Risiko Gangguan Penglihatan pada Anak Meningkat
Penggunaan gawai pada anak dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Gangguan visus mata atau ketajaman penglihatan menjadi yang paling tinggi dibandingkan dengan dampak lainnya. Untuk itu, para orangtua diimbau agar membatasi usia penggunaan gawai pada anak.
Hal itu mengemuka dalam temu media yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan dalam rangkaian kegiatan peringatan Hari Anak Nasional Tahun 2017, Senin (24/7).
Acara tersebut bertema “Perlindungan Anak Dimulai dari Keluarga”. Salah satu topik yang dibahas adalah pentingnya pembatasan penggunaan gawai dalam kehidupan anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Penggunaan gawai pada anak di banyak daerah di Indonesia sudah cukup meresahkan. Sebab, kalau pemakaiannya tidak terkontrol, dampak negatifnya akan lebih banyak daripada dampak yang positif,” kata Direktur Kesehatan Keluarga Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Eni Gustina.
Kesehatan mata
Berdasarkan data Survei Kesehatan Global (Global Health Survey), lanjut Eni, prevalensi gangguan visus mata pada anak di Indonesia meningkat. Pada tahun 2015, prevalensi gangguan kesehatan mata tersebut mencapai 10 persen. Angka tersebut naik menjadi 25 persen pada tahun 2016.
Survei tersebut dilakukan di 120 kabupaten di Indonesia yang dilakukan terhadap anak-anak berusia 13-18 tahun.
“Untuk visus mata pada anak memiliki daya akomodasi tersendiri. Kalau terus-menerus dipaksa di depan cahaya gawai, hal itu bisa mengakibatkan visus cepat lelah dan membuat mata cepat minus. Padahal, seharusnya mata anak-anak masih sangat bagus,” kata Eni.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO–Anak-anak menggunakan gawai untuk bermain di Desa Socokangsi, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Jumat (14/7). Perkembangan teknologi membuat mainan tradisional semakin tersisih dari kehidupan sehari-hari anak-anak. Penggunaan gawai yang berlebihan juga berdampak terhadap kesehatan mata.
Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan Satuan Tugas (Satgas) Tumbuh Kembang Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menunjukkan, dampak lain penggunaan gawai adalah keterlambatan kemampuan bicara pada anak (late speech).
“Bahkan, potensi anak mengalami obesitas (kegemukan) menjadi tinggi karena kurang gerak. Mereka sibuk dengan gawai sehingga aktivitas sehari-hari menjadi minim,” kata Eni.
Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi mengatakan, selama ini komunikasi di dalam keluarga berkurang karena penggunaan gawai secara berlebihan. Karena itu, para orangtua diimbau menerapkan tiga B, yakni belajar, bermain, dan berbicara.
“Biasakan membaca dongeng untuk anak, lalu ajak bermain yang melibatkan aktivitas fisik. Kalau sudah berada di meja makan, tidak boleh lagi memegang gawai. Semangat dan gerakan seperti ini yang harus terus didorong,” kata Seto.
Pembatasan usia
Banyak pihak juga mulai memberi imbauan agar membatasi penggunaan gawai di kalangan anak-anak. Bahkan, Presiden Joko Widodo mengingatkan pada anak-anak dalam acara Peringatan Hari Anak Nasional Tahun 2017, di Pekanbaru, Riau, Minggu (23/7), agar tidak menggunakan media sosial sebelum berusia 13 tahun.
“Mungkin kalau dalam bentuk kebijakan atau aturan pemerintah, hal itu masih akan sulit untuk mengawasi dan mengontrolnya. Jadi, lebih baik membangun gerakan, hal itu akan jauh lebih efektif,” ucap Seto.
Program Indonesia Sehat dan pendekatan keluarga menjadi gerakan yang sedang dilakukan oleh pemerintah saat ini. Salah satunya dalam menanggulangi dampak negatif penggunaan gawai. Hal itu diharapkan bisa terwujud jika para orangtua menyadari dampak buruk penggunaan gawai secara berlebihan, terutama pada anak.
“Gawai adalah alat yang dipakai manusia. Jadi, jangan biarkan gawai justru memperalat manusia,” kata Seto. (IDO)
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Juli 2017, di halaman 14 dengan judul “Batasi Penggunaan Gawai”.