Aktivitas pelayaran dengan kapal atau perahu tradisional di sebagian wilayah timur Indonesia mulai menurun relatif drastis. Model pelayaran tradisional sebagai salah satu identitas budaya kemaritiman ini kian terdesak modernisasi teknologi pelayaran yang kian berkembang.
Kondisi itu nyata terjadi di Pulau Binongko, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Beberapa tahun belakangan ini, sejumlah nakhoda kesulitan mencari sawi (anak buah kapal atau perahu) untuk tenaga berlayar. Nakhoda yang masih aktif sebagian berusia di atas 60 tahun.
Tenaga ahli Program Keluarga Harapan Kementerian Sosial untuk bidang koordinator wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, Abdul Rahman Hamid, mengatakan hal itu, Kamis (6/7), di Depok, Jawa Barat. “Dulu anak-anak antre untuk ikut menjadi sawi pada musim berlayar,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kini, katanya, tidak lagi. Dia bertemu nakhoda berusia sekitar 70 tahun yang menceritakan bahwa anak-anaknya tak ada yang mau diajak berlayar. Menurut Abdul yang tengah menempuh studi doktoral di Universitas Indonesia tentang pelayaran orang Mandar, para pelaut yang bertahan melaut masih menerapkan tradisi seperti nenek moyang mereka. Saat berlayar ke Nusa Tenggara Timur guna menjual kayu yang diangkut dari Sampolawa, Buton Selatan, Sulawesi Tenggara, misalnya, pelaut berlayar pada musim angin barat. Untuk kembali ke Binongko, mereka menunggu satu musim berlalu. Padahal, mereka menggunakan kapal bermesin.
“Armada (kapal) mereka pakai mesin, tetapi waktu berlayar (saat ini) sama seperti tradisi lama mereka. Ini memori lama dan ada pula ritual-ritual sebelum berangkat,” ujar Abdul. Ia menambahkan, terdapat kecenderungan para pelaut itu memelihara dan menjaga tradisi sekalipun paparan modernisasi juga terjadi.
Surut
Tentu saja jika dibandingkan dengan kondisi pada abad sebelumnya, pelayaran oleh para pelaut Binongko telah menurun relatif jauh dan dalam. Arsip pada 1911, misalnya, menunjukkan sebuah catatan militer di Buton tentang keberadaan 300 perahu atau kapal, 100 perahu di antaranya berada di Binongko.
Pada tahun 1937 tercatat ada 129 anggota Rukun Pelayaran Indonesia (Rupelin). “Dari jumlah itu, 12 anggota di antaranya berasal dari Binongko,” kataAbdul.
Rupelin terkait dengan Partai Indonesia Raya (Parindra). Rupelin didirikan setahun setelah Kongres Persatuan Bangsa Indonesia digelar di Malang, Jawa Timur, pada April 1934. (Ensiklopedi Umum, Shadily, 1977)
Antropolog maritim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dedi S Adhuri, mengatakan, aktivitas pelayaran tradisional di perairan Tual dan Ambon, Maluku, cenderung mulai habis. Pelayaran tradisional yang dahulu memegang peranan penting dalam perpindahan barang antarpulau kini digantikan oleh kapal-kapal kargo pengangkut kontainer.
Padahal, kata Dedi, hingga 2003 pulau-pulau besar di Indonesia masih tersambung dengan aktivitas pelayaran tradisional. Namun, kini, total aktivitas tersebut tinggal setegahnya saja.
Ia mengatakan, kecepatan pelayaran modern dengan kapal kargo pengangkut kontainer menjadi nilai lebih yang membedakan dengan pelayaran tradisional. Faktor keselamatan dengan jaminan asuransi yang diberikan turut menjadi faktor penarik dibandingkan pelayaran tradisional. Padahal, pelayaran tradisional sebagai pilar kebudayaan maritim menjadi sangat penting. Apalagi jika dikaitkan dengan konsep poros maritim, dengan orientasi kenegaraan pada bidang kelautan. (ICH/INK)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Juli 2017, di halaman 14 dengan judul “Aktivitas Pelayaran Tradisional Menurun”.