Pemerintah gencar mengampanyekan gerakan makan ikan sebagai salah satu upaya perbaikan gizi bangsa. Dengan luas lautan yang mencakup dua pertiga wilayah negara, Indonesia seharusnya tak perlu khawatir kekurangan ikan dari lautan. Belum lagi perikanan budidaya yang juga potensial.
Namun, sejumlah riset menunjukkan, lautan kita tercemar antara lain oleh sampah plastik dan logam berat. Sampah plastik ukuran nano kini menjadi ancaman lingkungan. Jadi, warga perlu lebih hati-hati mengonsumsi ikan dan olahannya.
Pengawasan sepanjang 2016 oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada 1.574 sampel ikan dan olahannya di seluruh Indonesia menemukan, ada sampel mengandung logam berat di atas ambang batas maksimal. Sampel itu berupa ikan segar, ikan kalengan, bakso, abon ikan, siomay, dan terasi. Dari semua sampel, 688 jenis ialah produk olahan dalam negeri yang pengawasannya jadi tanggung jawab BPOM.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hasilnya, 7,4 persen dari produk olahan memiliki kandungan cemaran kimia melebihi batas yang ditetapkan. Dari sisa sampel di luar produk olahan didapati 12,5 persen yang kandungan cemaran kimianya di atas batas diizinkan. Jadi, total cemaran logam berat pada ikan dan hasil olahannya dari sampel yang diteliti 10 persen.
Indikator cemaran kimia untuk mengukur sampel ialah kandungan arsen, kadmium (Cd), merkuri (Hg), timah (Sn), dan timbal (Pb).
Peraturan Kepala BPOM tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan menyebut, batas maksimal kandungan merkuri dalam ikan olahan ialah 0,5 ppm (bagian per juta); ikan predator olahan 1 ppm; kerang- kerangan, moluska, dan teripang olahan 1 ppm; sedangkan udang dan krustasea lainnya 1 ppm.
Dimusnahkan
Bagi Direktur Inspeksi dan Sertifikasi Pangan BPOM Tetty Sihombing, angka 10 persen itu termasuk kecil. Demi keamanan pangan, BPOM merekomendasikan produk dengan kadar logam beratnya di atas batas ditarik dari peredaran dan dimusnahkan.
Kandungan logam berat dalam produk olahan ikan yang diekspor ke Eropa pun sedikit. Pada 2017, dari semua produk yang diekspor ke Eropa, ada 15 notifikasi, tiga di antaranya ialah produk olahan ikan. Tiga notifikasi itu terkait kandungan logam berat melebihi batas maksimum yang diizinkan.
Selain itu, dari 99 penolakan produk ekspor dari Amerika Serikat, 43 di antaranya ialah produk ikan. Namun, penolakan produk ikan itu tak ada yang terkait kandungan logam berat.
Meski mengawasi produk olahan ikan laut sebelum dan sesudah produk dipasarkan, BPOM tak bisa mengawasi semua pangan. Pihak lain berwenang melakukan pengawasan, mulai dari pemerintah daerah sampai kementerian terkait.
Tantangan ke depan yang dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia, adalah mengintegrasikan pengawasan obat dan makanan di satu lembaga agar efektif. Pengawasan obat dan makanan tak bisa terpisah seperti di Indonesia. Pengawasan terfragmentasi tak maksimal menjamin keamanan pangan.
Co-founder Medicuss Foundation, Jossep Frederick William, menilai, pemerintah kurang peduli terhadap pencemaran lingkungan akibat logam berat yang sudah sangat gawat. Pemerintah tak punya gambaran, logam berat yang mencemari lingkungan terakumulasi secara biologis pada sumber pangan seperti ikan. Dalam jangka panjang, hal itu berbahaya bagi kesehatan masyarakat. (ADH)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 September 2017, di halaman 14 dengan judul “Saat Sumber Pangan Tercemar”.