Indonesia telah mendapatkan enam AKAA, di luar penghargaan AKAA untuk keterpaduan landscape Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jawa Barat yang akan diterimakan petang ini (25/11) di Keraton Surakart Hadiningrat.
ENAM penghargaan itu diberikan kepada Program Perbaikan Kampung (KIP) di Jakarta dan Surabaya (1980 dan 1986), Proyek peremajaan kota di Samarinda atau lebih dikenal sebagai Citra Niaga (1989), Kampung Kebalen di Surabaya dan Mesjid Said Na’um di Tanahabang, Jakarta (1986), Pondok Pesantren Pabelan (1980), serta Perkampuggan Kali Code (1992).
Hampir semua penghargaan masuk ke dalam kategori yang memberikan penelaahan dan wacana sosial serta panelaahan atas wacana arsitektural dan urbanistik. Sementara Bandara Soekarno-Hatta yang dirancang oleh arsitek Paul Andreu dari Aeroport de Paris itu masuk ke dalam kategori proyek yang mengetengahkan konsep-konsep inovatif yang pantas diperhatikan. Kategori terakhir ini, menurut beberapa sumber merupakan kategori baru yang dimulai tahun ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
AKAA untuk enam proyek terdahulu di Indonesia memberikan penekanan yang kuat kepada proses. Ini penting mengingat konsep dasar dan filosofi yang ada di balik pemberian AKAA: menempatkan manusia sebagai subyek, bukan obyek yang harus digusur atau dicampakkan dari pembangunan kota.
Selain Bandara Soekarno Hatta yang dalam jajaran bandara-bandara internasional di dunia, memang indah, keenam proyek lainnya merupakan bangunan-bangunan yang tidak amat luar biasa, namun amat bercorak kerakyatan. Konon, karena itu pula ada pejabat yang enggan menghadiri penyerahan AKAA di suatu negara karena proyek yang menang dari Indonesia bukan proyek yang spektakuler.
BAGAIMANA nasib beberapa proyek yang pernah mendapatkan AKAA? KIP yang diakui, amat bermanfaat bagi masyarakat urban miskin di kota-kota besar itu –yang bahkan pernah menjadi model peningkatan kualitas lingkungan masyarakat bawah di perkotaan pada kota-kota besar di beberapa negara itu– kini nyaris tak terdengar lagi gaungnya.
Padahal dengan program KIP, infrastruktur yang dibangun tidak tanggung-tanggung, mulai dari jalan lokal, jalan setapak, saluran pembuangan, pasokan air bersih dan pembuangan sampah domestik secara kolektif. Proyek KIP membuat kondisi lingkungan hidup masyarakat kampung menjadi lebih baik dan nilai tanah menjadi lebih tinggi.
Namun beberapa lokasi KIP di Jakarta sudah tak ada Iagi bekasnya dan digantikan oleh bangunan-bangunan baru yang tinggi, modern, dan megah. Di tempat itu tak ada lagi penduduk asal. Mereka pindah entah ke mana, dengan uang ganti rugi yang besarnya bervariasi, bergantung pada hak kepemilikan mereka atas tanah dan bangunan yang mereka huni selama puluhan tahun. Namun belum ada penelitian akurat yang menguak nasib mereka setelah tergusur.
Yang ada hanyalah asumsi dan kasus-kasus yang membuktikan, uang ganti rugi itu bermanfaat untuk meningkatkan kualitas kehidupan mereka. Atau sebaliknya, mereka menjadi makin miskin karena tidak terbiasa memegang banyak uang, lalu bermain spekulasi atau menghambur-hamburkannya.
Sementara cara lain dengan mengikutsertakan rakyat pemilik tanah sebagai pemilik modal atas bangunan baru yang ada pada bekas lokasi tanah mereka, belum bisa diterapkan dengan baik, karena munculnya kecurigaan yang kuat kepada swasta sebagai pihak yang hanya mau untung saja, tanpa peduli dampak sosial pembangunan proyek mereka pada suatu lokasi tertentu. Sementara swasta pun tidak suka pada proses panjang dan bertele-tele, karena waktu berarti bunga bank. Cara lain lagi seperti konsolidasi lahan juga tidak mudah diterapkan.
Beberapa lokasi KIP yang strategis di Surabaya pun tampaknya membutuhkan upaya keras untuk mempertahankannya, karena kota semakin berkembang dan investor membutuhkan tanah untuk membangun. Apalagi, kota terbesar kedua di Indonesia itu merupakan salah satu pintu gerbang ke kawasan timur Indonesia.
