HEBOH kecil isu plagiat yang dilakukan oleh seorang penulis disertasi untuk mencapai gelar doktor menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat tentang integritas dan kualitas universitas di Indonesia. Betapa tidak, karena heboh kecil tersebut menimpa universitas yang selama ini dikenal sebagai salah satu center of excellence dan bahkan merupakan universitas terbaik di Indonesia menurut laporan BAN (Badan Akreditasi Nasional). Lagi pula, heboh tersebut menyangkut disertasi doktor (S3) yang diisukam menjiplak skripsi sarjana (S1). Terlepas dari persoalan siapa yang bersalah ataupun yang bertanggung jawab tentang munculnya heboh ini kita perlu prihatin dan memetik segala hikmah dari peristiwanya.
Tanpa terpaku pada penyelesaian kasus itu sendiri kita dapat mengajukan beberapa alasan mengapa kasus ini memicu keprihatinan umum tentang dunia akademis kita. Pertama-tama, isu tentang ”penjiplakan karya ilmiah” sebenangva sudah berulang kali terjadi di kampus. Dan itu tidak hanya menimpa mahasiswa yang menulis disertasi (S3), tesis (S2), atau skripsi (S1), tetapi juga dosen yang mencari kum (angka kredit kumulatif) untuk kenaikan pangkat. Dan ini semua terjadi tidak hanya di satu kampus tetapi di beberapa kampus.
Dengan rasa prihatin kita perIu bertanya, apakah ”penjiplakan karya ilmiah” memang merupakan bahaya laten di dalam dunia akademis kita, sehingga harus selalu diwaspadai? Atau sebaliknya, apakah karya ilmiah yang menjadi persyaratan pemberian gelar dan kenaikan pangkat itu dapat dipandang sebagai akal-akalan saja, sehingga dapat dipenuhi secara akal-akalan juga? Artinya, persyaratan itu sekadar mempersulit dan tidak memiliki validitas apapun. Atau lebih lagi, mengapa masyarakat kita menganggap gelar dan pangkat itu sedemikian penting sehingga semua cara –termasuk cara akal-akalan– ditempuh dalam pencapaian gelar atau pangkat tanpa mengkaitkannya dengan tanggung jawab yang inherent di dalamnya?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kedua, isu penjiplakan itu menimpa disertasi S3, sedang yang dijiplak adalah skripsi S1, sehingga kita jadi bertanya-tanya tentang kriteria penjenjangan pendidikan tinggi menjadi strata satu (S1), strata dua (S2), dan strata tiga (S3). Apakah kriteria itu sebegitu kaburnya sehingga perbedaan antara karya ilmiah tingkat doktor dan tingkat skripsi sulit ditentukan dalam proses penyelesalannya sehigga mahasiswa tidak memiliki pegangan? Ataukah karena kampus-kampus center of excellence yang menjadi lembaga penyelenggara program doktor menganut faham ”doktor pendorong”, yang kabarnya pernah dianjurkan oleh salah seorang pejabat Depdikbud sekitar dua dekade lalu?
Ketiga, isu penjiplakan ini tidak mustahil akan berdampak luas, karena kita memiliki pepatah yang mengajarkan bahwa ” guru kencing berdiri, murid kencing berlari”—artinya bila praktek tidak terpuji macam itu bisa terjadi di universitas unggulan, tentunya sangat tidak mengherankan lagi bila terjadi di kampus-kampus lainnya. Apalagi, dewasa ini tengah terjadi perlombaan di kalangan universitas swasta untuk membuka program doktor dalam program pascasarjana mereka. Lalu, apa hikmahnya bagi kita yang telah memasuki millennium baru?
