Harian Kompas tanggal 27 April 2012 memuat artikel opini tentang perlindungan varietas tanaman. Sayangnya artikel tersebut mengandung kerancuan pemahaman sehingga berpotensi mendistorsi nilai-nilai strategis Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.
Distorsi pemahaman terhadap perlindungan varietas tanaman (PVT) dapat menghambat tercapainya tujuan pemberlakuan UU PVT, yaitu mewujudkan sektor pertanian yang tangguh dan berdaya saing untuk kemakmuran rakyat.
Artikel tersebut ditulis oleh Saudara F Rahardi yang keliru memahami tentang kata perlindungan dalam konteks PVT dan sumber daya genetik nasional. Dalam UU No 29/2000 disebutkan, PVT adalah perlindungan khusus yang diberikan negara terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman (Pasal 1 Ayat 1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepastian hukum
Menurut definisi tersebut, UU PVT memberikan kepastian hukum terhadap obyek dan subyek hukum atas penggunaan hasil kekayaan intelektual dalam bentuk varietas tanaman oleh pihak lain. Jaminan hukum merupakan insentif bagi penemu varietas tanaman yang diharapkan dapat mendorong tumbuhnya investasi di bidang pemuliaan pada perspektif yang lebih luas.
Kata perlindungan dalam konteks sumber daya genetis (SDG) mengacu pada pelestarian dan tindakan pemberian izin akses pemanfaatan SDG atas permohonan pihak lain serta pembagian insentif atas pemanfaatannya kepada pemilik sumber daya genetis sesuai ketentuan konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam negeri.
UU No 29/2000 tentang PVT telah mengadopsi beberapa ketentuan International Convention for the Protection of New Varieties of Plants (selanjutnya disebut Konvensi UPOV) meskipun hingga kini Indonesia belum juga masuk menjadi anggota.
Konsekuensi menjadi anggota UPOV adalah (a) kesiapan masyarakat menghargai karya cipta varietas unggul dengan memberikan kompensasi atas pemanfaatannya untuk tujuan komersial, (b) perlindungan pasar domestik dari serbuan varietas impor yang berpotensi mematikan industri benih di dalam negeri, (c) penegakan hukum atas pelanggaran pemanfaatan ekonomi dari varietas tanaman yang dilindungi, dan (d) konsistensi mengelola kekayaan sumber daya genetis untuk kemakmuran bangsa dan negara.
Saudara F Rahardi mempermasalahkan penetapan UU No 5/1994 tentang pengesahan United Nation Convention on Biological Diversity (Konvensi PBB tentang Keanekaan Hayati) sebagai konsideran dalam penyusunan UU No 29/2000. Konvensi Keanekaan Hayati menegaskan bahwa negara berdaulat atas sumber daya genetis. Negara bertanggung jawab terhadap konservasi, pemanfaatan, dan perlindungan sumber daya genetis dari kepunahan yang mengakibatkan terhambatnya kegiatan pemuliaan di dalam negeri.
PVT hakikatnya merupakan pelaksanaan dari berbagai kewajiban internasional, khususnya Organisasi Perdagangan Dunia/Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights yang antara lain mewajibkan kepada setiap negara anggota untuk mempunyai dan melaksanakan peraturan perundangan di bidang hak atas kekayaan intelektual (HKI), termasuk perlindungan varietas tanaman.
Alinea keempat, ratifikasi UU No 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing WTO menyatakan bahwa negara anggota perlu menetapkan sistem perlindungan terhadap HKI dan merumuskan aturan serta melaksanakannya. Pemberlakuan UU PVT adalah tindak lanjut dari ratifikasi konvensi WTO.
Pendaftaran varietas
Selanjutnya mengenai pendaftaran varietas tanaman, termasuk varietas lokal, dimaksudkan untuk kepentingan pengumpulan data mengenai varietas lokal, varietas yang dilepas, dan varietas hasil pemuliaan yang tidak dilepas, serta data mengenai hubungan hukum antara varietas yang bersangkutan dan pemilik dan/atau penggunanya.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2004 tentang Penamaan, Pendaftaran, dan Penggunaan Varietas Asal untuk Pembuatan Varietas Turunan Esensial, pendaftaran varietas untuk melindungi varietas yang tidak mendapatkan hak PVT, termasuk varietas lokal, sebagai varietas asal dalam pembuatan varietas turunan esensial.
Menurut Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2004, bupati/wali kota atau gubernur mewakili kepentingan masyarakat di wilayahnya sebagai pemilik varietas lokal untuk memberikan izin atas pemanfaatan varietas lokal sebagai varietas asal dalam membuat varietas turunan esensial. Oleh karena itu, bupati/wali kota dan gubernur berkepentingan mendorong pendaftaran varietas lokal di wilayahnya.
Sumber daya genetis yang masih berada di habitat alam tidak dapat didaftarkan karena tidak termasuk dalam kategori varietas tanaman. Sumber daya genetis dapat menjadi varietas lokal bilamana materi genetis tersebut telah dibudidayakan secara turun temurun oleh petani dan menjadi milik masyarakat setempat.
Saudara F Rahardi keliru menafsirkan pemberian nama varietas tanaman untuk tujuan permohonan hak PVT ataupun pendaftaran varietas. Pemberian nama menurut UU No 29/2000 tentang PVT tidak boleh rancu terhadap sifat-sifat varietas. Pemberian nama varietas juga tidak boleh menggunakan nama varietas lain.
Pemberian nama varietas tanaman dilakukan oleh pemilik varietas dan didaftarkan kepada pusat PVT dan perizinan pertanian. Sementara pemberian nama botani untuk keperluan klasifikasi taksonomi tetap mengikuti ketentuan yang diakui oleh komunitas internasional.
Akses sumber daya genetis pada periode setelah konvensi keanekaan hayati tidak mudah dilakukan karena setiap negara pemilik melindungi kekayaan sumber daya genetisnya.
Khusus untuk tanaman pangan dan pertanian, FAO telah memfasilitasi terbentuknya International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture di mana akses SDG dapat dilakukan secara multilateral. Ini yang difasilitasi dengan Standard Material Transfer Agreement (Perjanjian Pengalihan Materi/PPM).
Tahun 2010 di Nagoya, Jepang, telah disepakati aturan tentang akses sumber daya genetis dan pembagian keuntungan yang adil dan sebanding atas pemanfaatan hasil perakitan varietas tanaman. Kesepakatan tersebut dikenal dengan nama Protokol Nagoya yang mengatur kepemilikan bersama atas perlindungan HKI varietas yang dirakit dari SDG.
Keberadaan UU PVT bersifat strategis sebagai titik ungkit terwujudnya sektor pertanian yang berdaya saing dan memberi kemakmuran bagi bangsa dan negara. Pasal dan ayat di dalam UU PVT masing-masing tidak saling bertabrakan dengan konsideran konvensi keanekaan hayati dan WTO, tetapi saling mendukung sesuai dengan ruang lingkup pengaturan PVT secara komprehensif.
Budi Marwoto Ahli Peneliti Utama di Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian; Anggota Komisi Banding PPVTPP Kementerian Pertanian
Sumber: Kompas, 8 Juni 2012