Di depan ribuan peserta konferensi Google Cloud Next 2017 di San Francisco, Amerika Serikat, awal Maret lalu, satu per satu petinggi Google naik podium, seperti CEO Google Sundar Pichai dan Chairman Alphabet Eric Schmidt. Namun, bintang pada acara itu adalah Fei-Fei Li, Kepala Ilmuwan Artificial Intelligence dan Machine Learning Google.
Google percaya, artificial intelligence (AI/kecerdasan buatan) adalah senjata pamungkas untuk mendobrak kemapanan bisnis layanan komputasi awan yang dikuasai rival- rivalnya, seperti Amazon Web Service, Microsoft, dan IBM. Fei-Fei Li didapuk mengepalai unit kecerdasan buatandan machine learning sebagai bagian dari strategi bisnis Google di layanan “awan”.
Kecerdasan buatan Google yang bisa dinikmati sehari-hari, misalnya, adalah asisten pribadi Google Now yang terpasang di ponsel Android. Machine learning juga dipakai pada Google Photos sehingga bisa melakukan tagging foto secara otomatis atau mendeteksi wajah orang di album foto. Produk lain, misalnya, asisten pribadi berupa pelantang suara pintar Google Home.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada konferensi yang berlangsung di gedung Moscone Center, Li, perempuan kelahiran 41 tahun lalu itu, menekankan kian pentingnya peran kecerdasan buatan dalam sejumlah bidang. Namun, ia menyebut, tidak semua pihak bisa mengadopsi atau menjangkaunya.
“Untuk itu, harus dilakukan demokratisasi AI, membuatnya terjangkau bagi semua. Karena AI membutuhkan sumber daya di mana orang atau perusahaan sulit untuk menjangkaunya,” kata Li.
Berbicara mengenai demokratisasi AI, Li menekankan ada empat langkah yang perlu dilakukan. “Langkah itu adalah demokratisasi komputasi, demokratisasi data, demokratisasi algoritma, dan demokratisasi keahlian,” kata Li.
KOMPAS/PRASETYO EKO PRIHANANTO–Fei-Fei Li, Kepala Ilmuwan Artificial Intelligence dan Machine Learning Google, saat berbicara di acara Google Cloud Next 2017 di Moscone Center, San Francisco, Amerika Serikat, awal Maret lalu.
Keempat langkah itu, menurut Li, sudah tercakup dalam layanan komputasi awan Google. “Jika AI bisa tersedia bagi banyak orang, kita bisa menjadi saksi peningkatan kualitas hidup yang luar biasa. Itulah mengapa memberikan layanan machine learning dan AI melalui Google Cloud membuat saya bersemangat,” katanya.
Infrastruktur yang dimiliki Google, kata Li, akan menjadi solusi agar siapa pun bisa mengembangkan aplikasi atau layanan cerdas berbasis data tanpa investasi yang besar. Semua bisa memanfaatkan kekuatan itu. “Mulai dari bisnis keuangan, manufaktur, ritel, kesehatan, hingga pertanian. Tinggal sebut saja,” kata Li, yang sebelum ke Google adalah ahli AI di Universitas Stanford.
Pindah ke awan
Eric Schmidt menambahkan, saat ini, tidak masuk akal sebuah perusahaan berinvestasi jutaan dollar AS hanya untuk membangun pusat data sendiri karena ada layanan cloud. Bos perusahaan induk Google ini menegaskan, perusahaan sebaiknya menginvestasikan uangnya pada hal lain. “Pindah ke awan sekarang juga, jangan tunggu lagi,” ujar Schmidt.
Pada konferensi itu juga, Senior Vice President Google Cloud Diane Greene bersama Chief Product Officer eBay RJ Pittman memperagakan bagaimana perusahaan memanfaatkan machine learning dalam layanannya terhadap konsumen, memakai Google Home, asisten pribadi berbentuk tabung pelantang suara dari Google.
Pittman berdialog dengan tabung itu untuk menanyakan berapa harga kamera Canon yang ia miliki. “Hai Google, bicara dengan eBay,” kata Pittman memulai pembicaraan. Google Home menjawab, “Tentu, ini eBay.” Setelah berdialog layaknya berbicara dengan sesama manusia, Pittman mendapat jawaban dari Google Home berapa harga kameranya.
Cahaya di kegelapan
Li juga menunjukkan kekuatan machine learning Google saat meluncurkan fitur baru, Cloud Video Intelligence API (application programming interface). “Ratusan jam video diunggah setiap menit. Kekayaan isi video menjadi tantangan teknologi selama bertahun-tahun. Faktanya, banyak dari kami, ilmuwan komputer, memandang video sebagai materi gelap dalam jagat digital. Hari ini, saya dengan gembira meluncurkan API yang benar-benar baru, didukung machine learning, yaitu Video Intelligence API,” kata Li
Menurut dia, fitur ini adalah lompatan besar karena selama ini, komputer belum bisa memahami apa isi sebuah video tanpa dilakukan tagging secara manual.
“Kami kini mulai menemukan cahaya di dalam materi gelap jagat digital,” ujar Li mengenai Video Intelligence API yang masih dalam versi private beta itu.
Dalam demo yang dilakukan Google di podium konferensi, terlihat bagaimana Video Intelligence API bekerja. API itu langsung mengenali apa isi potongan gambar dalam video sebuah iklan Superbowl. Ia bisa mengenali anjing, pemandangan, dan pegunungan.
Dalam demo lain, dengan hanya mengetik kata pantai dalam kotak pencarian, muncul semua potongan gambar pantai, menunjukkan di mana potongan video berisi gambar pantai itu dari tumpukan video yang tersimpan.
Dengan sejumlah keunggulan yang dimiliki, layanan Google Cloud memungkinkan penggunanya menciptakan aplikasi yang bisa melihat, mendengar, dan memahami data yang tak beraturan.
Terjangkaunya AI dan machine learning oleh komunitas pengembang, pengguna, dan perusahaan itulah yang dimaksudkan Li sebagai demokratisasi kecerdasan buatan.(PRASETYO EKO P)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 April 2017, di halaman 26 dengan judul “Demokratisasi Kecerdasan Buatan”.