HUTAN suaka dan padang penggembalaan Baluran di Situbondo, Jawa Timur, luasnya sekitar 25.000 hektar. Di sini hidup sejumlah binatang buas, seperti banteng, harimau, kerbau hutan, ajak, dan babi hutan. Ada juga merak, rusa, kancil, dan kera.
Pada musim kemarau, saat air di dalam hutan mengering, mereka akan keluar dari sarangnya menuju empat kubangan di padang penggembalaan. Biasanya dua jam sebelum matahari terbit dan satu jam sebelum matahari terbenam, para binatang minum di kubangan.
Untuk melihat tingkah polah binatang-binatang itu, tersedia menara setinggi 12 meter. Apabila menggunakan mobil, pengunjung bisa sampai ke tengah padang penggembalaan asal tidak mengeluarkan anggota badan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berita tersebut dimuat Kompas yang terbit pada 13 Oktober 1973 atau tepat 44 tahun lalu.
Tahun 1960-an, hutan suaka itu disebut Margasatwa Baluran karena orang dengan mudah mencapai lokasinya yang hanya berjarak sekitar 15 kilometer dari jalan raya. Kompas, 1 April 1969, mencatat, hutan di ujung Jawa Timur (Jatim) itu tak hanya kaya akan beragam jenis satwa liar dan burung, tetapi pemandangan alamnya pun indah. Sabana dan tetumbuhannya berlatar Gunung Baluran setinggi 1.274 meter serta dibatasi pantai di sebelah timur dan utaranya.
Di sini hidup antara lain banteng jawa (Bos javanicus), kerbau liar (Bubalus bubalis), babi hutan (Sus sp), kijang (Muntiacus muntjac), rusa (Cervus timorensis russa), macan tutul (Panthera pardus melas), dan kancil (Tragulus javanicus pelandoc). Ada pula lutung (Presbytis cristata), merak (Pavo muticus), ayam hutan (Gallus sp), kucing hutan (Felis bengalensis), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), juga sekitar 147 jenis burung (Kompas, 18 Juni 2013 dan 25 Juli 1993).
Sayang, perburuan liar membuat jumlah banteng menurun. Sampai sekitar awal 1970-an, jumlah banteng di hutan itu diperkirakan ribuan, tetapi pada 1973 yang terhitung tinggal 525 ekor. Untuk mengatasinya, hutan suaka Baluran sampai dijaga pasukan gabungan polisi, KKO, dan Angkatan Darat.
Keberadaan cagar alam Baluran juga digerogoti dengan maraknya penebangan pohon-pohonnya untuk diganti pohon turi sebagai bahan baku pabrik kertas di Banyuwangi (Kompas, 23 Juli 1976). Kegiatan tersebut membuat kehidupan satwa pun terganggu.
Pohon sudah ditebang di areal seluas sekitar 250 hektar, sumber air pun berkurang. Satwa liar penghuni aslinya harus mengalah karena tak mampu menyuarakan protes. Untuk minum saja, satwa liar di Taman Nasional (TN) Baluran harus berjalan sekitar 15 km ke arah selatan Gunung Bekol dan Gunung Montor.
Seiring berjalannya waktu, TN Baluran dan satwa di dalamnya semakin merana, terutama banteng yang menjadi salah satu hewan khas di sini. Kerbau liar justru menguasai padang sabana, banteng yang gagah, besar, dan gempal pun tak sanggup bersaing untuk mendapatkan pangan (Kompas, 19 November 1981).
Diperkirakan awalnya kerbau dilepas warga yang tinggal di sekitar TN Baluran untuk mencari pangan di padang sabana. Lama-kelamaan perilaku kerbau berubah dari hewan kandang menjadi satwa liar. Pada 1981, populasi kerbau sekitar 400 ekor, sedangkan jumlah banteng menurun drastis hingga tinggal sekitar 150 ekor.
Populasi banteng jawa yang berpantat putih dan berkaki putih seperti memakai kaus kaki itu naik-turun. Pada 1992, jumlah banteng yang terdata 338 ekor, tetapi pada 2012 jumlahnya tinggal 26 ekor (Kompas, 14 Desember 2013). Kondisi ini mengkhawatirkan. Apabila tak diatasi, banteng jawa akan punah.
Pengelola TN Baluran dan tim dari Taman Safari Prigen, Jatim, berusaha membiakkan banteng dengan cara semi-alami sejak 2012. Caranya, seekor banteng jantan dan dua ekor betina dikandangkan di lahan 0,8 ha. Proses pengembangbiakan, kesehatan banteng, hingga pelepasliarannya di TN Baluran dipantau terus-menerus.
