Jembatan Terpanjang Se-Indonesia Ada di Kutai Kartanegara

- Editor

Jumat, 18 November 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sejauh 15,3 Km, Jembatan Dibangun di Atas Rawa
Rekor Jembatan Suramadu di Surabaya sebagai jembatan terpanjang, segera beralih ke Jembatan Martadipura di Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara (Kukar), memiliki panjang 15,3 km. Panjang Jembatan Suramadu 5,4 kilometer.

Data Dinas Bina Marga dan Sumber daya Air (DBMSDA) Kukar, Jembatan Martadipura tak hanya sebagai penghubung bibir Sungai Mahakam di Kota Bangun. Badan dan fondasi jembatan terus dibangun hingga belasan kilometer di atas rawa dengan metode pile slab (jalan layang). Dari permukaan tanah, pile slab itu memiliki panjang dua hingga tiga kilometer. Meski lokasinya berada di atas rawa dan berfungsi sebagai penghubung, konstruksi tersebut termasuk kategori jembatan.

Pembangunan bentang jembatan dengan metode pile slab ini, dilakukan lantaran akses jalan dapat tergenang banjir jika memasuki musim hujan. Sehingga dinilai lebih kuat dan hemat dibanding menimbun jutaan kubik tanah. Sehingga, bagian jembatan di bibir sungai terus disambung berbentuk jalan layang menyerupai jembatan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Tidak hanya panjangnya, tapi dari segi biaya lebih besar dari Jembatan Suramadu. Jalan pendekat dan penghubungnya pun mungkin jadi yang termewah,” kata kasi Pemeliharaan dan peningkatan Jalan, DBMSDA Kukar.

Dikatakan Budi, jika memasuki musim hujan, kawasan kecamatan di hulu Mahakam dilanda banjir. Jika jalan penghubung jembatan Martadipura dibuat dengan dasar timbunan tanah, maka dikhawatirkan tidak stabil dan memakan biaya lebih besar. Apalagi, sebagian material pembangunan jalan dan jembatan ini, dikirim dengan menggunakan ponton. Sehingga saat air Sungai Mahakam surut, pengiriman material akan terganggu.

Tak hanya jembatan, akses jalan pendekatnya juga dibangun menggunakan pile slabe. Sebab, sejumlah lokasi pembangunan jalan merupakan rawa yang biasa digenangi banjir di musim hujan. Dari segi anggaran pembangunan, pile slabe di Kota Bangun bisa disebut jalan termahal yang pernah ada. Akses jalan pendekat ini akan terhubung ke Desa Sebelimbingan di Kembang Janggut menuju Kecamatan Kota Bangun.

Untuk total jalan penghubung antara Kota Bangun hingga Tabang tersebut, Budi memastikan panjangnya mencapai 172 kilometer. Dilihat konstruksinya yang megah dan panjang, jalan yang dibangun menggunakan dana APBD Kukar tersebut, justru mengalahkan jalan tol Provinsi Kaltim dari Balikpapan menuju Samarinda. Anggaran yang dialokasikan mencapai 1,2 triliun per tahun. Proyek ini dikerjakan sejak 2011. Total biaya mencapai 45 persen dari APBD Kukar.

Pengerjaan meliputi pembangunan 32 jembatan untuk menghubungkan akses transportasi darat yang mencapai 172 km. “Jalan membuka isolasi transportasi darat di semua kecamatan di hulu Mahakam Kukar. Tahun depan sudah bisa digunakan secara total,” ujarnya. Dari panjang 172 km tersebut, sisa jalan yang belum terbangun hanya 25 meter lagi. Sehingga, sisa pengerjaan diperkirakan tak sampai satu persen. (qi/waz/k16)

Sumber: PROKAL.CO, Kamis, 22 Oktober 2015
———————-
Jembatan Martadipura Kalahkan Suramadu

Terpanjang di Indonesia, Akses Pendekat Sisa 25 Meter
Dengan kondisi geografis yang cukup luas, Kutai Kartanegara (Kukar) harus mengeluarkan dana jumbo untu mewujudkan infrastruktur jalan dan jembatan. Akses transportasi darat mulai dari wilayah paling hulu Kukar yakni Kecamatan Tabang menuju Ibu Kota Kabupaten, Tenggarong, sedikitnya memerlukan lebih dari 30 jembatan dengan panjang bentangan yang bervariasi. Mulai dari pendek, sedang hingga sangat panjang.

Salah satunya adalah Jembatan Martadipura di Kecamatan Kota Bangun yang disebut-sebut sebagai jembatan terpanjang di Indonesia dengan panjang bentang dan pile slabe (jalan layang) mencapai 15,3 kilometer.

Kepala Seksi (Kasi) Pemeliharaan dan Peningkatan Jalan, Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kukar Budi Harsono menerangkan, panjang Jembatan Suramadu hanya sekitar 6 kilometer, sementara Jembatan Martadipura mencapai 15,3 kilometer atau lebih panjang 9 kilometer.