BAGAIMANA dengan peremajaan model Citra Niaga di Samarinda, Kalimantan Timur? Prayek-proyek seperti ini tampaknya juga sukar direplikasi. Peremajaan pasar pada hampir semua kota besar selalu mencampakkan pedagang kecil ke pinggiran, karena mereka tidak akan mampu membayar harga ruangan di dalam pasar. Peremajaan Pasar Beringharjo di Yogyakarta hanyalah satu di antaranya.
Ide pembangunan Citra Niaga didapat Gubernur Kaltim saat itu, H. Suwandi dari, Quincy Market di Boston, AS. Pasar ini dikhususkan bagi pejalan kaki dan memberi tempat strategis bagi pedagang kecil. Gubemur lalu mengundang para penguasaha muda untuk mengembangkan konsep pembangunan di Citra Niaga menjadi suatu yang istimewa. Istimewa bukan hanya karena rancangan arsitekturalnya, melainkan terutama dari kerja sama dan saling bantu antara pemerintah daerah sebagai pemilik tanah, developer swasta yang membangun, arsitek yang membuat rancangan berdasarkan masukan dari masyarakat dan Lembaga Studi Pembangunan (LSP), serta lembaga pengembangan swadaya masyarakat (LPSM) yang bertindak sebagai konsultan pembangunan yang melakukan studi sosial mangembangkan sumberdaya masyarakat dan sebagai katalisator.
Hampir bersamaan dengan selesainya pembangunan itu, dibentuk kaperasi pedagang kecil yang memberikan bantuan modal kepada angggota dan memberikan beasiswa sekolah bagi anak-anak mereka.
Dewan juri AKAA saat itu menganjurkan, konsep Citra Niaga bersifat generik dan dapat diterapknan di kota lain.
Cara ini dapat menjamin kelangsungan daya guna dalam menghadapi masa mendatang yang majemuk dan kepentingan niaga harus dimanfaatkan untuk proses pengembangan kota yang lebih merata.
Namun proses selanjutnya di atas bekas kompleks pertokoan Taman Hiburan Gelora yang terbakar tahun 1971, 1975, dan 1979 itu juga tak mudah. Proses pembangunan kembali kompleks perumahan berjalan amat alot, khususnya setelah Suwandi tidak lagi menjabat sebagai Gubemur Kaltim.
Lalu bagaimana dengan Prayek Kali Code yang diarsiteki Roma Mangun? Ini adalah ganjalan tersendiri bagi birokrat kota yang risi melihatnya. Maklum, kompleks perumahan itu terletak di pinggir kali dengan bantuk arsitektur yang amat unik, dan sebagian besar penghuninya adalah kelompok marjinal di perkotaan. Sebelum dianugerahi AKAA, proyek ini terancam penggusuran beberapa kali dengan alasan lokasinya rawan banjir.
Setelah itu kabar penggusuran menyurut, tapi belum tentu niat tersebut akan begitu saja hilang dari benak para birokrat kota, mengingat Yogya pun sudah ”menginternasional”dengan munculnya berbagai bangunan tinggi perkantoran, hotel, mall apartemen dan lain-lain. Atau barangkali modernisasi yang melanda kota-kota di Indonesia akan menutup ”kisi-kisi” seperti ini dan penghargaan AKAA akan tinggal sebagai “benda bersejarah”?
Sumber: Kompas, Sabtu, 25 November 1995
—————-
Penerima AKAA Putaran Ke-VI
JURI AKAA putaran ke-VI yang terdiri dari Prof Mohammad Arkoun (Parancis), Nayyar Ali Dada (Pakistan), Darmawan Prawirohardjo (Indonesia), Peter Eisenman (AS), Prof Charles Jencks (AS), Mehmet Konuralp (Turki), Luis Monreal (Spanyol), Dr Ismail Seregeldin (Mesir), dan me Alvaro Siza (Portugis) akhirnya memilih 12 proyek dari 442 proyek yang dinominasikan.
AKAA 1995 dirancang agar terlibat dalam proses pemikiran baru yang mampu melewati pagar ideologis konvensional dan modernisme, juga pendekatan yang fundamental tarhadap tradisi.
Yang juga penting, para juri sepakat menambahkan dimensi kritis atas pesan yang ingin disampaikan melalul AKAA. Mereka yakin, bahwa kemajemukan pesan tersebut harus diarahkan kepada telaah kritis atas permasalahan arsitektural dan sosial yang dihadapi dunia Islam dan akan memberikan sumbangan pada wacana arsitektural dan sosial dunia internasional menyongsong milenium ketiga mendatang.