Hasilnya, pada 2014 jumlah banteng jawa bertambah dua ekor, menjadi 28 ekor (Kompas, 8 September 2014). Jumlah banteng naik lagi menjadi 33 ekor dan pada 2017 menjadi 45 ekor (Kompas, 21 Agustus 2017).
TN Baluran berjarak sekitar 253 km dari Surabaya (Kompas, 4 Mei 2013). TN Baluran relatif mudah dijangkau karena terletak di tepi jalur pantai utara Jatim. Lokasi persisnya di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, yang berbatasan dengan Banyuwangi.
Gara-gara kerbau
Banteng di TN Baluran semakin sulit bertahan hidup, antara lain, karena populasi kerbau mendominasi kubangan tempat satwa minum. Banteng tak mau minum air di kolam yang sebelumnya menjadi kubangan para kerbau. Banteng tidak mau minum air yang keruh. Tahun 1985, misalnya, terdapat 1.200-1.300 ekor kerbau liar dan banteng hanya 150-200 ekor (Kompas, 14 April 1985).
Demi menambah populasi banteng, sebagian kerbau yang dilindungi sengaja ditangkap. Kerbau-kerbau liar itu lalu dijinakkan dan diserahkan kepada warga, terutama mereka yang bermatapencarian sebagai petani. Kerbau bisa dimanfaatkan petani untuk mengolah sawah.
KOMPAS/SJAMSUL HADI–Sejumlah Banteng (Bos Javanicus) bebas berkeliaran di savana Sadengan Alas Purwo kawasan Taman Nasional Baluran (Jatim). Di Feeding ground Sadengan untuk melihat satwa yang hampir punah ini disediakan menara pengintas guna mengamati kegiata satwa. Tanpa merasa terusik, binatang yang menurut hasil sensus pada tahun lalu masih terdapat sekitar 262 ekor. Mereka menyebar di berbagai tempat di sekitar sabana seluas 81 ha. Binatang ini kalau didekati dan terusik karena terganggu akan menghindar dan menjauh dari tempat pengintaian.
Pada 1985, Presiden Soeharto secara simbolis menyerahkan 200 kerbau dari TN Baluran kepada petani di Jatim (Kompas, 16 April 1985). Pemberian kerbau itu disebut sebagai Bantuan Presiden (Banpres). Kerbau untuk para petani itu diserahkan secara bertahap karena tidak mudah menangkap kerbau di TN Baluran.
Untuk menangkap 200 kerbau liar diperlukan waktu sekitar dua tahun. Setelah 200 kerbau liar berhasil dikandangkan di rumah-rumah warga, akan ditangkap lagi 300 kerbau untuk diberikan kepada petani di Jatim.
Pada 1987, sebagian kerbau di TN Baluran kembali ditangkap untuk diberikan kepada petani di Kabupaten Banyuwangi, Situbondo, Mojokerto, dan Sidoarjo sebagai ternak Banpres (Kompas, 14 September 1987).
Lagi, pada 1988, sebanyak 200 kerbau ditangkap. Selain diberikan kepada petani, penangkapan dilakukan untuk mengurangi populasi kerbau di TN Baluran yang berjumlah sekitar 1.200 ekor. Idealnya populasi kerbau liar 300-400 ekor (Kompas, 7 September 1988).
TN Baluran rupanya menjadi tempat ideal bagi kerbau untuk berkembang biak. Meskipun penangkapan kerbau sudah dilakukan sejak 1985, populasi kerbau masih tinggi sampai 1992. Di dalam TN Baluran terdapat 1.200 kerbau liar, yang merupakan kelompok terbesar dari jenis hewan lainnya (Kompas, 12 Februari 1992).
Selain perkembangbiakan banteng kalah dari kerbau, banteng juga harus berebut air minum yang ketersediaannya di TN Baluran terus berkurang. Lebih-lebih pada musim kemarau, air yang tersedia tak mencukupi untuk kebutuhan semua satwa.
Di TN Baluran pada 1984, setidaknya hidup sekitar 1.000 kerbau liar, 700 babi hutan, 700 menjangan, dan sekitar 200 banteng. Saluran air yang dibuat dari sumber air Talpat ke Blok Bekol sepanjang 4,5 km tak sepenuhnya bisa mengatasi masalah air minum untuk semua satwa (Kompas, 15 November 1984).