Saat ini, hampir seluruh pile slab (jalan layang) telah rampung dan hanya sekitar 25 meter yang masih dalam tahap pengerjaan. “Baik dari segi ukuran dan biaya, Jembatan Martadipuran jauh lebih besar dibanding Jembatan Suramadu yang sebelumnya dinobatkan sebagai jembatan terpanjang,”tegas Budi.

Budi mengatakan, Jembatan Martadipura menjadi sangat panjang karena akses jalan pendekatnya juga menggunakan pile slab. Langkah itu terpaksa diambil karena kontur tanah di wilayah tersebut berupa rawa. Cara penimbunan justru akan memakan biaya yang jauh lebih besar. Resikonya, kekuatan konstruksi juga tidak stabil.

Dari segi anggaran, pembangunan pile slab di Kota Bangun bisa disebut proyek jalan termahal yang pernah ada. Akses jalan pendekat ini akan terhubung ke Desa Sebelimbingan, Kecamatan Kota Bangun.

“Membangun di tempat kita ini jauh lebih mahal biayanya angkut material dan akses transportasinya sulit dan jauh. Selain itu kondisi alam juga menentukan, untuk Jembatan Martadipura saat air surut, ponton tidak bisa mengirim material,”ujarnya.

Setelah jembatan ini berfungsi, warga Kukar bisa lewat jalur darat dari Kota Bangun-Tabang hanya dalam waktu dua jam dengan estimasi kecepatan kendaraan 60 km/jam. Selama ini, butuh waktu dua hari ke Tabang dengan kapal melitasi sungai. (ind)

Sumber: Koran Kaltim, 19 Oktober 2015

triliunan-rupiah-untuk-buka-isolasiDEKATKAN KOTA: Jembatan Martadipura di Kota Bangun yang menghubungkan Kota Bangun menuju Kembang Janggut, Kenohan, hingga Tabang. Jembatan yang juga membentang di atas rawa-rawa itu disebut terpanjang di Indonesia.

——————
Kukar Habiskan Triliunan Rupiah untuk Buka Isolasi

Jembatan Martadipura yang Tak Lagi “Abu Nawas”
Tak salah Kutai Kartanegara (Kukar) kerap disebut sebagai kabupaten kaya. Selain sebagai daerah penghasil minyak dan gas serta batu bara, di Kukar juga menyimpan sejumlah jembatan dengan arsitektur menawan.

Salah satunya Jembatan Martadipura. Bahkan, sejak 2015, infrastruktur tersebut diklaim mengalahkan Jembatan Suramadu dalam urusan terpanjang. Jika Suramadu kini hanya memiliki panjang 5,4 kilometer atau sekitar 13 kilometer dihitung dengan jalan pendukungnya, sedangkan Jembatan Martadipura memiliki panjang 15,3 kilometer atau lebih panjang 9 kilometer dari Suramadu.

Dari data Dinas Bina Marga dan Sumber daya Air (DBMSDA) Kukar, Jembatan Martadipura tersebut tak hanya sebagai penghubung bibir Sungai Mahakam di Kota Bangun. Badan dan fondasi jembatan terus dibangun hingga belasan kilometer di atas rawa dengan metode pile slab (jalan layang).

Dari permukaan tanah, pile slab ini memiliki panjang 2–3 meter. Meski lokasinya berada di atas rawa dan berfungsi sebagai penghubung, konstruksi semacam ini juga termasuk kategori jembatan. Pembangunan bentang jembatan dengan metode pile slab ini, dilakukan lantaran akses jalan yang dapat tergenang banjir jika memasuki musim hujan. Jadi, dinilai lebih kuat dan hemat dibanding menimbun jutaan kubik tanah.

Bagian jembatan di bibir sungai terus disambung berbentuk jalan layang menyerupai jembatan. Tak hanya urusan panjang yang mengalahkan Jembatan Suramadu, tetapi juga dari segi biaya, jembatan dan jalan pendekatnya menjadi yang termewah.

Jembatan tersebut dibangun pada era pemerintahan mendiang Bupati Kukar Syaukani HR. Pembangunannya dimulai 1999 dan baru rampung 2004. Meski telah rampung, jembatan yang menjadi penghubung antara Kota Bangun menuju Kecamatan Tabang itu, belum bisa digunakan.

Pasalnya, jalan pendekatnya belum dibuat. Karena itulah, jembatan tersebut kerap disebut sebagai Jembatan Abu Nawas, lantaran tak memiliki jalan pendekat sehingga tak bisa difungsikan. Selain memerlukan dana yang besar, pembangunan akses Kota Bangun menuju Tabang juga memerlukan waktu yang tak sebentar.

Karena itulah, Bupati Kukar Rita Widyasari dalam beberapa kesempatan menyebut jika pembangunan jembatan itu, sebagai sinyal agar pemerintahan yang akan datang segera membuka isolasi kecamatan di hulu Kukar yang tak memiliki akses jalan darat.

Dengan demikian, pembangunan infrastruktur berkelanjutan mesti dilakukan kepala daerah selanjutnya. Sebutan daerah kaya pun mentah-mentah ditolak Bupati Kukar Rita Widyasari, lantaran besarnya APBD Kukar, dianggap masih belum sebanding untuk membangun infrastruktur di 18 kecamatan.

Sementara itu, Kepala Seksi Pembangunan dan Peningkatan Jalan, Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air (DBMSDA) Kukar Budi Harsono menjelaskan, saat memasuki musim hujan, kawasan kecamatan di hulu Mahakam akan dilanda banjir air pasang.

Jika jalan penghubung Jembatan Martadipura dibuat dengan dasar timbunan tanah, maka dikhawatirkan tidak stabil dan memakan biaya lebih besar. Terlebih, sebagian material pembangunan jalan dan jembatan ini dikirim dengan menggunakan ponton. Jadi, saat air Sungai Mahakam surut, pengiriman material akan terganggu.

Maka, akses pendekatnya dibangun menggunakan pile slab. Sebab, sejumlah lokasi pembangunan jalan juga merupakan rawa yang biasa digenangi air saat banjir. Dari segi anggaran pembangunan pile slab di Kota Bangun bisa disebut jalan termahal yang pernah ada. Akses jalan pendekat ini akan terhubung ke Desa Sebelimbingan di Kembang Janggut menuju Kota Bangun.

Budi memastikan total jalan penghubung Kota Bangun hingga Tabang tersebut panjangnya mencapai 172 kilometer. Dengan anggaran yang dikucurkan rata-rata Rp 1,2 triliun per tahun. Proyek ini dikerjakan sejak 2011. Pengerjaan meliputi pembangunan 32 jembatan kecil untuk menghubungkan akses transportasi darat yang mencapai 172 kilometer itu.

Selain itu, di hulu Kukar terdapat Jembatan Pela yang menjadi cikal bakal penghubung antara Kota Bangun, Muara Wis, dan Muara Muntai. Untuk proses pembangunan jalan pendekat di jembatan ini, diperkirakan memerlukan Rp 800 miliar.

Terbagi tiga segmen, akses jalan ini juga akan terintegrasi dengan jalan pile slabMartadipura. “Itu untuk menghindari banjir juga,” kata Budi.

Sementara itu, untuk jembatan pengganti Jembatan Kartanegara yang ambruk pada 2011 lalu, kini juga memiliki kekhasan tersendiri. Jembatan yang rampung pada 2015 lalu itu, menjadi perhatian banyak pihak.

Tak hanya lantaran jembatan sebelumnya pernah ambruk. Tetapi sejumlah proses pengerjaan proyek yang akhirnya menjadi standar Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk proyek lain di Indonesia. Selain dianggap tepat waktu, penyelenggaraan proyek dianggap melalui seleksi konstruksi yang ketat.

“Runtuhnya Jembatan Kartanegara akhirnya menjadi pelajaran banyak pihak. Terutama melihat pentingnya uji kelayakan,” jelasnya.

Meski usia jembatan diperkirakan hingga di atas 100 tahun, namun jembatan tersebut bahkan diasuransikan dengan nilai Rp 450 miliar.

Sementara itu, Jembatan Sebulu yang menghubungkan Tenggarong dan Sebulu, hingga kini masih dalam proses perencanaan. Anggaran yang diperlukan, yaitu sebesar Rp 450 miliar. Untuk kelanjutan proyek ini terhambat lantaran persoalan defisit anggaran yang melanda Pemkab Kukar.

Untuk mempercepat proses pembangunan, pemkab juga menyiapkan sejumlah opsi. Di antaranya, mengadakan kerja sama investor atau pengajuan bantuan terhadap PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Adapun jembatan lain yang juga dalam rencana adalah Jembatan Loa Kulu. Fasilitas itu menghubungkan Tenggarong, Loa Kulu, dan Samarinda. Namun, khusus ini menargetkan dibiayai oleh APBN.

Sementara itu, Kaltim Post mengunjungi langsung kemegahan Jembatan Martadipura di Kota Bangun, pekan lalu. Jarak yang ditempuh menuju Kota Bangun dari Samarinda sekitar 78 kilometer. Sejauh mata memandang sepanjang perjalanan hanya ada pohon, sementara rumah warga bisa dihitung jari. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, jalur menuju Kota Bangun sudah baik. Aspal maupun penyemenan bergantian menemani. Jadi tak perlu mengeluh mengenai akses.

Pembangunan jembatan tersebut memang membawa dampak positif, sebab warga tak perlu lagi merogoh kocek dalam-dalam bila hendak ke kecamatan lain. “Sebelumnya kami menggunakan perahu bila ingin pergi ke Tabang atau Kembang Janggut. Sekali menyeberang bayarnya Rp 600 ribu,” tutur Abdul Wahab Syahrani, warga yang ditemui harian ini di sekitar jembatan.

Sebagai pemusik keliling (electone) Abdul memang harus mengembara bila ingin rupiah. Itu sebabnya dia tak bisa duduk diam di Kota Bangun. “Makanya jembatan itu sangat membantu perekonomian kami,” tuturnya. (qi/*/ypl/rom/k8)

Sumber: Kaltim.prokal.co, Jumat, 18 November 2016

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 638 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB