Meski di media sosial beredar berbagai informasi yang mendiskreditkan program imunisasi, kampanye imunisasi MR tahap pertama pada Agustus-September 2017 untuk Pulau Jawa berlangsung lancar.
MR merupakan singkatan dari measles dan rubella. Lebih dikenal sebagai campak dan rubela di Indonesia, virus kedua penyakit ini sangat mudah ditularkan. Begitu orang yang terinfeksi bersin atau membuang ingus, virus campak dan rubela langsung menyebar lewat udara.
Infeksi campak biasanya diikuti dengan demam tinggi, bintik-bintik merah di seluruh tubuh, hidung berair, dan mata merah. Virus campak melemahkan sistem kekebalan tubuh. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), campak bisa memicu kebutaan, peradangan otak, diare, dan infeksi paru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Infeksi rubela akan diikuti bintik-bintik merah, pembengkakan kelenjar getah bening, dan sakit di persendian. Rubela sangat berbahaya apabila menginfeksi saat hamil karena bisa memicu keguguran, bayi lahir meninggal, dan berbagai masalah lain: gangguan penglihatan, pendengaran, dan jantung. Semua masalah ini dikenal sebagai congenital rubella syndrome (CRS).
Menurut Kementerian Kesehatan, insiden CRS di Indonesia mencapai 0,2 per 1.000 kelahiran. Sebagai gambaran, tahun 2015 dilaporkan ada 979 kasus baru CRS dari 4,89 juta kelahiran di Indonesia. Di seluruh dunia ada 100.000 bayi CRS setiap tahun. Kasus CRS tertinggi di kawasan Afrika serta Asia Selatan dan Tenggara, yang cakupan imunisasinya rendah. India, misalnya, menyumbang sepertiga dari kasus CRS dunia.
Target kampanye imunisasi adalah anak usia 9 bulan sampai 15 tahun. Total target 66,9 juta anak, yang dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama berlangsung saat ini dan tahap kedua pada Agustus-September 2018 untuk luar Jawa.
Hingga saat ini, imunisasi adalah cara paling efektif, tepat sasaran, dan murah untuk mencegah penularan penyakit. Adalah Edward Jenner, perintis pencegahan cacar (smallpox) dengan menularkan cacar sapi (cowpox) pada anak. Metode itu dipublikasikan pada 1797 dan mengilhami Louis Pasteur membuat vaksin pencegah antraks serta Robert Koch untuk tuberkulosis.
Salah satu contoh klasik keberhasilan imunisasi adalah eradikasi cacar tahun 1978 berkat program imunisasi intensif WHO sejak 1967. Sejak saat itu, dunia banyak berharap pada metode ini. Sayang, peningkatan perekonomian yang masif telah merusak lingkungan dengan penggundulan hutan dan sistem pertanian-peternakan monokultur telah mengubah keseimbangan ekosistem. Akibatnya, virus-virus baru bermunculan dan menyebar ke seluruh dunia dengan cepat lewat mobilitas penduduk yang didukung jaringan transportasi modern.
Di sisi lain, muncul kelompok konservatif yang menghambat laju imunisasi. Pandangan anti-imunisasi ini menyebar luas dan cepat melalui media sosial, membombardir ranah privat tanpa hambatan. Di Indonesia, isu halal haram sangat memengaruhi orangtua dalam memutuskan vaksinasi untuk anaknya. Alasan penolakan lain, ”percaya pada kehendak Tuhan”, sebagaimana halnya di Belanda tahun 1970-an (J Veenman dan LG Jansma dalam The 1978 Dutch Polio Epidemic: A Sociological Study of the Motives for Accepting or Refusing Vaccination, 1992).
Isu lain yang membuat orang enggan mengimunisasikan anak-anaknya adalah vaksin sebagai produk konspirasi Barat, efek samping, tingkat pendidikan, kondisi geografis, dan kesalahpahaman terhadap petugas kesehatan.
Dalam hal ini, upaya pemerintah menyosialisasikan bahwa vaksin halal perlu diikuti klarifikasi terhadap isu efek samping yang dikabarkan meningkatkan risiko autisme. Caranya dengan mengunggah penelitian resmi yang menjelaskan bahwa kaitan vaksinasi dengan risiko autisme tidak sahih secara ilmiah.
Intinya, penerimaan terhadap imunisasi erat kaitannya dengan tingkat kepercayaan terhadap sosialisasi, metodologi kedokteran, dan cara penyampaiannya. Itulah tantangannya.–AGNES ARISTIARINI
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Agustus 2017, di halaman 14 dengan judul “Imunisasi”.