Kebakaran
Di samping itu, satwa di TN Baluran harus menghadapi kenyataan bahwa sabana seluas sekitar 8.000 ha-10.000 ha tempat mereka merumput terbakar pada 1984. Warga yang tinggal di sekitar TN Baluran sudah berusaha membantu petugas memadamkan api, tetapi angin yang berembus kencang menghanguskan sekitar 2.000 ha sabana (Kompas, 4 September 1984).
Tahun 1985 kebakaran kembali terjadi, menghanguskan rumput kering dan daun jati. Meskipun pada musim kemarau padang sabana rawan terbakar, pada kebakaran kali ini pihak berwajib menahan empat orang yang dituduh membuang api hingga menimbulkan kebakaran (Kompas, 26 Juli 1985).
Kebakaran kembali terjadi tahun 1997 yang menghabiskan sekitar 50 ha area hutan (Kompas, 2 Oktober 1997). Pada musim kemarau tahun 2014, hutan Baluran juga terbakar. Kebakaran kali ini dipicu musim kering yang panjang, mulai bulan Juni hingga Oktober (Kompas, 17 Januari 2015).
Serangan akasia
Selain memiliki padang sabana yang luas, TN Baluran juga kaya hayati. Beberapa jenis tumbuhan langka bisa ditemukan di sini, seperti dadap biru, timongo, kesambi, kepuh, dan pohon gebang (Kompas, 29 Desember 1985). Di kawasan ini juga ada hutan sabana, hutan mangrove, dan hutan pantai. Ada pula tanaman bambu manggong (Bambusa sp) yang konon satu-satunya di dunia (Kompas, 24 Agustus 1997).
Kompas, 18 Juni 2001 menulis, total kekayaan flora TN Baluran ada 584 jenis tumbuhan. Rinciannya, 138 jenis pohon, 76 jenis perdu, 37 jenis tumbuhan memanjat, 120 jenis herba, 6 jenis anggrek, 15 jenis paku-pakuan, dan 192 jenis rumput.
Untuk mengurangi bahaya kebakaran di padang sabana pada musim kemarau, sejak tahun 1976 ditanam pohon akasia (Accacia nilotica) yang berfungsi sebagai sekat (Kompas, 5 Oktober 1993). Namun, dalam perjalanannya, akasia justru telah mematikan tanaman-tanaman lokal TN Baluran yang sebelumnya menjadi bahan pangan bagi para satwa.
Akasia tumbuh subur di kawasan TN Baluran dan menutupi sebagian padang sabana. Akasia yang semula ditanam sebagai sekat untuk mencegah kebakaran di padang sabana, malah menimbulkan masalah baru. Dari 10.000 ha padang sabana, hanya tinggal sekitar 20 persennya karena selebihnya sudah dipenuhi akasia (Kompas, 25 Juli 1993).
Aroma alelopati dari akasia menghambat pertumbuhan tanaman lain, seperti rumput-rumputan, bahkan tanaman itu mati. Berkurangnya volume rumput-rumputan sangat mengurangi persediaan makanan bagi satwa. Penanaman akasia ternyata berdampak negatif bagi ekosistem TN Baluran (Kompas, 5 Oktober 1993).
Penyebaran akasia di TN Baluran terjadi dengan cepat, antara lain karena daunnya dimakan banteng dan kerbau liar. Kotoran hewan itu lalu menumbuhkan tanaman akasia baru di berbagai tempat (Kompas, 3 Mei 2001).
Untuk membasmi penyebaran akasia, pernah dilakukan penebangan massal tahun 1985. Ternyata batang akasia yang sudah ditebang bisa tumbuh lagi. Biji akasia juga memiliki masa ketahanan sampai delapan tahun. Pada 1993, pembasmian akasia menggunakan traktor pun tak berhasil.
Tahun 2000 akasia ditebang secara manual, kemudian batangnya dibakar. Namun, cara ini memerlukan dana relatif besar (Kompas, 18 Juni 2001). Dengan cara ini diharapkan dalam setahun bisa dibasmi akasia di area seluas 250 ha.
Kenyataannya, tahun 2011 padang sabana tinggal sekitar 3.000 ha, sedangkan hutan akasia luasnya mencapai 7.000 ha (Kompas, 1 Agustus 2011). Setahun kemudian hutan akasia luasnya berkurang menjadi sekitar 6.000 ha (Kompas, 30 April 2012), tetapi meluas lagi dan memicu tumbuhnya semak perdu menggantikan padang sabana sebagai sumber pangan bagi banteng (Kompas, 31 Agustus 2012).