AKHIRNYA dengan mengasumsikan bahwa setiap pembukaan program studi doktor secara manajerial telah memenuhi syarat, sebenarnya program doktor kita masih tergolong kurang produktif. Artinya beban tugas dosen untuk penanganan mahasiswa penulis disertasi belum optimal apalagi overload, berlebihan. Jumlah mahasiswa program S3 masih sedikit dan lebih sedikit lagi jumlah yang menyelesaikan disertasi. Jadi jumlah permasalahan kompleks yang dihadapi masyarakat kita dalam perjalanan reformasi total masih begitu banyak yang belum tersentuh disertasi. Dan kita tentunya bukanlah masyarakat pertama yang menghadapi dan harus memecahkan masalah sedemikian kompleks, sehingga di sudut-sudut pustaka dunia tentu tersedia bahan acuan untuk dasar teori maupun kerangka pikir disertasi.
Bahkan permasalahan-permasalahan yang sudah disentuh disertasi pun masih dapat diperdalam lebih lanjut. Bukankah masyarakat kita yang sangat majemuk ini telah menarik begitu banyak penulis disertasi dari berbagai penjuru dunia, AS, Kanada, Eropa Barat, Australia, Jepang, bahkan juga Korea. Jadi masalahnya adalah bagaimana menjangkau hasil penelitian mereka itu, yang umumnya selain berbentuk disertasi juga makalah-makalah seminar dan artikel dalam berbagai jurnal ilmiah.
Berbagai pembicaraan sekitar millennium baru ini, termasuk Y2K, telah membuka kesadaran kita tentang betapa terbukanya dunia informasi ini dan kita pun telah masuk ke jaringan virtual yang dibentuknya. Maka, banyak jalan yang bisa ditempuh untuk menjangkau informasi dan khazanah dunia ilmiah.
Bila kita bukan ”mahluk tulis” –karena malas menulis surat dalam korespondensi profesional– tetapi ”mahluk penonton”, yang senang menonton layar teve, maka tanpa harus berjerih payah mengubah kebiasaan kita dapat mencari informasi di ujung jari. Hampir semua jurnal ilmiah, buku, atau badan penerbitnya kini dapat diakses melalui internet, asosiasi profesi dan para penulis dapat dihubungi melalui e-mail dan faksimili, kalau tidak masuk ke jaringan internet atau homepage.
Banyak lembaga yang memasang pengumuman, termasuk ”lomba proposal” disertasi di jaringan virtual itu. Marketing Science Institute (MSI) Cambridge (Massachusetts), misalnya memasang lomba semacam itu di homepage, di samping publikasi tradisional. Seorang mahasiswa (pascasarjana) yang berminat tentang ”Wacana Gender” di tahun perempuan, misalnya, dapat mengakses ke Journal of Communication dan membaca plus memperoleh print out rangkaian artikelnya tanpa harus berlangganan jurnal tersebut atau menjadi anggota asosiasi komunikasi internasional yang menerbitkan jurnal itu. Demiklan juga, bila ingin memperdalam pemahaman tentang bagaimana konsumen berperilaku dapat buka-buka dan Iihat-Iihat Journal of consumer Research, Marketing News atau Journal of Marketing tanpa menjadi anggota asosiasi yang bersangkutan atau pelanggan jurnal-jurnaI itu. Singkat kata, inisiatif dan kesungguhan minat kita betuI-betuI tertantang tanpa harus berdalih adanya hambatan finansial yang besar.
BAGI pimpinan dan staf universitas milennium baru juga membawa tanggung jawab yang lebih berat Iagi. Penjiplakan karya iImiah bisa menjadi makin marak, karena terbukanya saluran informasi dan ilmu pengetahuan melalui jaringan virtual itu. Jumlah karya iImiah, termasuk abstrak buku, isi jurnal iImiah, dan paper-paper seminar internasional yang tersaji di internet terus bertambah. Akibatnya, mahasiswa penulis skripsi, tesis, ataupun disertasi memiliki pilihan sumber yang makin banyak lagi, selain skripsi, tesis, dan disertasi terbaik yang tersimpan di perpustakaan universitas-universitas dan menjadi makalah-makalah baik yang sudah diterbitkan maupun diseminarkan. Kehadiran internet sebagai sumber ”bahan jiplakan” ini perlu mendapat perhatian serius agar ”bahaya laten” di dunia akademis kita tidak berubah menjadi ”wabah” terutama karena ”kunjungan” ke internet sudah membudaya di kalangan kaum muda, termasuk mahasiswa, sementara para dosen senior kita masih terkesan enggan.
