SELAMA beberapa dasawarsa, semen dan berbagai produk hilirnya menjadi material andalan pembangunan berbagai infrastruktur dan belum tergantikan sampai sekarang. Lumpur Lapindo disebut-sebut dapat dijadikan bahan alternatif pengganti semen, namun, penelitiannya hingga saat ini
belum final dan masih membutuhkan pendalaman.
Ketergantungan masyarakat pada semen juga tak terbendung. Konsumsi semen dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Dengan dimulainya beberapa proyek infrastruktur secara besar-besaran sejak pertengahan 2011 menyebabkan permintaan semen meningkat pesat menembus angka 48 juta ton penjualan. Dirjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindus-trian Panggah Susanto memprediksi pada tahun 2012 volume penjualan semen meningkat menjadi 52 juta ton, setara dengan pertumbuhan ekonomi.
Seperti kita ketahui, semen merupakan bahan yang digunakan untuk merekatkan bahan bangunan. Kata semen berasal dari bahasa Latin caementum, artinya “memotong menjadi bagian-bagian kecil tak beraturan”. Perekat dan penguat bangunan ini awalnya merupakan hasil percampuran batu kapur dan abu vulkanis. Fungsi semen dikenal sejak zaman Romawi, tepatnya di Pozzuoli, Italia. Bubuk itu lantas dinamai pozzuolana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Baru pada abad ke-18 (ada juga sumber yang menyebut sekitar tahun 1700-an M), John Smeaton, insinyur asal Inggris, menemukan kembali ramuan kuno berkhasiat luar biasa ini. Dia membuat adonan dengan memanfaatkan campuran batu kapur dan tanah liat saat membangun menara suar Eddystone di lepas pantai Cornwall, Inggris.
Joseph Aspdin (juga insinyur berkebangsaan Inggris) pada 1824 mengembangkan semen Portland. Dinamakan Portland karena warna hasil akhir olahannya mirip tanah liat Pulau Portland, Inggris. Hasil rekayasa Aspdin inilah yang kini banyak ditemui di toko-toko bangunan.
Aspdin sesungguhnya tak jauh beda dari Smeaton yang mengandalkan dua bahan utama, batu kapur (kaya akan kalsium karbonat) dan tanah lempung yang banyak mengandung silika (sejenis mineral berbentuk pasir), aluminium oksida (alumina) serta oksida besi. Bahan-bahan itu kemudian dihaluskan dan dipanaskan pada suhu tinggi sampai terbentuk campuran baru. Selama proses pemanasan, terbentuklah campuran padat yang mengandung zat besi. Agar tak mengeras seperti batu, ramuan diberi bubuk gips dan dihaluskan hingga berbentuk partikel-partikel kecil mirip bedak.
Bahan Alternatif
Sampai saat ini bahan baku semen belum tergantikan. Ada upaya pencarian bahan alternatif pengganti semen, misalnya dengan menggunakan flay ash, yakni abu sisa pembakaran batubara pada PLTU, namun masih diteliti dampak negatifnya.
Bahan lain yang diklaim dapat menggantikan material semen adalah lumpur Lapindo, Sidoarjo, sebagaimana pernah dipopulerkan pakar Fisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Prof. Dirmanto. Menurutnya, lumpur yang keluar dari bekas lubang pengeboran Lapindo Brantas Inc itu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku semen (portland).
Dalam penelitian tersebut, eksperimen dilakukan lewat pembuatan paving blok dengan mencampurkan lumpur Lapindo sekitar 20 – 60 persen. Hasilnya cukup bagus, kekuatan tekannya bisa dua kali lebih kuat daripada paving blok biasa.
Setelah diuji di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan (FMIPA) ITS Surabaya, lumpur Lapindo mengandung pasir silika (SiO2). Pasir silika merupakan salah satu komponen utama dalam pembuatan semen. Dari hasil pencampuran bahan-bahan pembuat semen tadi, seperti kapur, pasir silika dan zat aditif lainnya, menghasilkan larnit yang berbentuk gumpalan-gumpalan. Agar berbentuk serbuk halus harus dipanaskan.
Hasil eksperimen menyimpukan, larnit dari semen lumpur Lapindo mencapai 59 persen. Sementara semen (portland) komersial, kandungan larnitnya sebesar 61 persen. Namun, larnit dari lumpur Lapindo ini sebenarnya masih bisa ditingkatkan lagi dengan dipanaskan hingga 1.400 derajat karena saat pengujian hanya dipanaskan hingga 120 derajat Celcius.
Meskipun skala uji laboratorium hasilnya sudah memuaskan, namun penggunaan lumpur Lapindo sebagai bahan baku semen belum bisa dimanfaatkan secara komersial. Masih menunggu hasil penelitian lanjutan yang lebih serius.
Dosen ITS Januarti Jaya Ekaputri, lewat disertasi doktornya memaparkan, kandungan kimia pada lumpur Lapindo nyaris sama dengan flay ash, hanya berbeda pada sifat fisiknya. Pada lumpur tidak bisa dicampurkan begitu saja, tapi harus ada bahan kimia sebagai aktifator. Kita tunggu saja hasil finalnya. (24)
Kawe Shamudra, penulis lepas, tinggal di Batang
Sumber: Suara Merdeka, 23 April 2012