Tahun 2013 cara lain pun digunakan untuk membasmi akasia, yakni dengan penebangan dan penggunaan cairan herbisida pada batang pohon yang ditebang (Kompas, 4 Mei 2013 dan 8 Januari 2014).
Asal mula
Tentang sejarah TN Baluran yang kerap disebut-sebut sebagai ”Afrikanya Jawa” karena memiliki padang sabana yang luas, Kompas, 25 Juli 1993 mencatat, sekitar tahun 1893 kawasan hutan ini sering menjadi tujuan para pemburu hewan. Luas padang sabana Baluran sekitar 10.000 ha atau 40 persen dari luas keseluruhan kawasan.
Tahun 1928 salah seorang pemburu Belanda bernama AH Loedeboer memiliki gagasan untuk menjadikan kawasan yang kaya flora dan fauna ini sebagai daerah konservasi yang dilindungi. Sekitar sembilan tahun kemudian, atas perintah Direktur Kebun Raya Bogor KW Wadermann, seluruh kawasan Baluran termasuk Alas Purwo ditetapkan sebagai taman margasatwa.
Tahun 1982 surat keputusan Menteri Pertanian RI menetapkan Baluran menjadi taman nasional. Selain sebagai kawasan konservasi, TN Baluran juga menjadi obyek wisata dan penelitian. Tahun 1991-1992, misalnya, sebanyak 36 kegiatan penelitian berlangsung di sini. Adapun jumlah pengunjungnya pada 2012 sebanyak 32.674 orang (Kompas, 4 Mei 2013).
Keberadaan TN Baluran sudah lebih dari seabad. Tantangan yang dihadapi TN ini juga semakin beragam. Kompas 25 Juli 1993 antara lain menulis tentang ”tarik-ulur” antara kepentingan konservasi dan pemenuhan kebutuhan warga di sekitar TN Baluran.
Dengan jumlah tenaga 163 orang, pengawasan TN Baluran tak optimal. Di sisi lain, warga di kecamatan sekitar yang umumnya bekerja sebagai petani, nelayan, peternak tradisional, dan buruh tani itu menggantungkan sebagian kebutuhan hidupnya dari hutan.
Untuk keperluan kayu bakar serta memberi pakan sapi dan kambing peliharaan, misalnya, mereka masuk TN. Hal ini dikhawatirkan mengganggu ekosistem. Akan tetapi, satwa dari TN juga kerap merusak tanaman warga, seperti jagung dan ketela. Anjing hutan dari TN juga sering masuk kampung memangsa ayam peliharaan warga.
Tahun 2011 burung-burung di TN Baluran pun menjadi obyek perburuan dan perdagangan, misalnya elang jawa, jalak putih, dan merak hijau (Kompas, 5 Mei 2011). Semakin hari, perburuan tak hanya menyasar hewannya, tetapi juga telurnya.
Kompas, 18 Juli 2012 menulis, dalam lima tahun terakhir populasi burung di TN Baluran berkurang. Jenis burung di TN yang semula 215 menjadi 195. Burung langka, seperti kakatua, diburu banyak orang. Data tahun 2013 menunjukkan di TN Baluran ada 461 spesies flora, 28 jenis mamalia, 225 jenis burung, serta beragam jenis ikan dan reptil (Kompas, 4 Mei 2013).
Setahun kemudian di TN ini tercatat ada 155 jenis burung dan 25 jenis mamalia (Kompas, 8 September 2014). Ini berarti terjadi penurunan jenis burung dan mamalia yang hidup di Baluran.
Dengan segala dinamikanya, TN Baluran ditetapkan UNESCO sebagai bagian dari cagar biosfer dunia pada 2016. Cagar biosfer adalah situs yang ditunjuk berbagai negara melalui kerja sama program Man and the Biosphere (MAB) dari UNESCO. Situs ini bertujuan mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan (Kompas, 29 Maret 2016).
Sebagai cagar biosfer dunia, keberadaan TN Baluran mutlak dipertahankan. Meski untuk itu kita harus bekerja keras. Selain ulah manusia dan perubahan iklim, membasmi akasia masih menjadi ”pekerjaan rumah” kita agar ”little Africa van Java” itu tidak menghilang.–CHRIS PUDJIASTUTI
Sumber: Kompas,13 Oktober 2017