Tak ayal kehadiran internet sebagai sumber informasi ilmiah perlu disikapi secara bijak. Di satu pihak kemanfaatannya perlu disikapi secara positif karena dapat mempercepat dan mempermudah perolehan informasi bagi mahasiswa. Namun, di lain pihak bahayanya perlu diwaspadai, karena dapat menghambat pemikiran dan pemahaman pribadi.
“Buletin Marketing Education terbitan American Marketing Association, misalnya, baru-baru ini melaporkan hasil survai di kalangan mahasiswa yang menunjukkan bahwa 11 persen mahasiswa pemasaran pernah menyerahkan non-original papers –paper yang bukan hasil pemikiran dan jerih payahnya sendiri– yang dicontek dari internet. Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan para dosen, karena tidak mustahil hal ini merupakan manifestasi dari fenomena gunung es dengan bahaya tidak nampak yang jauh lebih besar. Maka para dosen sepakat untuk lebih aktif melakukan dua hal: pertama, mengembangkan pengetahuan di bidang keahlian profesi dan spesialisasi, melalui berbagai media, termasuk kebiasaan menggunakan TV dan world wide web.
Artinya, kebiasaan textbook thinking yang ketinggalan zaman namun masih menghinggapi sebagian kecil dosen harus dibuang jauh-jauh. Kedua, dosen lebih giat ”menjirat mahasiswa dengan bacaan” (book students on reading). Langkah kedua ini hanya dapat dilakukan secara efektif bila dosen rajin menghadiri seminar ilmiah yang secara teratur diselenggarakan oleh asosiasi profesional baik pada tingkatan regional, nasional, maupun internasional, yang umumnya dihadiri oleh para akademisi kampus maupun para praktisi perusahaan. Dengan begitu, orientasi bacaan bagi mahasiswa lebih membumi dan antisipatif. Dalam milenium yang penuh dengan perubahan cepat on the information superhighway dan cyberspace marketing, berhenti melangkah maju berarti kemunduran. Singkatnya membaca dan mengasah pikiran bukanlah satu kebutuhan pilihan, melainkan satu-satunya cara untuk bertahan dalam perubahan dan persaingan.
Dengan kedua langkah itulah, upaya dosen “menjirat mahasiswa pada bacaan” dapat menghasilkan interaksi yang menarik dan mengasyikkan. Mahasiswa dan dosen sama-sama ”mengunjungi” perpustakaan ataupun website untuk bahan-bahan yang relevan dengan materi kelasnya. Diskusi dan paper-paper menunjukkan upaya penyelaman dalam berbagai pemikiran tentang aspek-aspek masalah yang selalu kompleks. Dalam hal ini yang penting adalah bahwa semua pihak dipaksa berpikir dan ditantang kemampuannya berenang dalam arus kemajuan dengan menyelami berbagai pemikiran yang berkembang. Kepasifan dan menerima jadi pola pikir atau paradigma tradisional menjadikannya orang asing di diskusi kelas.
Reformasi total dalam masyarakat majemuk, yang menghadapi banyak permasalahan kompleks, memberikan tantangan yang luar biasa besar bagi mereka yang ingin memahami, menjelaskan, dan memecahkannya secara konseptual. Dan bantuan untuk itu tersedia secara terbuka dalam jaringan virtual yang kini menjadi kekuatan utama revolusi informasi dunia. Tentu tantangan-tantangan ini tidak akan disia-siakan oleh anggota masyarakat akademis yang menjunjung tinggi integritas dan kualitasnya.
Andre Hardjana, bekas Rektor Muda dan Dekan, kini seorang dosen senior di Universitas Katolik Atma Jaya dan Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Sumber: Kompas, 11 Februari 2000