba kemudian bermigrasi jauh ke arah utara hingga ke Kalimantan. Hingga periode itu, Sumatera, Jawa dan Kalimantan masih menjadi satu daratan sebagai Paparan Sunda. Ini yang menjelaskan kenapa orangutan tapanuli lebih memiliki kedekatan dengan orangutan kalimantan karena pemisahan kedua populasi lebih belakangan dibandingkan dengan orangutan sumatera.

Migrasi orangutan di masa lalu, menurut kajian ini, diduga dipengaruhi oleh letusan Kaldera Toba. Disebutkan, sekitar 73.000 tahun lalu, terjadi letusan dahsyat Kaldera Toba yang kemudian memisahkan secara total populasi orangutan di selatan dan utara danau vulkanik ini. Tak dijelaskan bagaimana orangutan ini bisa bertahan dari letusan Supervolcano Toba yang letusannya disebut sebagai yang terkuat di bumi dalam kurun dua juta tahun terakhir.

Sementara itu, penelitian sebelumnya oleh Westaway dan tim yang dipublikaskan di jurnal Nature edisi 9 Agustus 2017 menemukan bahwa orangutan juga pernah menghuni kawasan lain di sekitar pantai barat Sumatera. Hal ini, misalnya, dengan temuan fosil orangutan, selain fosil manusia modern (Homo sapiens) di Goa Lida Ajer di Payakumbuh, Sumatera Barat. Baik fosil orangutan maupun manusia modern ini berada di lapisan batuan berusia sekitar 73.000 tahun.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Peneliti genetika spesies orangutan dari Institut Pertanian Bogor, Puji Rianti; Dirjen Konservasi dan Sumber Daya Alam Ekosistem KLHK Wiratno; dan peneliti reproduksi, populasi dan konservasi spesies orangutan dari Universitas Nasional, Suci Utami Atmoko (dari kiri ke kanan) menjadi narasumber saat rilis penemuan spesies baru orangutan sumatera di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat, Jumat (3/11).

Bahkan, penelitian Westaway dan tim di Gua Punung, Jawa Timur, juga menemukan banyak fosil orangutan. Fosil ini ditemukan pada lapisan tanah berumur sekitar 128.000 tahun lalu. Hal ini menunjukkan bahwa orangutan dahulu juga pernah menghuni Jawa, tetapi lebih dahulu punah. Penelitian ini telah dipublikasikan di Journal of Human Evolution pada 2007.

Terancam punah
Temuan Pongo tapanuliensis sebagai spesies baru menjadi kunci penting untuk menjawab asal-usul, kekerabatan, hingga jalur migrasi orangutan di Nusantara. Bahkan, boleh dikatakan ini adalah salah satu temuan besar abad ini di bidang keragaman hayati.

Tak hanya berguna dalam memahami migrasi kera besar, menurut ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo, hal ini juga berguna untuk memahami migrasi manusia modern. “Ternyata, jalur migrasi awal orangutan dan manusia modern hampir sama, yaitu dari jalur Asia Selatan lalu melalui Semenanjung Malaysia sebelum ke Sumatera bagian selatan, baru ke utara,” katanya.

Meski demikian, euforia penemuan ini segera menghadapi persoalan serius. Orangutan tapanuli saat ini hanya tersisa 800 ekor di alam dan terisolasi di area seluas 110.000 hektar dalam Ekosistem Batang Toru. Sempitnya area pergerakan mereka menyebabkan orangutan ini banyak mengalami inbreeding atau kawin sedarah sehingga rentan mengalami berbagai penyakit genetik.

Melihat situasi ini, para tim peneliti akan memasukkan orangutan tapanuli ke dalam daftar spesies “sangat terancam punah” (critically endangered) berdasarkan daftar merah Organisasi Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam (IUCN). Tanpa ada upaya perlindungan yang sungguh-sungguh, nenek moyang orangutan ini akan punah sebagaimana kerabat mereka di Pulau Jawa.–AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 5 November 2017

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 11 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB