Kebijakan Berbasis Ilmiah Belum Diutamakan

- Editor

Rabu, 19 Oktober 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dibutuhkan Pendekatan Multidisiplin
Pemerintah dinilai belum mengutamakan kebijakan berbasis kajian ilmiah, termasuk yang perlu riset bidang ilmu sosial, tetapi memilih cara instan dalam mengatasi masalah dalam pembangunan. Padahal, itu rentan membuat kebijakan yang tidak menyediakan solusi tepat.

“Belum ada keberpihakan pemerintah pada ilmu pengetahuan dan teknologi,” ucap Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Iskandar Zulkarnain di Jakarta, Selasa (18/10), di sela pembukaan Konferensi Internasional Ilmu Sosial dan Humaniora ke-1, Selasa, di Jakarta. Itu juga berlaku pada ilmu sosial yang posisinya belum cukup diperhitungkan.

Tri Nuke Pudjiastuti, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI, menambahkan, Indonesia berkiblat pada ilmu sosial Barat, padahal tak semua cocok dengan dinamika masyarakat. Jadi, perlu riset dan teori yang berakar pada kondisi Indonesia dengan pendekatan multidisiplin. “Banyak ilmu sosial Barat tak bisa diterapkan sebab pendekatannya tak cocok dengan masyarakat kita,” ucapnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Oleh karena itu, melalui konferensi ini, Nuke mengajak para ilmuwan sosial berkontribusi lebih bagi Indonesia, selain membangun jejaring antara para peneliti. Ada 188 penelitian berhasil diseleksi dari 484 abstrak yang dikirim dan dipresentasikan dalam tiga hari ini. Selain diikuti sejumlah universitas dan lembaga penelitian di Indonesia, peserta juga datang dari 8 negara.

Selain kurangnya riset sosial di dalam negeri, kebijakan pembangunan banyak yang tak didasarkan pada riset ilmiah sehingga kerap gagal. Misalnya, kebijakan nasional tahun 2013 menyalurkan bantuan 1.000 kapal ukuran 30 tonase yang mangkrak karena tak sesuai kebutuhan nelayan.

Keluar dari Jebakan
Iskandar mengatakan, kontribusi ilmu sosial di Indonesia dalam pembangunan minim. Padahal, kontribusi ilmu sosial dibutuhkan, terutama untuk melepaskan Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah.

Menurut Iskandar, pendapatan penduduk per kapita di Indonesia cenderung stagnan. Pada 2004, pendapatan per kapita kita rata-rata 3.000 dollar Amerika Serikat (AS), dan kini masih 3.600 dollar AS. Situasi itu mirip dengan Peru yang selama 50 tahun terjebak sebagai negara berpendapatan menengah.

“Kalau becermin pada Taiwan dan Korea Selatan, mereka bisa keluar dari jebakan itu berkat kemajuan dalam ilmu pengetahuan yang melahirkan kekayaan inovasi,” kata Iskandar.

Selain ditopang riset dan inovasi, negara-negara yang bisa lepas dari jebakan itu adalah yang mampu membangun relasi produktif di kalangan publik dengan swasta. Masalahnya, di Indonesia masih ada jurang pemisah antara peneliti dan industri. Di antaranya, peneliti belum memikirkan murah-mahalnya biaya jika inovasinya diproduksi secara massal, sebaliknya industri enggan berinvestasi pada sesuatu yang bersifat jangka panjang dengan risiko kegagalan besar.

“Peneliti sosial bisa berkontribusi demi menyamakan paradigma peneliti dan industri, serta mengkaji kebijakan tepat yang diambil pemerintah agar riset di industri berkembang,” ujarnya. Untuk itu, perlu pendekatan multidisiplin antara ilmuwan sosial dan disiplin ilmu pasti.

Kepala Pusat Penelitian Sumber Daya Regional LIPI Ganewati Wuryandari menambahkan, peneliti sosial di Indonesia ditantang untuk mengejar ketertinggalan, termasuk melakukan kajian di bidang yang belum jadi perhatian pemerintah. Contohnya, negara-negara lain serius meneliti dampak teknologi maha data (big data) seiring kian majunya internet. Namun, itu belum mendapat perhatian memadai di Indonesia sehingga kita berisiko makin tertinggal jika tidak menyiapkan diri sejak sekarang.

Sementara Richard Chauvel dari University of Melbourne, Australia, pembicara kunci dalam konferensi itu, memberi gambaran tentang perubahan peta politik global. Hal itu seiring dengan munculnya Tiongkok sebagai kekuatan baru. (AIK/JOG)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Oktober 2016, di halaman 14 dengan judul “Kebijakan Berbasis Ilmiah Belum Diutamakan”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB