Sukacita terpancar di wajah Arief Faqihudin (21), Silva Eliana (22), dan tiga rekannya begitu dewan juri menyatakan mereka menang. Tim Coass dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu memenangi kompetisi model bisnis tingkat ASEAN, Espriex 2017, di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Rabu (22/3) petang. Temuan bisnis mereka adalah Coass, aplikasi konsultasi online dokter gigi.
Para juara itu membawa pulang hadiah senilai 5.000 dollar atau Rp 66 juta (kurs Rp 13.200 per dollar). Mereka sekaligus ditantang ikut kompetisi lebih besar mewakili ASEAN pada Kompetisi Model Bisnis Internasional di Museum Sejarah Komputer, di Silicon Valley, California, Amerika, 11-12 Mei mendatang.
Coass, model bisnis yang dibuat oleh tim Coass, mengalahkan empat karya (4 tim) lain yang masuk ke final. Keempatnya ialah Olride dari Universitas Brawijaya (UB), Atfire juga dari UB, Edu Tech dari International Islamic University of Malaysia, dan Runnex dari Chulalongkorn Thailand.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebelum mengerucut menjadi lima tim, ada 25 tim yang masuk ke putaran semifinal. Mereka menyisihkan 627 tim dari 181 universitas dari enam negara di ASEAN. Espriex 2017 ini sendiri merupakan gelaran keempat yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UB bekerja sama dengan Universitas Brigham Young, Universitas Harvard, dan Universitas Stamford.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO–Tim Coass dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menjadi pemenang kompetisi model bisnis tingkat ASEAN Espriex 2017 di Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, Rabu (22/3). Di babak grand final, tim Coass menyingkirkan empat tim lain dari dalam dan luar negeri.
Coass merupakan sebuah aplikasi berwujud website yang diperuntukkan bagi para dokter gigi muda yang tengah menempuh gelar profesi atau co-assistant (coass). Selama menjalankan coass, para sarjana kedokteran gigi biasanya kesulitan mencari calon pasien yang jumlahnya cukup banyak.
“Aplikasi ini bisa membantu para dokter muda (sarjana kedokteran) terhubung dengan pasien. Calon pasien bisa mendaftar melalui aplikasi ini. Mereka juga bisa konsultasi gigi gratis. Ada dokter konsultan yang siap menjawab,” tutur Silva yang masih duduk di bangku semester akhir Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada.
Kompas yang penasaran mencoba membuka laman coass.id. Pada halaman depan terdapat penjelasan tentang aplikasi tersebut. Di dalamnya terdapat empat keuntungan apabila pasien periksa ke co-assistant, meliputi biaya terjangkau (konsultasi dan penanganan lebih murah 50 persen); pengawasan (praktik coass dipantau langsung dokter gigi profesional); berkualitas (kualitas dapat dipertanggungjawabkan); dan jadwal fleksibel (menyesuaikan pasien dan sang dokter muda).
“Pasien terbantu. Dari sisi dokter muda juga terbantu. Mereka bisa lebih cepat lulus karena lebih cepat mendapatkan pasien. Dalam kondisi normal, coass membutuhkan waktu 1,5-2 tahun bahkan bisa lebih,” kata Silva.
Arif menjelaskan, awalnya ide membuat aplikasi Coass berasal dari dirinya dan Silva. Arif adalah mahasiswa Fakultas Teknik UGM. Karena tidak memiliki latar belakang pemrograman website, mereka lalu menggandeng empat mahasiswa Fakultas MIPA di kampus yang sama.
Ide pertama muncul November 2016. Pada bulan yang sama Coass didaftarkan mengikuti Asia Social Innovation Award 2016 di Hongkong (lomba digelar Februari 2016). Coass satu-satunya tim yang mewakili Indonesia dan harus bersaing dengan 10 negara lain di Asia, seperti India, Singapura, Korea Selatan, dan Thailand.
Hasilnya, Coass yang digawangi Arif, Silva, Ilham Imaduddin (22), Damar Adi Prabowo (22), Ahmad Shalahuddin (22), Andhika Kurnia Harryajie (22), dan Ratihana Nurul (23), serta Bella Syaifillah (20) itu menyabet gelar Best Start-up Regional Indonesia dan peringkat ke-4 se-Asia. “November kami punya ide membuat Coass. Lalu kami daftar untuk ikut lomba di Hongkong dan sebulan penuh ngebut sehingga pada Januari 2017 kami sudah punya website,” kata Arif.
Berbeda dengan karya yang dibuat oleh tim Coass, tim Olride dari UB membidik pelayanan perbaikan kendaraan bermotor sebagai obyek. Olride keluar sebagai runner-up Espriex 2017.
Ketua Olride Faza Abadi mengatakan, aplikasi yang ia buat bersama tim membantu para pemilik melakukan perawatan kendaraan. Olride merupakan aplikasi pemesanan reparasi bengkel. Sejak diluncurkan 17 Agustus 2016, Olride sudah aktif di 30 kota, paling banyak di Surabaya dan Malang. Hingga saat ini, Olride telah di-booking sekitar 400 kali.
Pengguna Olride tidak terbatas mahasiswa, tetapi juga karyawan dan pegawai kantor yang tidak memiliki banyak waktu di bengkel. Selain fitur booking servis, Olride juga menyediakan fitur lain, seperti chatting dengan pihak bengkel, pengingat (reminder) perawatan rutin, perpanjangan SIM, STNK, dan pajak kendaraan.
“Kami sudah bekerja sama dengan 190 bengkel, paling banyak di Surabaya dan Malang. Di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta juga ada,” kata Faza. Menurut Faza, sejauh ini Olride merupakan satu-satunya aplikasi booking service umum yang ada di Indonesia. Yang sudah ada adalah fitur serupa milik produsen kendaraan.
Ide awal Olride dicetuskan oleh Faza yang terinspirasi saat dirinya harus menunggu servis kendaraan selama 3-4 jam di Surabaya. Pengembangan Olride menjadi model bisnis didukung oleh tiga tim, yakni bagian program, desain tampilan, dan bisnis. Olride hasil kolaborasi mahasiswa UB, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, dan Politeknik Elektronik Negeri ITS Surabaya.
Ide-ide brilian ini pun diakui oleh para juri Espriex 2017. Salah satu juri, Sunu Widyatmoko, mantan Presiden Direktur PT Indonesia AirAsia, mengatakan, ide-ide yang ditampilkan mahasiswa benar-benar asli (genuine) dan rata-rata bagus, baik itu tim dari dalam ataupun luar negeri.
Ketua Panitia Ahli Espriex 2017 Brillyanes Sanawitri mengatakan, ajang rutin ini memang bukan sekadar kompetisi, melainkan bagaimana menyebarkan semangat jiwa entrepreneurship kepada generasi muda.(DEFRI WERDIONO)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Maret 2017, di halaman 12 dengan judul “Adu Kreatif Model Bisnis Berbasis Aplikasi”.