LIMA proyek terpilih untuk sumbangan yang diberikan bagi Penelaahan Kritis atas Wacana Sosial adalah:
1. Pemugaran Kota Lama Bukhara, Uzbekistan. Proyek ini dinilai berhasil memugar kota lama dan mengembalikan getar kehidupan sosial dan ekonominya sebagai bagian kota Bukhara masa kini, sambil tetap setia pada skala dan tekstur masa silamnya.
2. Pembangunan Kembali Kawasan Hafsia Tahap II di Tunis, Tunisia. Proyek ini dinilai berhasil mempertahankan basis sosio-ekonomi kawasan lama sambil memperhatikan skala teksturnya yang unik, menjadikan Distrik Hafsia kembali menjadi getaran inti dari perpaduan ekonomi dan sosial masyarakatnya. Kelembagaan, keterlibatan masyarakat, kejelasan ekonomi dan pendanaan, kemitraan pemerintah-swasta, dan kepekaan menjalankan program pemukiman kembali membuat kawasan Hafsia menjadi contoh keberhasilan yang patut dipelajari secara luas.
3. Pola Pembangunan Bertahap Kawasan Khuda-ki-Basti, Hyderabad, Pakistan, Ia dipilih karena menciptakan proses partisipasi kreatif bagi mereka yang selama ini tak terjangkau dan memperlihatkan bagaimana masyarakat papa mampu memiliki lahan dan membangun rumah serta lingkungannya secara bertahap.
4. Pola Masyarakat Aranya, Indore, India. Proyek ini menunjukkan tingginya ketrampilan seorang perancang menangani program site and services dengan penuh kepekaan dan mengandalkan elemen perancangan sebagai perangkat kerjanya, sehingga mampu membangkitkan partisipasi dalam suatu pembangunan bertahap.
5. Pemugaran Kawasan lama Sana’a Yaman. Ia dinilai berhasil manggabungkan sektor pemerintah dan swasta, juga perorangan dan kelompok untuk bersama-sama melindungi dan melestarikan salah satu mutiara arsitektur dan lingkungan urban milik masyarakat Muslim.
SEDANGKAN tiga proyek terpilih untuk sumbangan yang diberikan bagi Kategori Penelaahan Kritis atas Wacana Arsitektural dan Urbanistik adalah:
1. Mesjid Raya Riyadh dan Pembangunan Kembali Pusat Kota Lama Riyadh, Arab Saudi. Proyek ini dipilih karena berhasil menciptakan kembali bahasa arsitektural dari suatu lingkungan urban secara sensitif melalui suatu tafsir ulang atas tradisi setempat dikombinasikan dengan teknologi dan bahan kontemporer.
2. Menara Mesiniaga, Kuala Lumpur Malaysia, dipilih karena berani memberi makna baru pada perancangan bangunan tinggi beriklim tropis.
3. Rumah Sakit Tingkat Wilayah, Kaedi, Mauritania. Proyek ini dinilai responsif terhadap tantangan dari fungsi, anggaran dan kondisi setempat dan berhasil menanganinya dengan sensitif, sekaligus memperkaya bahasa struktur bangunan berkonstruksi bata dengan meyakinkan.
Untuk Konsep-Konsep Inovatif, penghargaan jatuh kepada:
1. Mesjid Majelis Tinggi Nasional, Ankara, Turki. Proyek ini dipilih karena keberaniannya bereksperimen dengan penanganan arsitektur mesjid yang berbeda. Melalui penyertaan unsur lingkungan, tembus pandangnya dinding kiblat, serta tidak adanya bentuk kubah dan komponen minaret, mesjid ini membuka tantangan baru pada arsitektur mesjid.
2. Pusat Kebudayaan Perancis, Kaolack, Senegal. Proyek ini menghasilkan bangunan yang mengangkat permasalahan ornamen dan gagasan mengenai era media massa.
3. Penghutanan Kembali Universitas Teknik Timur Tengah, Ankara, Turki. Proyek ini mengandung visi mengembalikan alam ke dalam kota melalui cara berpikir yang berani, yakni dalam bentuk 10 juta batang pohon dan melaksanakannya selama puluhan tahun untuk mewujudkan kembali keanekaan hayati di hutan tersebut.
4. Keterpaduan Landscape Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Indonesia. Proyek ini terpilih karena mempertunjukkan bagaimana sebuah proyek berteknologi tinggi dapat berinovasi mengikutsertakan unsur landscape secara terpadu ke dalam perancangannya.
Sumber: Kompas, Sabtu, 25 November 1995